Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Para Pelatih Jerman Sukses Tanpa Modal Tenar
10 Agustus 2020 12:11 WIB
Tulisan dari Leonardus Suwandi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hari minggu kemarin saya sempat mengobrol dengan teman saya sesama penggemar bola setelah Bayern Muenchen menghantam Chelsea dengan skor 4-1 di ajang Liga Champions. Kami berdua membicarakan bagaimana Bayern, biarpun unggul 3-0 di Leg 1 di kandang Chelsea, masih bermain sangat ngotot untuk mengejar skor, di mana akhirnya Chelsea dihempas dengan agregat cukup besar 7-1. Kedua, adalah bagaimana Bayern Muenchen tampil impresif dengan seorang pelatih yang namanya sangat jarang terdengar.
ADVERTISEMENT
Untuk mentalitas ngotot, Paul Breitner, legenda hidup sepak bola Jerman dan Bayern Muenchen yang pernah menjuarai Piala Dunia 1974 pernah berujar dalam sebuah program di History Channel bahwa "sedari sekolah, dalam pelajaran olahraga anak-anak sudah ditanamkan jiwa kompetitif dan keinginan besar untuk menjadi pemenang". Sebuah mentalitas yang dibawa ke banyak aspek kehidupan warga Jerman. Khusus Bayern, bahkan ditarik kebelakang ketika menghadapi Barcelona di Semifinal Liga Champions 2013, meski sudah unggul 4-0 di Leg 1, mereka masih tampil ngotot dan menang 3-0 di Alianz Arena dan lolos ke final dengan agregat 7-0.
Dan untuk kepelatihan, Bayern Muenchen sendiri kini di latih oleh Hans-Dieter Flick atau Hansi Flick, nama yang sangat asing bukan di banding pelatih sekaliber Jose Mourinho atau Pep Guardiola, atau bahkan Juergen Klopp, sesama pelatih asal Jerman.
ADVERTISEMENT
Mungkin banyak yang berpikir karena namanya tidak populer dia adalah pelatih yang cemen dan tidak pantas melatih tim seraksasa Bayern. Pengalaman melatihnya juga minim, paling banter pernah melatih Hoffenheim yang saat itu masih tim gurem di Divisi 4, sisanya dia menjadi asisten pelatih di antaranya menjadi asisten Joachim Low ketika menjuarai Piala Dunia 2014. Nyatanya ia mengubah Bayern menjadi salah satu tim tertajam di Eropa hingga Die Rotten berhasil menggondol dua trofi domestik yakni Bundesliga dan DFB Pokal sekaligus menjadi calon kuat juara Liga Champions. Belum lagi jasanya mengorbitkan sayap muda asal Kanada, Alphonso Davies menjadi salah satu bek kiri terbaik di dunia dan juga membangkitkan kembali Thomas Muller yang sempat ditepikan oleh pelatih terdahulu.
ADVERTISEMENT
Kalau banyak yang bilang dia beruntung karena di bekali pemain kelas dunia mungkin mainnya kurang jauh. Mau pemain sekaliber Cristiano Ronaldo kek, kalau pelatihnya tidak bisa mengontrol ego para pemain dengan baik atau tak mampu membangun kerjasama sebagai tim pasti klub sebesar apa pun bisa runtuh. Apalagi untuk tim seraksasa Bayern dengan tim bertabur bintangnya, kalau tidak percaya tanyakan saja pada pelatih kawakan Italia, Giovanni Trapattoni yang pernah melatih Bayern di medio 1996-1998. Pernah ia mencak-mencak di depan para wartawan karena tingkah laku para pemain Bayern yang merasa dirinya superstar. Jadi, apa yang dilakukan Flick bisa dibilang luar biasa dan sangat berat.
Mungkin penunjukan mentor Flick, Joachim Low sebagai pelatih Timnas Jerman juga menimbulkan kesinisan publik. Meski punya jam terbang lumayan tapi karirnya tetap dianggap medioker meski pernah menjuarai DFB Pokal bersama Stuttgart dan menjuarai Liga Austria bersama Tirol Innsbruck. Tokh, Low berhasil meramu skuad Jerman yang berisikan gabungan pemain muda dan senior yang kemudian secara bertahap rajin melangkah ke semifinal Piala Eropa dan Piala Dunia hingga puncaknya mereka berhasil menjuarai Piala Dunia 2014 di Brazil.
ADVERTISEMENT
Saat ini Jerman mempunyai banyak pelatih-pelatih yang cukup mumpuni, banyak dari mereka masih berusia muda. Seperti Jurgen Klopp yang sukses bersama Liverpool, Thomas Tuchel yang sukses bersama PSG dan yang paling fenomenal adalah Julian Nagelsmann, pelatih yang masih berusia sangat muda yakni 33 tahun. Ia mulai melatih di usia 28 tahun untuk klub Hoffenheim dimana banyak beberapa pemainnya yang berusia seumuran atau lebih tua darinya, awal melatih Hoffenheim berada di jurang degradasi pada tahun 2016 dan setahun kemudian, di usianya yang baru menginjak 29 tahun ia sudah berhasil mengantar Hoffenheim berlaga di Liga Champions. Setelah ia pindah ke RB Leipzig di tahun 2019, ia mengantar tim yang mulanya gurem menjadi penantang serius Bayern Muenchen yang bahkan memuncaki klasemen Bundesliga selama berpekan-pekan dan menjadi pelatih termuda yang sukses mengantar sebuah klub ke babak perempat final Liga Champions bersama Leipzig, di mana mereka sudah ditunggu oleh Atletico Madrid.
ADVERTISEMENT
Lantas apa yang membuat para pelatih Jerman ini menjadi sangat spesial meskipun mereka berstatus "pelatih pemula"? Berawal dari kegagalan total Jerman di Piala Eropa 2000. Banyak sektor yang kemudian di benahi oleh Federasi Sepakbola Jerman atau DFB salah satunya sektor pemain muda dan kepelatihan. Para pelatih Jerman kebanyakan bersekolah di sebuah akademi kepelatihan bernama Hennes Weisweller Academy di mana berbeda dengan sekolah kepelatihan lainnya yang durasi studinya hanya 240 jam saja, di akademi ini para peserta studi harus menghabiskan waktu hampir empat kali lipatnya yakni 815 jam.
Materi yang diajarkan pun adalah pengetahuan yang harus dimilik setiap pelatih yakni nutrisi, statistik, psikologi pemain dan hal-hal teknis seperti strategi dan teknik. Bahkan para peserta didik diwajibkan magang selama delapan pekan di klub Bundesliga dan menyelesaikan makalah sebanyak 15 lembar yang berisikan visi melatih mereka.
ADVERTISEMENT
Maka tak jarang Bundesliga juga menjadi tempat untuk para pelatih muda berkembang, karena tim-tim Bundesliga amat percaya pada lulusan akademi ini.
Selain itu, filosofi sepak bola yang dipegang pelatih Jerman juga cukup baik, di mana tidak boleh ada one man team macam Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi di tim mereka. Semua harus mempunyai peran masing-masing dan tidak boleh ada yang di spesialkan dalam tim, sehingga menghindarkan star syndrome dari para pemain. Bahkan untuk tim seperti Bayern Muenchen, seorang Robert Lewandowski yang kini dianggap superstar Bayern saja tidak terlihat terlalu menonjol pamornya seperti Ronaldo atau Messi di mana para pemain lama macam Thomas Muller atau pemain muda macam Serge Gnabry atau Alphonso Davies juga diberi kesempatan untuk berkontribusi penuh untuk tim. Tak heran, filosofi kerjasama tim ini menghasilkan trofi Piala Dunia sebanyak empat kali di mana keempatnya diraih ketika menghadapi tim-tim dengan megabintang: 1954 menghadapi Hungaria dengan Ferenc Puskas-nya, 1974 menghadapi Belanda dengan Johann Cruyff-nya, 1990 menghadapi Argentina dengan Diego Maradona-nya, dan 2014 menghadapi Argentina lagi dengan kini Lionel Messi-nya.
ADVERTISEMENT
Yah, semoga filosofi hebat ini nanti bisa diturunkan kepada para pelatih Indonesia, guna membangun mental tim dengan lebih baik.
Yah, semoga ya!!!!!