Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Bayang-bayang Hukum bagi Perusahaan yang Tak Memenuhi Aturan BPJS Pekerja
10 Mei 2023 7:48 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Markus Lettang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Spesifikasi tulisan ini adalah menelisik akibat hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh pemberi kerja (korporasi) terhadap pendaftaran kepesertaan pekerjanya pada sistem jaminan sosial dan pembayaran iuran yang menjadi tanggungan pekerjanya, sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini terdapat dua (2) hal sebagai upaya perlindungan pekerja yang harus dilakukan pemberi kerja yaitu: 1. mendaftarkan tenaga kerjanya sebagai peserta pada (program) BPJS; 2. memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetor kepada BPJS.
Bahwa oleh karena dua hal tersebut di atas merupakan kewajiban pemberi kerja, secara logis menimbulkan larangan disertai sanksi bagi pemberi kerja manakala melakukan pelanggaran terhadap kewajiban tersebut. Adapun sanksi dimaksud dapat berupa sanksi administratif dan sanksi Pidana.
Perbuatan yang Diancam dengan Sanksi Administratif
Perbuatan pemberi kerja (korporasi) yang dapat dipertanggungjawabkan secara administratif adalah ”pelanggaran terhadap kewajiban mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta pada BPJS.” Sanksi administratif tersebut terdiri atas tiga (3) jenis yaitu:
ADVERTISEMENT
Siapa yang berwenang memberikan sanksi administratif?
Subjek atau penegak sanksi administratif dalam konteks ini dibedakan menjadi dua pihak. Pertama, Pihak BPJS. BPJS berwenang menegakan sanksi jenis ke 1 dan jenis ke 2 yaitu "teguran tertulis dan denda" kepada Pemberi kerja. Kedua, Pihak Pemerintah (Pemerintah pusat/Pemda). Sanksi jenis ketiga yaitu "tidak mendapatkan pelayanan publik" ditegakkan oleh pihak pemerintah.
Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial, merumuskan bahwa sanksi tidak mendapat pelayanan publik tersebut meliputi:
ADVERTISEMENT
Perhatikan rumusan Pasal 15 ayat (1) UU BPJS, berikut ini,
”Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut diberikan ancaman hukuman administratif dalam pasal Pasal 17 ayat (1) jo ayat (2).
Perumusan ketentuan Pasal 15 ayat (1) a quo sangat problematis. Hal mana karena menggunakan kata hubung ”dan” untuk menghubungkan subjek hukum ”pemberi kerja” dan pekerja, maka ketentuan pasal ini bersifat kumulatif. Implikasinya, pelanggaran administrasi Pasal 15 ayat 1 a quo baru dianggap ada manakala pekerja tidak mendaftarkan dirinya plus pekerjanya sebagai peserta pada BPJS. Padahal dalam praktiknya dapat saja terjadi pekerja hanya mendaftarkan salah satu dari kedua pihak tersebut.
ADVERTISEMENT
Perbuatan yang Diancam dengan Sanksi Pidana
Menurut ketentuan Pasal 55 UU BPJS bahwa ”Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Rumusan Pasal 19 ayat 1 sebagai berikut:
”Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.”
Subjek delik Pasal 55 ayat 1 tersebut adalah “pemberi Kerja (korporasi). Sedangkan perbuatan pidana adalah pelanggaran terhadap dua (2) kewajiban sekaligus yaitu: 1. Memungut iuran dari pekerja sebagai pembayaran kepada BPJS; dan. 2. Menyetor pungutan iuran tersebut Kepada BPJS.
Problematika delik Pasal 55 ayat (1) a quo adalah bahwa pelanggaran terhadap kewajiban dalam Pasal 19 ayat (1) tersebut baru dikualifikasi sebagai delik dalam Pasal 55 ayat (1), jika pemberi kerja melakukan dua perbuatan sekaligus (secara berlanjut), yaitu tidak memungut iuran yang menjadi tanggung jawab pekerja dan tidak menyetornya kepada BPJS.
Padahal dalam praktik dapat saja timbul suatu fakta ”si pemberi kerja memungut iuran BPJS dari Pekerjanya selaku anggota BPJS, tetapi tidak menyetorkan kepada BPJS.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi celah hukum tersebut, apabila pekerja (korporasi) memungut iuran BPJS dari pekerjanya, tetapi kemudian tidak menyetorkan kepada BPJS, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang delik penggelapan yaitu sebagaimana ketentuan Pasal 374 yang berbunyi:
”Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubung dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah uang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun.”
Sampai titik ini, Pemberi kerja dapat lolos dari sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). Namun, tidak demikian dengan sanksi pidana. Celah hukum delik Pasal 55 ayat (1) a quo dapat dijawab menggunakan KUHP. Tegasnya, Pekerja yang melakukan pemungutan iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya, tetapi tidak menyetornya kepada BPJS tetap dapat ditindak secara pidana berdasarkan Pasal 374 KUHP.
ADVERTISEMENT