Egy, Witan, dan 'European Scare'

Konten dari Pengguna
13 Februari 2020 15:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonardus Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Egy, Witan, dan 'European Scare'
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Baru beberapa hari saya mendengar berita bahwa ada satu lagi bakat muda Indonesia yang berani menandatangani kontrak jangka panjang di klub Eropa. Witan Sulaiman bisa dibilang cukup nekat mengikuti jejak rekannya, Egy Maulana Vikri, yang menandatangani kontrak jangka panjang bersama klub Polandia, Lechia Gdansk pada 2018 lalu. Witan sendiri memilih Serbia sebagai tempat mengadu nasibnya di klub papan tengah, Radnik Surdulica, dengan meneken kontrak selama 3,5 tahun.
ADVERTISEMENT
Bahagia? Tentu! Bangga ada anak bangsa tembus Eropa? Sangat! Kalau mereka berani beri kontrak jangka panjang tentu baik Egy atau Witan bukan pemain main-main. Khawatir? Wah, lebih besar lagi!
Melihat apa yang terjadi dengan Egy setelah bersama Lechia selama dua tahun tentu membuat saya juga takut dengan Witan. Kita mungkin ingat awal kedatangannya ke Lechia Gdansk, sebuah klub di kota pelabuhan Polandia, sangat semarak. Egy disambut bak superstar macam Cristiano Ronaldo dalam presentasinya, dan bahkan langsung diberikan nomor 10, nomor yang selalu dianggap memiliki prestise dalam dunia sepak bola. Dan bahkan nomor 10 itu ketika diberikan kepada Egy masih dipakai oleh kapten tim, Sebastian Mila. Mila sendiri sempat murka ketika tiba-tiba Egy diberikan nomor 10 sementara dirinya masih aktif bermain di klub.
ADVERTISEMENT
Egy Maulana Vikri kala memperkuat Lechia Gdansk
Dua tahun sudah berlalu, mungkin kita bisa menyadari bahwa Egy memang wonderkid, tapi kelasnya bukanlah wonderkid fenomenal macam Kylian Mbappe, Rodrygo Goes, atau Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi di kala remajanya. Egy tampak belum bisa dipercaya menembus tim utama Lechia, hal yang sebenarnya mungkin terlalu cepat untuk pemain semuda itu. Dia lebih banyak menghabiskan di tim cadangan Lechia di mana sebenarnya ia tampil sangat luar biasa.
Namun, sebagai pemain yang dari awal diberikan nomor 10, bukannya sekarang harusnya ia bisa menjadi tumpuan tim? Lantas, mengapa dua tahun ini ia masih terus berkutat di tim cadangan? Konon, masalah dari Egy adalah adaptasi pada gaya permainan Eropa yang lebih mengutamakan taktis dibanding teknik, Bahkan pelatih tim utama Piotr Stokowiec sempat berpendapat Egy terlalu banyak membawa bola dan kurang egois ketika mendapat kesempatan mencetak gol. Selain itu, konon kendala lainnya adalah berat badan Egy yang mungkin terlalu ringan untuk ukuran kompetisi Eropa, dengan kata lain, pola makan yang masih tidak bisa disesuaikan.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi pada Egy dan apa yang saya khawatirkan mengenai Witan, saya sebut sebagai European Scare.
Bagi orang-orang Indonesia menginjakkan kaki di Eropa merupakan hal yang bergengsi sekaligus momok karena banyaknya perbedaan dan penyesuaian yang harus dilakukan
Mengapa European Scare? Bagi orang-orang Indonesia entah atlet, pelajar, pekerja, maupun hanya sekedar menjadi traveler saja, Eropa merupakan tempat impian. Keindahan budaya dari negara-negara Eropa banyak menarik orang-orang Indonesia untuk mengunjunginya. Namun, yang terjadi kebanyakan bagi orang-orang Indonesia ketika menginjakkan kaki di Eropa adalah, tiba-tiba menjadi momok yang menimbulkan ketidaknyamanan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu, mulai dari iklim yang tidak bersahabat bagi paru-paru tropis orang Indonesia, makanan yang rasanya cukup hambar sehingga tak jarang para traveler dari Indonesia selalu membawa perlengkapan perang macam sambel, mie instan, abon, rendang kering atau yang paling ekstrem beras beserta rice cooker-nya, faktor jet lag, perbedaan budaya dan bahasa hingga kehidupan orang-orang di Eropa yang cenderung tidak sedinamis di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja, bahkan di beberapa tempat toko-toko ataupun restoran jam 6 sore saja sudah tutup, terutama ketika musim dingin atau hari raya seperti Natal. Tak jarang berdasarkan penuturan keluarga dan teman-teman saya, baru seminggu menginjakkan kaki di Eropa mereka sudah merengek-rengek ingin cepat-cepat pulang ke Indonesia.
Oke kalau cuma sekedar traveling saja okelah untuk mengeluh. Begitu juga pelajar dan pekerja. Tapi kalau untuk pesepak bola yang memang mindset-nya menjadi juara, Wah!!! Gak boleh tuh mengeluh.
Evan Dimas ketika trial di klub Spanyol, Llagostera
Mungkin sebelum Egy dan Witan, kita tahu bahwa banyak sekali pemain-pemain Indonesia yang melakukan trial di Eropa. Evan Dimas di Spanyol, Hambali Tholib di Kroasia, Yandi Sofyan di Belgia, atau bahkan mungkin Arthur Irawan yang berhasil mendapat kontrak di Espanyol B dan Malaga B. Tapi hampir semua mereka hanya beberapa bulan saja di Eropa tanpa berhasil di kontrak klub-klub ini. Pertanyaan, kalian di Eropa itu memang niat untuk merumput atau cuma mau liburan di bayar saja?
ADVERTISEMENT
Beto Goncalves, striker naturalisasi asal Brazil pernah mengungkapkan bahwa dia pernah ditelepon seorang pemain yang sedang trial di Eropa entah siapa itu. Pemain ini mengeluhkan bahwa ia tidak tahan karena setiap hari harus makan roti dan daging sementara dia rindu untuk kembali makan nasi dan sambal seperti di Indonesia.
Perbedaan budaya juga membuat banyak dari pemain Indonesia frustasi di kala di Eropa. Orang Eropa lebih individualis, jarang nongkrong bergerombol seperti di Indonesia, sementara orang Indonesia lebih terbiasa dengan kebersamaan sehingga budaya individual di Eropa kadang membuat orang Indonesia merasa kesepian dan canggung.
Tapi jika memang ingin sukses menjadi pesepak bola di Eropa, faktor-faktor ini harusnya omong kosong. Kalau mau merumput di level tertinggi ya harus ikut aturan mainnya! Di Indonesia biasa makan nasi sambel dan lalapan ya di Eropa harus paksakan makan daging dan kentang. Aturlah diet dengan sedemikian rupa dan bekerja lebih keras lagi. Jangan mau kalah dengan keadaan, entah itu iklim atau budaya. Jangan sedikit-sedikit kangen rumah, ingat! Kontrak jangka panjang berarti jangan bikin malu rakyat Indonesia yang sudah menggantungkan harapan bagi kalian. Dan jangan malas menyisihkan waktu untuk belajar bahasa lokal karena komunikasi amat dibutuhkan baik untuk memahami instruksi pelatih ataupun komunikasi dengan rekan se-tim.
ADVERTISEMENT
Akhir kata, saya doakan semoga Egy secepat mungkin bisa menjadi bagian vital dari Lechia Gdansk karena jujur saya salut dengan keberaniannya meneken kontrak jangka panjang. Saya juga mendoakan semoga European Scare tidak menyerang Witan selama berkarier di Eropa.