Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Haing S Ngor dan Generasi Kuat Kamboja
10 Februari 2020 17:16 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Leonardus Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru saja kita lewati gelaran Academy Award dengan sebuah kebangaan bagi penduduk Asia. Di tengah duka karena Virus Corona yang menyerang sebagian besar Asia, film fenomenal Korea Selatan, Parasite berhasil menggondol empat Piala Oscar dengan dua di antaranya kategori utama, yakni Sutradara terbaik untuk Bong Joon-Ho dan Film terbaik untuk edisi 2020.
ADVERTISEMENT
Jauh sebelum Parasite membubuhkan sejarah pada gelaran perfilman paling bergengsi di dunia ini, sebenarnya banyak figur-figur Asia yang mampu menggondol trofi bergengsi ini, sebut saja sutradara Ang Lee (Taiwan), AR Rahman (India), dan Miyoshi Umeki (Jepang). Ada pula satu yang mewakili Asia Tenggara dan merupakan salah satu kejutan terbesar dalam sejarah ajang Piala Oscar.
Haing S.Ngor namanya, dan Kambojalah asalnya berhasil menyingkirkan nama-nama besar seperti Jon Malkovich atau Pat Morita yang sedang tenar setelah memerankan Master Miyagi dalam film beken Karate Kids dalam meraih Piala Oscar dalam Kategori Aktor Pemeran Pembantu Terbaik pada tahun 1985. Hal yang unik adalah beliau bukanlah seorang aktor, namun berhasil menyingkirkan para aktor sungguhan.
Drama kehidupan di dunia nyatanyalah yang mengantarkannya meraih Piala ini. Beliau berperan sebagai Dith Pran, wartawan asal Kamboja yang nyaris dibantai oleh brutalnya rezim Khmer Merah dalam film 'The Killing Fields' yang menceritakan perjalanan wartawan Amerika Sydney Schanberg yang memang meliput Perang Sipil Kamboja, awal mula rezim Khmer Merah berkuasa. Kehidupan Haing dan Dith memang sama, sebagai survivor dari rezim ini.
Adalah Pol Pot, seorang pintar namun memilih menjadi dungu dan berpikiran sempit yang memulai neraka di hidupnya di tahun 1975. Pol Pot yang berpikir bahwa ilmu pengetahuan dan hidup modern hanya menghambat kemakmuran negara Kamboja mulai memaksa rakyatnya untuk menjadi rakyat agraria; menjadi petani, peternak, atau buruh paksa. Obsesi Pol Pot adalah mengembalikan Kamboja seperti era sngkorian yang memang menjadi satu-satunya masa keemasan negara Kamboja--masa ketika Angkor Wat yang mahsyur itu baru berdiri.
ADVERTISEMENT
Praktis orang-orang terpelajar atau kelihatan terpelajar hanya memilik dua pilihan; menjadi bodoh atau mati dibunuh rezim. Pembantaian pun tak terelakan dengan menelan korban hingga jutaan. Mereka yang dibunuh adalah orang-orang yang dianggap intelek dengan profesi yang bagus seperti guru, dokter, wartawan, ilmuwan, insinyur, seniman (bahkan beberapa penyanyi top Kamboja, mungkin sekelas Raisa atau Afgan di Indonesia, dikabarkan banyak yang dieksekusi oleh rezim Pol Pot) atau sesimpel menguasai bahasa asing saja.
Baik Dith Pran dan Haing S.Ngor mengalami nasib yang sama, keduanya seorang intelek, Dith seorang wartawan sementara Haing lebih mentereng lagi, seorang ginekolog dan dokter ahli bedah. Keduannya pun harus berakhir di kamp konsentrasi untuk di re-edukasi dan kerja paksa. Untuk Haing, dia terpaksa menyembunyikan keahliannya sebagai dokter agar tidak di eksekusi. Dan yang paling sedih adalah ketika istrinya hendak melahirkan dan membutuhkan operasi sesar, ia tidak bisa melakukannya karena takut ketahuan dan bisa mengakibatkan dirinya beserta istri dan anaknya dibunuh oleh rezim. Pada akhirnya dia harus merelakan istrinya yang wafat karena tak dapat bantuan yang layak saat melahirkan.
ADVERTISEMENT
Usai keruntuhan Khmer Merah pada tahun 1979, Haing sempat bekerja sebagai dokter di Thailand hingga akhirnya dia memilih untuk menetap di Amerika Serikat. Sampai di sini kita tahu bahwa dia bukanlah aktor tetapi murni seorang dokter sehingga kemenanganya di Oscar hingga kini menjadi sebuah kejutan, apalagi film 'The Killing Fields' merupakan film pertamanya. Awalnya ia menolak untuk main di film ini, namun setelah bujukan sutradara Roland Joffe, ia setuju untuk ikut serta dalam film ini dengan tujuan mengekspos kekejaman Pol Pot dan rezim Khmer Merahnya yang membuat rakyat Kamboja menderita. Setelah film ini beliau banyak bermain di beberapa film dan pernah beradu akting dengan aktor besar lain macam Michael Keaton dan Nicole Kidman.
ADVERTISEMENT
Haing S. Ngor sendiri tewas ditembak di depan rumahnya di Pecinan kota Los Angeles pada tahun 1996. Ada yang bilang dia dibunuh karena percobaan perampokan namun ada spekulasi dia dibunuh oleh loyalis Pol Pot dan Khmer Merah.
Kesaksian Haing S.Ngor mengenai bagaimana menderitanya rakyat Kamboja di era rezim Pol Pot ini mengubah cara pandang saya ketika mengunjungi Kamboja. Mendengar bagaimana untuk melahirkan secara sehat atau keselamatan ibu dan bayinya saja sebuah hal yang susah membuat wajah tiap individu-individu yang pernah saya lihat di Kamboja menjadi wajah-wajah yang cukup spesial. Mungkin berbeda dengan kisah-kisah represi lainnya seperti Hollocaust yang mungkin hanya mengambil sebagian kecil. Pol Pot benar-benar membuat seluruh rakyat Kamboja entah suku, agama atau ras apapun menderita di periode ia berkuasa di tahun 1975-1979.
ADVERTISEMENT
Tiap wajah-wajah yang saya tampilkan seperti punya cerita tersendiri dari luka bangsa ini. Untuk generasi yang sudah lanjut usia, mungkin di kala itu tersenyum adalah sesuatu yang mahal namun dengan tegar mereka dapat melewati salah satu periode terkelam dalam sejarah umat manusia.
Untuk generasi yang lebih muda dan mungkin tidak terjebak dalam periode ini, mereka terlahir dari rahim-rahim yang kuat serta para ibu dan wanita yang tangguh. Seperti kesaksian Haing S.Ngor yang harus merelakan istrinya wafat karena tidak adanya lingkungan yang memadai untuk melahirkan dengan selamat bagi si ibu dan bayi. Jadi generasi-generasi muda ini dilahirkan dari keterbatasan dan pertaruhan antara selamat atau tidaknya, ataupun jika bukan mereka mungkin orang tua atau kakek-nenek mereka yang terlahir dalam kondisi itu.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, Haing menang bukan karena hanya aktingnya, namun juga karena berhasil menyebarkan kisah survival luar biasa suatu bangsa pada dunia.