Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Benarkah Orang Miskin Egois? Mengungkap Realitas di Balik Stigma
8 September 2024 10:58 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Leonyta Anggun Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Stigma yang menggambarkan orang miskin sebagai individu yang egois karena memiliki banyak anak dan hanya mengandalkan bantuan pemerintah telah mengakar kuat dalam masyarakat kita. Stigma ini tidak hanya menyakitkan, tetapi juga mengaburkan akar permasalahan kemiskinan yang sesungguhnya, maka penting untuk memahami bahwa realitas di balik stigma ini jauh lebih kompleks dan tidak bisa disederhanakan hanya sebagai persoalan “egoisme”.
ADVERTISEMENT
Anggapan bahwa banyak anak memperburuk kemiskinan perlu dikritisi, yaitu hubungan antara jumlah anak dan kemiskinan bersifat dua arah. Di satu sisi, kemiskinan dapat menyebabkan keluarga memiliki lebih banyak anak karena berbagai alasan, seperti kurangnya akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi, serta keyakinan bahwa anak dapat menjadi sumber tenaga kerja atau jaminan sosial di masa depan. Di sisi lain, banyak anak juga dapat memperburuk kemiskinan karena meningkatkan beban ekonomi keluarga dan membatasi kesempatan orangtua, terutama ibu, untuk bekerja atau mengembangkan diri.
Mari kita telaah lebih dalam. Akses terbatas terhadap pendidikan, terutama pendidikan seksual dan reproduksi, membuat banyak individu, terutama perempuan, tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan reproduksi dan keluarga berencana. Mereka tidak memiliki pilihan informed choice, terjebak dalam ketidaktahuan dan mitos yang menyesatkan.
ADVERTISEMENT
Layanan kesehatan yang tidak terjangkau atau bahkan tidak tersedia di daerah-daerah terpencil semakin memperparah masalah ini. Kontrasepsi yang seharusnya menjadi hak dasar setiap individu, seringkali menjadi barang mewah yang tak terjangkau bagi masyarakat miskin.
Lebih dari itu, anak seringkali dipandang sebagai aset ekonomi dalam keluarga miskin. Mereka membantu pekerjaan rumah tangga, bekerja di ladang, atau bahkan mencari nafkah tambahan untuk membantu keluarga. Dalam situasi di mana jaminan sosial masih minim, anak juga dianggap sebagai investasi untuk masa depan, sebagai penopang di hari tua.
Norma sosial dan budaya juga memainkan peran penting. Di beberapa komunitas, memiliki banyak anak masih dianggap sebagai simbol status atau keberkahan. Tekanan sosial untuk menikah muda dan segera memiliki anak juga masih kuat, terutama bagi perempuan.
ADVERTISEMENT
Stigma yang menyebut bahwa orang miskin egois telah mengabaikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan struktural bukanlah kesalahan individu, melainkan hasil dari kegagalan sistem dalam menyediakan akses yang adil terhadap pendidikan, layanan kesehatan, pekerjaan yang layak, dan sumber daya lainnya. Ketika kelompok miskin tidak memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan kualitas hidup, mereka akan terperangkap dalam lingkaran kemiskinan yang sulit diputuskan.
Adakah yang lebih ironis daripada negara yang gemar mengumbar retorika "Indonesia Emas 2045", sedangkan sistem yang dibangunnya justru melanggengkan jurang kemiskinan? Inilah wajah asli dari kemiskinan struktural, sebuah ironi yang menuntut perubahan mendasar. Kemiskinan struktural bukanlah sekadar angka statistik atau potret buram di pinggiran kota. Ia adalah jeritan pilu anak-anak yang putus sekolah karena biaya, rintihan para orangtua yang tak mampu mengakses layanan kesehatan layak, dan keputusasaan para pekerja informal yang terjebak dalam lingkaran pendapatan tak menentu.
ADVERTISEMENT
Kemiskinan struktural, seperti yang diilustrasikan dalam diagram di atas, adalah monster berkepala banyak. Ia berakar dari ketimpangan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan peluang ekonomi, diperparah oleh norma sosial dan budaya yang diskriminatif, serta dipelihara oleh tata kelola yang buruk. Korupsi, inefisiensi birokrasi, dan kebijakan yang tidak pro-rakyat menjadi racun yang melumpuhkan upaya pengentasan kemiskinan. Anggaran pembangunan yang seharusnya menjadi jembatan menuju kesejahteraan, justru tergerus oleh praktik korupsi yang merajalela. Birokrasi yang berbelit-belit dan tidak transparan menjadi tembok penghalang bagi masyarakat miskin untuk mengakses layanan publik yang mereka butuhkan. Kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat kecil semakin memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin.
Dampak dari tata kelola yang buruk ini sangat nyata dan menyakitkan. Layanan publik yang buruk, pembangunan ekonomi yang timpang, dan ketidakstabilan sosial menjadi harga mahal yang harus dibayar oleh masyarakat, terutama mereka yang paling rentan. Anak-anak dari keluarga miskin terpaksa putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya pendidikan, sedangkan fasilitas kesehatan yang memadai hanya menjadi mimpi bagi mereka yang tinggal di pelosok desa. Lapangan kerja yang layak semakin sulit didapat, memaksa banyak orang untuk terjebak dalam pekerjaan informal dengan penghasilan yang tidak menentu.
ADVERTISEMENT
Lingkaran setan ini terus berputar, menciptakan generasi demi generasi yang terperangkap dalam kemiskinan. Rendahnya kualitas sumber daya manusia akibat akses pendidikan yang terbatas, berujung pada kesempatan kerja yang sempit dan pendapatan yang rendah. Ketergantungan pada bantuan sosial atau pekerjaan tidak tetap semakin memperburuk kondisi, menghambat upaya untuk meningkatkan kualitas hidup, dan akhirnya mewariskan kemiskinan kepada generasi berikutnya.
Berikut merupakan dampak lanjutan dari kemiskinan struktural, menunjukkan bagaimana kemiskinan dapat menciptakan lingkaran setan yang sulit diputuskan.
Sumber daya yang seharusnya digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat justru mengalir ke kantong-kantong pribadi atau terbuang sia-sia karena pengelolaan yang buruk. Lingkaran setan kemiskinan struktural ini bukan hanya merugikan individu dan keluarga, melainkan juga menghambat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Potensi manusia yang seharusnya menjadi aset berharga bagi pembangunan justru tersia-siakan karena sistem yang tidak adil dan tidak efektif.
ADVERTISEMENT
Inikah wajah negeri yang kita banggakan? Negeri yang katanya kaya raya, tetapi membiarkan jutaan rakyatnya hidup dalam kemiskinan yang terstruktur? Negeri yang sering menggaungkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", tetapi membiarkan ketidakadilan merajalela?
Di tengah jerat kemiskinan struktural yang menyesakkan, stigma "orang miskin egois" karena memiliki banyak anak semakin memperkeruh suasana. Narasi ini seolah menyalahkan korban, mengabaikan kompleksitas pilihan reproduksi dalam konteks kemiskinan yang membatasi.
Apakah keputusan memiliki banyak anak benar-benar merupakan pilihan "egois" bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan? Ataukah itu adalah manifestasi dari keterbatasan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan reproduksi, keyakinan akan pentingnya anak sebagai tenaga kerja atau jaminan sosial di masa depan, atau bahkan tekanan sosial dan budaya yang sulit dilawan?
ADVERTISEMENT
Kemiskinan dapat menciptakan ilusi bahwa memiliki banyak anak adalah sebuah "investasi" untuk masa depan, sebuah harapan samar di tengah ketidakpastian. Namun, ironisnya, "investasi" ini justru seringkali memperparah kemiskinan itu sendiri. Beban ekonomi yang meningkat, terbatasnya kesempatan bagi orangtua, terutama ibu, untuk bekerja atau mengembangkan diri, semuanya berkontribusi pada lingkaran setan yang semakin menjerat.
Menuduh orang miskin "egois" karena memiliki banyak anak adalah bentuk ketidakpekaan yang luar biasa. Ini adalah bentuk victim blaming yang mengabaikan akar permasalahan yang sebenarnya.
Lebih lanjut, seringkali kita mendengar seruan untuk memberikan kesempatan yang sama bagi semua, seolah-olah kemiskinan hanyalah masalah kurangnya peluang. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Kemiskinan struktural bukan hanya tentang ketiadaan kesempatan, tetapi juga tentang ketidakmampuan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut secara maksimal.
ADVERTISEMENT
Bayangkan seorang anak yang tumbuh di lingkungan kumuh dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan. Gizi buruk dan penyakit yang tak tertangani dapat menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitifnya. Ketika ia dewasa, meskipun ada peluang pekerjaan, kondisi fisiknya yang lemah mungkin membuatnya tidak mampu bersaing. Atau, pertimbangkan seorang remaja yang putus sekolah karena harus membantu orangtuanya mencari nafkah. Meskipun ada program pelatihan keterampilan, ia mungkin kesulitan untuk mengikutinya karena kurangnya dasar pendidikan yang memadai. Keterampilan yang ia miliki pun mungkin tidak relevan dengan tuntutan pasar kerja modern. Bahkan ketika ada peluang usaha, kemiskinan struktural dapat menjadi penghalang. Kurangnya akses terhadap modal, informasi pasar, dan jaringan sosial membuat individu dari keluarga miskin sulit untuk memulai atau mengembangkan usaha. Mereka terjebak dalam lingkaran kemiskinan, tidak mampu memanfaatkan kesempatan yang ada karena keterbatasan sumber daya dan modal sosial.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, memberikan kesempatan saja tidak cukup. Diperlukan sistem yang tidak hanya memberikan kesempatan, tetapi juga mendukung individu untuk memanfaatkan kesempatan tersebut. Pemerintah tentu memiliki peran krusial dalam menciptakan sistem yang mendukung. Kebijakan publik harus diarahkan untuk mengatasi akar masalah kemiskinan, bukan hanya memberikan bantuan sementara.
Kemiskinan bukanlah pilihan, melainkan produk dari sistem yang timpang. Masalah ini bukan tentang “malas” atau “tidak mau berusaha”, melainkan tentang peluang yang terenggut, akses yang terhambat, dan mimpi yang terkubur sebelum sempat mekar.