Konten dari Pengguna

Hakim Menerima Suap: Ironi Penegakan Hukum

Benidiktus Lasah
Pada dasarnya, seorang mahasiswa hukum harus memiliki 2 (dua) kemampuan, yakni menulis dan berbicara. Oleh sebab itu, saya selaku mahasiswa hukum dari Universitas Mulawarman melalui media ini hendak melatih salah satu kemampuan tersebut! Sapere Aude!
30 Oktober 2024 8:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Benidiktus Lasah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Pribadi
ADVERTISEMENT
Hakim sebagaimana kita kenal adalah “Wakil Tuhan” di dunia bertugas untuk mengadili, menegakkan hukum dan menghadirkan keadilan. Namun, mereka yang disebut “Yang Mulia” tersebut tak jarang ingkar terhadap janji suci pengabdian yang telah mereka ikrarkan. Misalnya, menerima suap untuk memenuhi suatu kepentingan tertentu. Sebuah ironi penegakan hukum bagi negara yang menyebut dirinya negara hukum (rechstaat).
ADVERTISEMENT
Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Aktor penting dari kekuasaan kehakiman itu sendiri pada dasarnya tidak lain dan tidak bukan adalah para Hakim sebagai garda terdepan penegak keadilan.
Pasal 3 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan, “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Kemandirian peradilan sendiri berarti segala campur tangan diluar peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman dilarang keras eksistensinya (vide Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman). Selain menjaga kemandirian peradilan, seorang hakim harus pula berintegritas dan berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman. Dalam hal ini, apabila seorang hakim menerima suap apakah dapat ia disebut menjaga kemandirian peradilan? berintegritas? atau adil? atau professional? Tentu saja tidak, seorang Hakim yang menerima suap sudah pasti melakukan 2 (dua) pelanggaran, yakni pelanggaran etik dan pelanggaran hukum (termasuk moralitas).
ADVERTISEMENT
Pertama, hakim yang menerima suap secara terang benderang telah melanggar etika profesi sebagaimana diatur dalam Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 atau 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etika dan Pedoman Perilaku Hakim. Apabila ditelaah keputusan bersama a quo maka seorang hakim yang menerima suap telah menyimpang dari kewajiban untuk berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, menjunjung tinggi harga diri, dan bersikap profesional.
Sanksi atas suatu pelanggaran etik ini oleh seorang hakim ditentukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial berdasarkan hasil pemeriksaan. Sanksi yang diberikan beragam mulai dari teguran hingga pemberhentian tidak dengan hormat sesuai dengan berat tidaknya pelanggaran. Hemat penulis, apabila seorang hakim telah menerima suap (dibuktikan demikian) maka tidak ada ruang untuk negosiasi dan hukuman harus dijalani.
ADVERTISEMENT
Kedua, hakim yang menerima suap sudah pasti melanggar hukum (terlepas apapun alasannya). Pelanggaran hukum yang dimaksud dalam hal ini ialah melakukan tindak pidana korupsi. Suap adalah salah satu bentuk dari 7 (tujuh) kualifikasi tindak pidana korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Dalam undang-undang a quo secara eksplisit disebut mengenai larangan bagi seorang Hakim untuk menerima suap.
Larangan tersebut diatur dalam Pasal 6 ayat (2) UU Tipikor yang berbunyi, “Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”. Salah satu unsur dari penerimaan suap oleh Hakim dalam hal ini ialah dengan diterimanya suap tersebut maka akan memengaruhi putusan pengadilan atau memengaruhi pendapatnya dalam perkara yang sedang disidangkan. Apabila terbukti seorang Hakim menerima suap maka ia dapat dipidana dengan pidana penjara dalam waktu tertentu minimal 3 (tiga) tahun dan maksimal 15 (lima belas) tahun dan pidana denda minimal lima puluh juta rupiah dan maksimal tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
ADVERTISEMENT
Khatib Chebi dalam bukunya, “The Balance of Truth”, menyatakan baik seorang pemberi suap (actieve omkoping) atau penerima suap (pasiev omkoping) secara moralitas bersalah. Dengan demikian, seorang Hakim yang menerima suap pun dalam hal ini berarti secara moralitas pun bersalah.
Apabila hendak ditelisik terdapat beberapa alasan yang patut diduga melahirkan perilaku korup di tengah aparat penegak hukum, khususnya Hakim (tidak dapat dijadikan alasan pembenar), diantaranya:
Apabila kita menelaah dampak dari penerimaan suap oleh seorang Hakim maka dapat dirumuskan beberapa diantaranya meliputi:
ADVERTISEMENT
Dampak paling berbahaya dari perilaku suap oleh Hakim sendiri menurut hemat penulis berpotensi mengarah pada lahirnya persepsi bahwa lembaga pengadilan yang konon katanya menegakkan hukum dan keadilan malah berperilaku sebaliknya lalu untuk apa kita percaya terhadap mereka? Persepsi yang demikian dapat mengarah pada normalisasi main hakim sendiri oleh masyarakat atau eigenrichting sebab ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum. Ironi yang demikian tidak boleh dibiarkan, Mahkamah Agung harus segera berbenah dan mereformasi diri menemukan segala cara untuk mencegah perilaku suap atau perilaku korup lainnya oleh para Hakim (preventif dan represif). Selain itu, masyarakat harus menjadi pengawas yang aktif untuk melihat dinamika penegakan hukum yang terjadi.
“People should be conscious that they can change a corrupt system” - Peter Eigen, founder of Transparency International.
ADVERTISEMENT