Konten dari Pengguna

Putra Mulyono: Bisa Ketawa, Tapi Bisa Apa?

Leonyta Anggun Nugroho
Leonyta Anggun Nugroho is a Political Science student at Universitas Bakrie, dedicated to advocating for sustainability and social welfare through her journalistic work.
28 September 2024 18:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Leonyta Anggun Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Jonathan Devin/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Jonathan Devin/kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di tengah gejolak ketidakpuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi yang semakin mengemuka, Kaesang Pangarep, putra presiden, tampaknya tidak peka terhadap realitas sosial yang terjadi di Indonesia. Sementara rakyat berjuang menghadapi berbagai masalah, mulai dari kenaikan harga kebutuhan pokok hingga pengangguran yang merajalela, Kaesang justru tampil dengan rompi bertuliskan “Putra Mulyono”. Tindakan ini tidak hanya menunjukkan ketidakpekaan, tetapi juga kesan sinis yang sangat mencolok.
ADVERTISEMENT
Rompi “Putra Mulyono” bukan sekadar fashion statement, melainkan simbol arogansi dari penguasa yang tampak jelas. Dalam situasi di mana masyarakat tengah berjuang untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya melambung tinggi, pengangguran meningkat, dan ketidakpastian ekonomi menghantui, sikap Kaesang yang seolah merayakan statusnya sebagai anak presiden hanya memperkuat anggapan bahwa ia sama sekali tidak menganggap serius sentimen publik. Ketidakpedulian ini tidak hanya berbahaya, tetapi juga dapat menciptakan jarak yang semakin jauh antara elite dan rakyat. Alih-alih memberikan contoh keteladanan dan empati, tindakan ini menunjukkan bahwa kesenangan dan kesuksesan pribadi lebih penting daripada penderitaan yang dialami oleh banyak orang.
Menarik untuk dicatat bahwa rompi tersebut muncul pada saat yang tidak tepat.
Sementara masyarakat resah dan marah terhadap kebijakan yang tidak berpihak pada mereka, Kaesang memilih untuk menampilkan citra yang meremehkan. Hal ini menunjukkan betapa jauh keluarganya dari realitas yang dihadapi rakyat sehari-hari.
ADVERTISEMENT

Arogansi di Balik Rompi

Kaesang Pangarep mungkin tidak menyadari bahwa senyum yang ia tampilkan sambil membagikan buku dan susu hanya menambah ironi dalam situasi yang dihadapi oleh rakyat. Senyuman Kaesang, yang tampaknya penuh kebaikan, dalam konteks ini justru menunjukkan betapa terputusnya ia dari kehidupan sehari-hari rakyat. Sementara banyak keluarga berjuang menghadapi kesulitan, tampaknya ia hanya ingin melanjutkan permainan politik yang seakan-akan menganggap bahwa semua ini adalah sebuah komedi.
Apakah ia tidak menyadari bahwa senyumannya yang cerah justru menambah luka bagi rakyat yang terpuruk? Dalam masyarakat yang sedang berjuang, penggunaan rompi bertuliskan “Putra Mulyono” merupakan suatu penghinaan. Rompi yang dikenakannya adalah simbol dari ketidakpedulian dan arogansi yang mendalam, yang menganggap krisis ini sebagai sebuah lelucon.
ADVERTISEMENT
Rompi ini, yang terlihat seperti pakaian kebesaran bagi seseorang yang telah merasa terlalu besar untuk menunduk kepada rakyat, menjadi contoh nyata dari ketidakpedulian penguasa terhadap masalah-masalah yang dihadapi rakyat sehari-hari. Krisis yang dihadapi rakyat bukanlah hal yang bisa ditertawakan. Bagi mereka yang hidup dalam ketidakpastian, krisis dan kritik adalah kenyataan yang harus dihadapi setiap hari. Namun, mungkin bagi Kaesang, semua ini hanyalah sebuah komedi—sebuah permainan yang bisa dia abaikan.

Tanpa Malu dan Adab

Sikap Kaesang Pangarep merupakan cerminan dari penguasa yang tidak memiliki rasa malu dan adab. Dalam hal ini, kita perlu bertanya: di mana adab seorang pemimpin? Di mana rasa malu untuk tampil di tengah ketidakpuasan rakyat? Kaesang seolah tidak merasa perlu untuk menyesuaikan perilakunya. Ini adalah wujud ketidakpekaan yang tidak seharusnya terjadi, terutama bagi seorang individu yang memegang tanggung jawab publik.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, rompi “Putra Mulyono” tidak hanya menjadi simbol arogansi, tetapi juga menandakan adanya budaya impunitas di kalangan elite penguasa. Kaesang tampak tidak khawatir akan kritik yang mungkin dia terima, seolah-olah posisi keluarganya menjadikannya kebal terhadap konsekuensi sosial. Ketidakmampuannya untuk menghubungkan antara kehidupan pribadinya dan realitas yang dihadapi masyarakat menunjukkan bahwa dia tidak memiliki adab atau telah kehilangan kompas moralnya.

Mengenal Analisis Goffman

Dalam dinamika sosial-politik Indonesia saat ini, tindakan Kaesang yang mengenakan rompi bertuliskan "Putra Mulyono" menciptakan gelombang amarah di kalangan publik. Di balik simbol yang provokatif ini, terdapat kerangka analisis yang menarik melalui konsep "front stage" dan "back stage" yang diperkenalkan oleh Erving Goffman.
Dalam bukunya yang berpengaruh, The Presentation of Self in Everyday Life (1959), Goffman mengenalkan istilah dramaturgi, yang mengacu pada bagaimana individu berperan di depan publik untuk mengelola kesan yang mereka ciptakan (impression management). Melalui simbol-simbol dan kerangka yang ada, individu menciptakan realitas yang dapat memengaruhi persepsi orang lain. Konsep "front stage" dan "back stage" dalam teori Goffman mengindikasikan bagaimana perilaku seseorang di depan publik bisa sangat berbeda dari yang terjadi di belakang layar.
ADVERTISEMENT
Saat Kaesang muncul di depan publik dengan rompi tersebut, ia berada di "front stage", di mana semua mata tertuju padanya. Tindakan ini bukanlah sekadar mode atau pernyataan gaya, melainkan juga sebuah pilihan sadar untuk berhadapan langsung dengan kritik yang ditujukan kepada keluarganya. Rompi "Putra Mulyono" berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan identitasnya sebagai putra presiden, sekaligus mengundang perhatian lebih lanjut terhadap situasi yang ada.
Namun, langkah ini adalah bentuk provokasi. Dalam waktu ketika masyarakat semakin kritis terhadap kebijakan pemerintah, penggunaan simbol yang berkaitan langsung dengan kritik publik menunjukkan sikap yang bisa dipahami sebagai ketidakpedulian atau bahkan arogansi. Kaesang, dalam penampilannya, ia lebih memilih menggunakan simbol-simbol provokatif untuk menangkis kritik tanpa menyajikan argumen substantif.
ADVERTISEMENT
Di ranah "back stage", Kaesang tentu menyadari betapa dalamnya rasa ketidakpuasan yang dialami masyarakat terhadap kebijakan pemerintahan. Meski ada kesadaran ini, keputusan untuk mengenakan rompi yang provokatif menimbulkan pertanyaan: Apakah ia benar-benar memahami dan mengindahkan suara rakyat yang kecewa?
Pilihannya untuk tetap tampil dengan simbol yang menjadi bagian dari kritik publik menciptakan kesenjangan antara penampilan dan realitas yang menunjukkan bahwa meskipun ia menyadari situasi rakyat saat ini, tindakan tersebut mencerminkan pengabaian suara rakyat yang marah dan kecewa.
Kesenjangan antara "front stage" dan "back stage" dalam tindakan Kaesang menciptakan ambivalensi di kalangan publik. Meskipun ada upaya untuk menunjukkan kepedulian—seperti kunjungan ke rumah warga miskin—simbol yang ia pilih justru memperkuat citra sebagai bagian dari elite yang tidak peka. Dalam konteks ini, rompi "Putra Mulyono" tidak hanya menjadi simbol identitas, tetapi juga sebagai representasi dari ketidakpedulian terhadap kesulitan yang dihadapi rakyat.
ADVERTISEMENT