Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Meninjau Prosedur Pembebasan Bersyarat Terhadap Pinangki Sirna Malasari
14 September 2022 12:47 WIB
Tulisan dari Markus Lettang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di tengah kegelisahan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia secara umum dan secara khusus terhadap penyelesaian perkara dugaan tindak pidana pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo dan kawan-kawan, publik kembali dihebohkan dengan peristiwa pembebasan bersyarat terpidana korupsi dan pencucian uang eks Jaksa Pinangki Sirna Malasari dari Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) kelas IIA Tangerang.
ADVERTISEMENT
Terkait peristiwa ini, pertanyaan yang muncul adalah apakah pembebasan bersyarat terpidana korupsi (koruptor) Pinangki Sirna Malasari telah sesuai dengan prosedur/hukum yang berlaku?
Secara yuridis, Pasal 9 dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan (UU Lapas) telah mengatur tentang hak-hak narapidana. Hak-hak tersebut di antaranya dirumuskan secara expressive verbis dalam Pasal 10 ayat (1) yitu: hak akan remisi, asimilasi, cuti mengunjungi atau dikunjungi keluarga, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas dan pembebasan bersyarat. Tulisan ini akan fokus pada soal pembebasan bersyarat.
Menurut Pasal 10 ayat (4), seorang narapidana dapat hak bebas bersyarat atau tidak, itu ditentukan berdasarkan atas stelsel pidana (hukuman) yang diterimanya, yaitu apakah narapidana tersebut dijatuhi dipidana seumur hidup, pidana mati atau pidana waktu tertentu. Jadi, di sini pintu masuknya.
ADVERTISEMENT
Jika pelaku tindak pidana dijatuhi pidana seumur hidup atau pidana mati, hak pembebasan bersyarat tidak berlaku baginya. Sebaliknya, jika pelaku tindak pidana dijatuhi pidana penjara waktu tertentu, yang bersangkutan dapat berhak atas pembebasan bersyarat. Tegasnya, narapidana dapat atau tidak atas hak pembebasan bersyarat, ditentukan berdasarkan kualifikasi pidana, bukan berdasarkan kualifikasi tindak pidana.
Dengan demikian, jika seseorang narapidana dipidana atas tindak pidana pencurian, pemerkosaan, penggelapan, pembunuhan, terorisme perdagangan orang, pencucian uang korupsi (apapun tindak pidananya), apabila oleh pengadilan dijatuhi pidana waktu tertentu, maka berdasarkan UU Lapas, narapidana yang bersangkutan dapat memperoleh hak pembebasan bersyarat, dengan catatan telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Adapun persyaratan tersebut adalah di antaranya: berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan, telah menunjukkan penurunan tingkat risiko dan telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua pertiga) dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut paling sedikit 9 (sembilan) bulan, maka dapat dapat diberikan pemenuhan hak bebas bersyarat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan undang-undang a quo, jika dihubungkan dengan peristiwa pembebasan bersyarat narapidana korupsi dan pencucian uang yakni Pinangki Sirna Malasari, secara positivistik tidak ada persoalan. Mengapa demikian? karena Pinangki Sirna Malasari tidak dipidana dengan hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Di samping itu, ia telah memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas.
Namun demikian, penulis tegaskan bahwa menerapkan undang-undang sebagaimana tersebut diatas merupakan suatu pemahaman hukum yang sangat dangkal yaitu memahami undang-undang sebagai suatu rumusan legalistik positivistik yang kaku dan selesai, sehingga undang-undang diterapkan pula secara kaku dan apa adanya, tanpa melihat aspek sosiologisnya.
Padahal sesungguhnya hukum mengandung moralitas dari suatu masyarakat di mana hukum itu berlaku sebagaimana adagium hukum Quid leges sine moribus "apa artinya hukum kalau tidak ada kandungan moralnya". Itu sebabnya, penerapan hukum harus memperhatikan pula aspek sosial kemasyarakatan sehinga tujuan hukum dapat tercapai yakni adanya suatu tatanan masyarakat yang harmoni.
ADVERTISEMENT
Kaitannya dengan pembebasan bersyarat Pinangki Sirna Malasari, petugas yang bersangkutan harus memperhatikan dan mempertimbangkan pula kehendak dan keadilan masyarakat selaku korban tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Jangan sampai dengan pembebasan bersyarat justru membuka lebar tabir ketidakadilan di Republik ini. Hal ini harus menjadi perhatian dalam penegakan hukum, karena jikalau hukum ditegakan tanpa keadilan, maka itu bukan hukum namanya, tetapi kesewenang-wenangan dan diskriminasi.
Sedikit meluas, terkait tindak pidana korupsi, UU Tipikor bila dilihat secara sistematis dari judul, konsiderans, bagian mengingat, Pasal 2, Pasal 3 dan bagian penjelasan umum angka 1, penjelasan umum angka 2, Pasal 2, Pasal 3 dan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), maka diketahui bahwa tindakan pidana korupsi terkualifikasi sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
ADVERTISEMENT
Hal yang sama, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) mengatur bahwa tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutan yang sedemikian rupa dapat membahayakan, mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan serta membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagai kejahatan yang berdampak sedemikian rupa terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan negara, membahayakan sendi-sendi kehidupan bangsa, melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, tetapi kemudian diberikan hukuman yang sangat rendah serta mudah menghirup udara segar, ini sangat melukai rasa keadilan masyarakat.
Demikian juga dari perspektif kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), hukuman yang sangat ringan dan memudahkan pelaku kejahatan (koruptor) bebas bersyarat, secara prinsip bertentangan dengan makna daripada kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, terkait rumusan Pasal 10 UU Lapas yang telah membuka lebar pintu kemerdekaan bagi koruptor. Tentu saja ini sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin UU Lapas memudahkan para narapidana, terutama para koruptor yang telah melakukan tindak pidana korupsi dengan mengorbankan kemaslahatan rakyat, membusukan bangsa dan negara sedemikian rupa, tetapi kemudian dengan mudahnya mendapatkan kemerdekaan.
Pertanyaan terhadap persoalan ini adalah mengapa undang-undang Lapas sedemikian rupa memberikan pengaturan yang menguntungkan bagi narapidana tindak pidana korupsi? Menurut penulis ada dua (2) kemungkinan:
Pertama, persoalan ontology. Materi muatan undang-undang a quo murni berasal dari kepentingan oknum-oknum kekuasaan, bukan dari kebutuhan dan kepentingan masyarakat maupun nawa cita bangsa.
Kedua, persoalan epistemology. Tidak melibatkan masyarakat dalam proses perumusan dan pembahasannya. Padahal masyarakat selaku korban tindak pidana korupsi sering bersuara dengan lantang agar para koruptor diberikan hukuman yang seberat mungkin.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan persoalan ontology dan epistemology tersebut di atas, dengan menyetir pemikiran Prof. Satjipto Rahardjo, maka dapat penulis katakan bahwa UU Lapas telah dopolitisir secara negetif, bahkan sejak diciptakannya. Akibatnya, rentan menjadi aspek kriminogen, yaitu membuka peluang bagi kejahatan korupsi berikutnya.
Kesimpulan tulisan ini adalah pertama, pembebasan bersyarat terpidana korupsi dan pencucian uang Pinangki Sirna Malasari merupakan konkretisasi atas semangat positivistic yang ekstrim yaitu legisme. Tentu saja hal ini bertentangan dengan keadilan substantif di dalam masyarakat.
Kedua, terdapat persoalan substansi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 Tentang Pemasyarakatan, yakni dimudahkan terpidana korupsi (koruptor) untuk memperoleh hak bebas bersyarat.
Saran tulisan ini adalah pertama, sebaiknya penerapan hukum secara kaku dengan mengabaikan aspek sosiologis dihindarkan sehingga penegakan hukum betul-betul dapat menyelesaikan permasalahan bangsa dan tidak menimbulkan masalah baru dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kedua, Pasal 10 UU Lapas harus menjadi atensi penyelesaiannya. Pasal a quo sebaiknya dilakukan revisi ataupun uji materiil untuk kemudian diberikan aturan dan/atau norma baru yaitu pembebasan bersyarat tidak lagi hanya ditentukan berdasarkan pidana semata, tetapi dapat ditentukan pula berdasarkan kualifikasi tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat khusus. Tindak pidana tertentu di antaranya adalah korupsi.
Jadi, narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi dapat memperoleh pembebasan bersyarat harus ada batasan-batasan dan syarat-syarat khusus dan tegas untuk itu.
Batasan dan syarat khusus misalnya, pembebasan bersyarat hanya berlaku terhadap narapidana yang dipidana penjara paling singkat 10 tahun. Dengan demikian, narapidana yang dipidana di bawah 10 tahun tidak berhak atas pembebasan bersyarat, meskipun yang bersangkutan telah berkelakuan baik, aktif mengikuti program pembinaan dan telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
ADVERTISEMENT
Penulis: Markus Lettang