Konten dari Pengguna

Pidana Penjara Terhadap ABH Korban Kekerasan, Penegakan Hukum Atau Dukun?

Markus Lettang
Lawyer di Ario, Basyirah & Partners Law Firm & Asisten Pengacara Publik LBH APIK Jakarta
16 Februari 2025 12:42 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Markus Lettang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Markus Lettang Sedang Memberikan Advis Hukum: "Ketahuilah Hak Anda Untuk Bertahan Dalam Sistem Yang Buruk".
zoom-in-whitePerbesar
Markus Lettang Sedang Memberikan Advis Hukum: "Ketahuilah Hak Anda Untuk Bertahan Dalam Sistem Yang Buruk".
Judul di atas dipilh untuk mengambarkan kondisi penegakan hukum terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) di republik ini, khususnya Anak Berkonflik Dengan Hukum.
ADVERTISEMENT
Penegakan hukum dimaksudkan di sini adalah menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melindungi dan memulihkan kehidupan Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) akibat kekerasan yang dialaminya (riwayat kekerasan). Artinya, penegakan hukum tidak direduksi pada saat terjadinya tindak pidana tetapi melihat secara komprehensif terhadap peristiwa-peristiwa sebelum, pada saat dan setelah terjadinya tindak pidana. Sedangkan yang dimaksudkan dengan penegakan dukun di sini adalah penegakan hukum secara tertutup, yaitu penilaian pencari fakta dan pengambilan keputusan direduksi pada sat terjadinya tindak pidana. Dalam konteks penegakan dukun, semanagtanya adalah semangat penghakiman layaknya dukun egois, bebas moral yang menyihir sehingga dapat merusak kehidupan dan masa depan ABH.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan refleksi penulis pada saat melakukan pembelaan hukum terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) di pengadilan negeri (PN). Dalam perkara ini, ABH didakwa melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap ayahnya.
Fakta terungkap di persidangan bahwa sejak kecil, ABH mengalami kekerasan fisik dan psikis oleh ayahnya secara berlanjut. Kekerasan tersebut bahkan berupa ancaman pembunuhan menggunakan golok secara berulang. Dampak kekerasan tersebut antara lain, ABH putus sekolah dan hidup di jalanan sebagai upaya mencari kehidupan yang aman atas penyiksaan dan bertahan hidup.
Setelah satu tahun lamanya ABH hidup di jalanan, ia kembali ke rumah dan tinggal bersama ayah dan adiknya. Namun, Ayah ABH kembali melakukan kekerasan fisik dan piskis termasuk ancaman pembunuhan terhadap ABH menggunakan golok. Oleh karena kekerasan dan ancaman berulang tetsebut, pada satu titik, ABH melakukan penusukan kepada ayahnya menggunakan pisau sehingga ayahnya meniggal dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam perkara di atas, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa ABH berdasarkan delik Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana dan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa.
Selanjutnya, JPU menuntut ABH pidana penjara selama delapan (8) tahun dengan alasan ABH melanggar Pasal 340 KUHP. Namun, hakim tunggal yang mengadili dan memeriksa perkara tersebut menyatakan bahwa ABH melanggar pasal 338 KUHP dan selanjutnya menjatuhkan pidana 2 tahun penjara.
Oleh karena hakim menjatuhkan hukuman dua (2) tahun penjara, JPU mengajukan perlawanan/banding ke pengadilan tinggi dengan permohonan agar pengadilan tinggi menghukum ABH delapan (8) tahun penjara (Dalam perkara ini, JPU mengajukan perlawanan hingga Mahkamah Agung RI/tingkat kasasi. Namun dalam tulisan ini, penulis akan membatasi tulisan ini pada tingkat banding).
ADVERTISEMENT
Permasalahan dalam kasus ini adalah alasan-alasan JPU mengajukan perlawanan/banding. Adapun alasan JPU pada pokoknya: Pertama, hukuman dua (2) tahun penjara kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat; Kedua, hukuman dua (2) tahun penjara tidak menimbulkan efek jera/kapok terhadap ABH dan tidak memberikan pencegahan sekaligus kepada pihak lain.
Dalam tulisan ini, penulis akan berargumen bahwa: Pertama, pidana penjara terhadap ABH dalam tenggang waktu yang lama sebagai pertanggungjawaban untuk memulihkan rasa keadilan masyarakat adalah argumen yang bias moral; Kedua, pidana penjara terhadap ABH dalam jangka waktu yang lama sebagai upaya perbaikan diri ABH dan sekaligus alat pencegahan kejahatan secara umum adalah argumentasi yang bertentangan dengan supremasi kepentingan terbaik anak dan pelangaran terhadap martabat ABH.
ADVERTISEMENT

Rasa Keadilan Masyarakat (Moralitas Masyarakat)

JPU berargumen bahwa ABH dihukum penjara dalam tenggang waktu yang lama (8 tahun penjara) sebagai pertanggungjawaban/pemulihan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat yang mana? Masyarakat yang melakukan kekerasan (secara pasif/tidak melakukan kewajiban) kepada ABH? Keadilan/moralitas model apakah itu! Argumen JPU tidak masuk akal, tidak sesuai dengan aspek hukum dan aspek faktual.
Argumen penulis sebagai berikut:Pertama, Dalam konteks sasaran delik, rezim delik Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP yang didakwakan kepada ABH adalah delik yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan individu, bukan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, kalaupun ABH melakukan tindak pidana berdasarkan delik a quo, maka berdasarkan pradika hukum klasik, fokus pertanggungjawaban hukum pidana karena adanya pelanggaran terhadap negara (produk negara). Atau, berdasarkan paradigma hukum modern, fokus pertanggungjawaban pidana adalah karena pelanggaran terhadap hak hidup individu. Hanya dua hal itu.
ADVERTISEMENT
Kedua, ABH memiliki hak otonom/asasi untuk hidup dalam kebebasan atas kekerasan dalam bentuk apapun. Namun faktanya, ABH telah terlalu lama hidup sebagai korban kekerasan yang dilakukan secara aktif dan secara berlanjut oleh ayahnya dan secara pasif oleh masyarakat, pemerintah dan negara.
Ketiga, ABH tidak dilahirkan dalam keadaan yang siap sedia untuk menghidupi moralitas yang tersedia. Itu sebabnya, peraturan perundang-undangan memberikan kewajiban hukum kepada orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara untuk membimbingnya dalam kejelasan moral sehingga tahap demi tahap seiring bertumbuh menjadi dewasa secara usia, juga dewasa secara intelektual dan secara moral. Namun faktanya, otoritas moral justru mengajarkan ABH tentang manajemen penyelesaian masalah dengan cara kekerasan yang merupakan pelanggaran moral dan hukum sekaligus.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks ini, ABH menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan adalah akibat metode penyelesaian masalah yang ia alami dan terima dari agen moral sebagaimana teori kriminologi menyatakan bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial (Differential association);
Keempat, argumen rasa keadilan masyarakat merupakan pertimbangan moral/nilai, bukan pertimbangan hukum. Dalam hal ini, JPU melakukan penilaian moral. Namun ironisnya, ia melakukan penilaian moral secara tidak jujur.
Hal mana memperhatikan latar belakang di atas bahwa sejak kecil, ABH mengalami kekerasan secara fisik dan psikis secara berlanjut dan berulang oleh ayahnya sendiri (korban). Namun, negara; pemerintah dan masyarakat enggan menolongnya dan justru ikut memberikan kekerasan secara pasif kepada ABH. Tegasnya, pelaku pelanggaran moral secara kualitatif adalah negara, ayah ABH dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Atau, Jika JPU bertindak sedikit jujur, ia dapat berargumentasi bahwa ada pertentangan atau konflik moral dalam perkara ini, yaitu di satu sisi, ABH mempunyai kewajiban moral untuk menghormati ayahnya dan di sisi lain; Kewajiban Ayah ABH, masyarakat, pemerintah dan negara untuk menghormati dan memastikan terciptanya lingkungan yang aman sehingga ABH menikmati hak asasi dan kebebasan dasar secara bermakna.
Katakanlah adanya konflik atau pertentangan moral, pertanggungjawaban moral Ayah ABH, masyarakat, pemerintah dan negara kepada ABH lah yang mestinya dimenangkan. Mengapa? Karena sebagai anak, ia merupakan sumber daya dan masa depan bangsa dan negara. Atmosfer negara dan/atau dunia macam apakah yang diidealkan di masa depan ada pada anak.
Selain itu, karena kewajiban moral untuk menghormati dan melindungi ABH merupakan kewajiban berdasarkan legalitas formal dan konstitusional sebagaimana ketentuan perundang-undangan antara lain, Pasal 20, 21, 25, 26, 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini, timbul pertanyaan kritis, yaitu: Rasa keadilan masyarakat yang bagaimanakah yang telah dilanggar ABH, bagaimana JPU tahu bahwa masyarakat mengalami ketidakadilan akibat tindakan ABH, apa metode yang digunakan untuk mengukur ketidakadilan tersebut? bagaimana metode tersebut bekerja? Siapa supek yang mengoperasikan metode tersebut? Yang pasti, JPU tidak mempunyai jawaban dalam konteks ini. Justru fakta in casu, masyarakat telah memberikan dukungan kepada ABH dalam bentuk amicus curiae.

Anak Sebagai Alat Pencegahan Kejahatan

JPU berargumen bahwa hukuman 2 tahun penjara dalam putusan tersebut tidak menimbulkan efek jera/kapok terhadap ABH dan tidak berefek pencegahan terhadap pihak lain untuk melakukan kejahatan yang sama. Oleh karena itu, menurut JPU, Jadi, ABH harus dihukum delapan tahun penjara sebagai alat pencegahan kejahatan.
ADVERTISEMENT
Argumen di atas merupakan argumentasi teori pemidanaan klasik yang menyatakan bahwa pidana penjara dimaksudkan sebagai upaya perbaikan atau perubahan pada diri ABH dan untuk menimbulkan ketakutan kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana yang sama (menakut-nakuti). Ini pula argumen yang tidak masuk akal dan bertentangan dengan supremasi kepentingan terbaik anak yang merupakan ruh (jiwa) peraturan-perundang-undangan.
Argumen penulis sebagai berikut:
Partama, Pasal 2 huruf b Juncto penjelasan umum paragraf 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Juncto Pasal 37 Huruf (B) Konvensi Hak Anak, menyatakan bahwa Penegakan hukum pidana terhadap anak harus sesuai dengan konvensi hak-hak anak, yakni menjiwai prinsip kepentingan terbaik anak dan karena itu pula hukuman (pidana) terhadap anak harus dilakukan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang paling singkat.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, terdapat perbedaan prinsip dasar pada sistem peradilan pidana anak dan sistem peradilan pidana orang dewasa. Hal mana sistem peradilan pidana anak berfokus pada rehabilitasi dan reintegrasi anak dalam masyarakat, sedangkan sistem peradilan pidana orang dewasa mengutamakan hukuman dan pencegahan. Peradilan pidana anak bertujuan untuk mengatasi masalah mendasar yang menyebabkan pelanggaran dan membimbing pelaku muda menuju perubahan positif.
Konsekuensi atas jaminan kewajiban moral berdasarkan hukum legalitas formal, maka demi kepentingan terbaik anak, pihak-pihak yang terlibat dalam sistem peradilan pidan harus mempertimbagkan secara komprehensif semu elemen yang berhubungan dengan ABH baik yang hadir secara ante factum, factum, mapun post factum dengan tindak pidana. Dengan kata lain, Aparat Penegak hukum (APH) harus mempertimbangkan secara komprehensif terhadap diri ABH, latar belakang dan masa depan ABH demi pengambilan keputusan yang berfokus pada kepentingan terbaik anak.
ADVERTISEMENT
Kedua, Jika sasaran negara (JPU) adalah perubahan terhadap diri ABH, maka semestinya ABH dikenakan kualifikasi pidana antara: 1. pidana peringatan; 2. pidana dengan syarat; 3. pelatihan kerja atau pembinaan dalam Lembaga sebagaimana ketentuan pasal 71 ayat (1) huruf a, b, c dan d Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Jadi, bukan pidana penjara, apalagi pidana penjara dalam tentang waktu lama yang justru dapat menjadi faktor kriminogen.
Hal mana secara kriminologi, penghukuman/pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana (ABH) yang telah menjadi objek kekerasan fisik dan psikis dalam waktu yang lama, maka hukuman penjara, apalagi hukuman penjara dalam waktu yang lama dapat menimbulkan dendam yang selanjutnya dapat melakukan kembali tindak pidana.
ADVERTISEMENT
Namun ironisnya, negara melalui JPU berusaha melanjutkan pemenjaraan terhadap ABH dengan kedok perbaikan diri ABH dan pembelajaran (pencegahan) terhadap pihak lain. Argumentasi JPU dalam konteks ini selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Argumentasi ini tidak didukung pula secara empiris sebagaimana data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada Februari 2020, bahwa total 268.001 tahanan dan narapidana dan sebanyak 18,12% adalah residivis.
Khusus residivis sebanyak 204.185 (ditjenpas.go.id); dan data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) dikutip oleh Turnip Mega Marta, Dkk dalam Jurnal Risalah Hukum, Volume 19, Nomor 1, Juni 2023 menerangkan bahwa per tanggal 10 Desember 2021, angka residivis di Indonesia mencapai angka 30 ribu dari jumlah total narapidana 272.212 orang.
Berdasarkan data empiris diatas jelaslah bahwa teori pencegahan umum tidak berhasil. Ya, jangankan hukum penjara dalam waktu yang lama, bahkan hukuman yang paling ekstrim seperti hukuman mati pun tidak tidak mempunyai preverensi terhadap kejahatan.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, Menjadikan ABH yang telah sekian lama menderita atas kekerasan fisik dan psikis sebagai akibat kegagalan subjek moral legalitas formal tersebut sebagai alat (objek) pencegahan kejahatan merupakan tindakan yang berlebihan, bertentangan dengan supremasi kepentingan terbaik anak (ABH) dan merendahkan martabat ABH.
Ketiga, jika negara (JPU) hendak melakukan pencegahan terhadap anak-anak lain tindakan tindak pidana yang sama, maka seharusnya mengefektifkan dan memaksimalkan kerja-kerja lembaga-lembaga negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua agar melakukan kewajiban legalitas formal (lex imperfecta) secara maksimal. Jadi, bukan dengan cara menjadikan anak sebagai alat pencegahan kejahatan.
Sampai di sini, pertama, Pidana penjara terhadap ABH dalam jangka waktu yang lama sebagai dasar pemenuhan / pemulihan rasa keadilan masyarakat adalah argumentasi yang tidak berbasis dasar hukum dan kejelasan moral; Kedua, Pidana penjara terhadap ABH dalam jangka waktu yang lama sebagai upaya membuat ABH kapok adalah argumen yang bertentangan dengan prinsip supremasi kepentingan terbaik anak dan pelanggaran martabat anak.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup:
Dok: Markus Lettang