Mempertimbangkan Balikan

Lex dePraxis
Love & Relationship Coach, Founder of KelasCinta.com - Check out HIGHLIGHTs in my IG instagram.com/lexdepraxis for more lessons! Follow also kumparan.com/kelascinta And get more lessons @ shor.by/lexdepraxis
Konten dari Pengguna
27 September 2019 8:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lex dePraxis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi mantan pacar. Foto: Isaac Cabezas/Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi mantan pacar. Foto: Isaac Cabezas/Unsplash
ADVERTISEMENT
"Kalau mau balikan sama mantan, apakah aku sebagai cewek harus nunggu diajak balikan? Apakah aku tunggu dia nunjukkin gelagat bersahabat lagi atau kode-kode ngajak balikan? Atau aku langsung saja bilang mau balikan?"
ADVERTISEMENT
Bagaimana cara anda menjawab pertanyaan di atas?
Izinkan saya menjawab itu dengan agak lebih panjang dan agak berputar melengkung sedikit, seperti tendangan pisang.
Coba pikirkan ini: Semasa PDKT (atau kita sebutnya fase pre-relationship, masih ingat?), pihak manakah yang mulai mendekati dan mengajak jadian? Apakah pria? Atau wanita?
Di Kelas Cinta, kita percaya bahwa inisiasi hubungan (mulai dari mengajak kenalan, ngobrol, kencan, sampai akhirnya jadian) adalah tanggung jawab pihak yang berminat. Siapa yang mau, dia yang maju. Begitu kira slogannya. Tanggung jawab ada di tangan siapapun yang menginginkan, tanpa peduli apa gendernya. Kalau keduanya berminat, ya, jelas keduanya sama-sama maju ketemu di tengah.
Saya tidak pernah sependapat dengan stereotip pria harus maju dan wanita harus menunggu. Itu adalah sebuah narasi sosial yang semakin tidak relevan dengan kondisi dan kesadaran manusia di zaman modern.
ADVERTISEMENT
Apalagi jika dikait-kaitkan dengan pria itu seperti sperma yang harus mengejar maju dan wanita itu seperti ovum yang diam menunggu di sarang. Jual mahal (yang biasanya dilakukan wanita) adalah strategi usang lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, sekaligus merendahkan wanita jadi seperti barang atau objek.
Pria bebas mendekati siapa saja yang dia inginkan, sementara wanita hanya bisa memilih orang-orang yang sudah mendekati. Pengkotak-kotakan seperti itu sudah terbukti memicu banyak sekali isu masalah dan ketimpangan di masyarakat. Jika di awal pendekatan saja kedua orangnya sudah sekaku itu, saya bisa pastikan hubungannya nanti akan banyak bermasalah terkait ketidaksetaraan peran dan kuasa.
Jadi semasa pre-relationship, saya yakin kedua belah pihak yang berminat wajib untuk sama-sama maju, alias proaktif. Jika sama-sama minat, keduanya maju. Keduanya perlu melangkah ke depan, membuka percakapan, menawarkan kegiatan, dan mempermudah interaksi. Jika baru satu orang yang minat, maka dia saja yang maju ‘memberi penawaran’.
ADVERTISEMENT
Prinsip yang sama juga berlaku di masa post-relationship. Pihak yang mau balikan lah yang perlu maju lebih dahulu menyampaikan maksudnya, terlepas anda seorang pria ataupun seorang wanita. Sebenarnya itu common sense saja, tidak perlu logika yang rumit.
Jika dijadikan tabel, kira-kira seperti berikut ini:
Lagipula sekadar menyatakan ingin balikan kan belum tentu diiyakan oleh pihak satunya lagi. Berlama-lama berpikir, mempertimbangkan, menunggu kode ini-itu justru akan merugikan diri sendiri karena waktu terus berlalu.
Dengan maju ‘mengajukan proposal’, kita akan segera tahu apakah mantan memang masih berminat balikan itu atau tidak. Jika jawabannya tidak, kita bisa segera lanjut ke rute move on tanpa menderita lebih panjang lagi. Sudah baca tulisan super penting tentang move on 'kan?
ADVERTISEMENT

Benarkah Balikan Itu Lebih Baik?

Nah, ini adalah pertanyaan yang lebih bermanfaat dibandingkan pertanyaan di awal tadi.
Bagi saya pribadi, memusingkan ajak balikan atau nunggu diajak balikan itu cenderung bernilai sama; suram. Sekadar balikan saja biasanya akan menghantarkan kita pada masalah-masalah yang sama, namun benturan dan ‘meledaknya’ bisa jadi lebih parah karena kali ini kita (atau dia) lebih cepat terpelatuk akibat gulungan emosi sebelumnya.
Jarang sekali sepasang kekasih tahu bagaimana caranya mengelola rasa sesak, kecewa, dan sakit hati yang tempo hari menjerumuskan mereka pada kata perpisahan. Setelah balikan, mereka hanya meminta maaf dan berkomitmen ulang untuk saling mencintai. Yang sudah lalu, dibiarkan berlalu, seperti mendorong sampah ke bawah karpet.
Biasanya, mereka tidak mau bahas kekeliruan dan pola perilaku yang lalu-lalu, karena menganggap kekuatan cinta akan menyelesaikan segalanya seiring waktu.
ADVERTISEMENT
Alhasil, tidak perlu lama mereka akan terjerat masalah yang serupa, memicu reaksi emosional yang lebih panas atau reaktif, sehingga menciptakan masalah-masalah baru akibat kondisi hati yang sama-sama tidak enak itu. Para pasangan yang sering putus-nyambung alias balikan beberapa kali, istilahnya adalah cyclical relationship, cenderung alami lebih banyak masalah dibanding pasangan yang tidak putus-nyambung:
Menurut Amber Vennum, asisten profesor bidang studi keluarga dan pelayanan manusia di Universitas Kansas, "If you tend to be cyclical while dating, you tend to be cyclical while married. The more you are cyclical, the more your relationship quality tends to decrease and that creates a lack of trust and uncertainty about the future of the relationship, perpetuating the pattern."
ADVERTISEMENT
Sepanjang perjalanan hidup ini, saya pun pernah berada dalam hubungan putus-nyambung. Walau sudah dibekali berbagai pengetahuan ilmu cinta, apapun upaya saya tidak membuahkan hasil sesuai harapan. Ketika mencoba balikan, saya dan mantan tetap saja berakhir jauh lebih buruk (dan menyakitkan) daripada previous season. Bisa dibilang saya cukup beruntung hanya sekali saja putus-nyambung.
Tidak terbayang sakitnya kebanyakan orang yang bisa putus-nyambung berkali-kali, karena berada dalam hubungan bermasalah seperti itu bukan cuma menyakiti hati sendiri, tapi juga menyakiti tubuh.
Lagipula, sekadar balikan biasanya tidak menyelesaikan masalah jika semasa putus itu keduanya belum terbukti mampu mengatasi hal-hal yang membuat mereka berpisah kemarin.

Kenapa Sebaiknya Tidak Balikan?

Sebelum saya jawab itu, saya tanya dulu, “Kenapa orang ingin balikan?”
ADVERTISEMENT
Jawaban terpopuler biasanya berbunyi, “Karena masih cinta atau sayang.”
Orang-orang yang memaksakan balikan sering kali bergerak atas dasar perasaan. “Cintanya masih ada, masih kuat di hati. Inilah tanda cinta sejati. Makanya aku yakin sebenarnya kita bisa bersama!” demikian varian argumentasi yang sering saya dengar.
Padahal kita sudah belajar di artikel sebelumnya bahwa perasaan-perasaan itu hanyalah badai kimiawi di otak saja. Ketika mengenang pasangan, atau melihat foto masa lalu, bagian otak nucleus accumbens dan orbitofrontal/prefrontal cortex mereka mendadak menyala seperti seseorang yang sedang kecanduan kokain. Mereka ingin balikan karena sedang sakau.
Mereka pikir rasa sakit itu adalah bukti cinta atau sayang, tapi sebenarnya hanya reaksi tubuh yang sedang nagih karena tidak mendapat asupan positif yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Setelah putus, mereka sejenak lupa (atau mengabaikan) masalah dan perbedaan yang begitu parah memecah hubungan tempo hari. Mereka ingin menghilangkan rasa hampa, linglung, sakit hati, sepi, tidak berdaya yang dialami semenjak tidak hidup bersama lagi. Mereka ingin segera mengembalikan perasaan tenang, aman dan nyaman yang pernah ada itu, dan balikan adalah solusi terdekat (dan termurah!) dibandingkan memulai lagi hubungan yang baru dengan orang baru.
Efek sakau dan nafsu solusi instan itu makin diperparah dengan kebiasaan tetap berteman dekat pascaputus. Memang tidak ada salahnya membina keakraban dengan mantan, namun menurut saya itu sangat berisiko mengacaukan pikiran karena setiap hari kita terpapar dengan sugesti-sugesti kenyamanan seperti di masa lalu. Ibarat ingin berhenti merokok, tapi masih rajin nongkrong bersama dengan teman-teman yang merokok.
ADVERTISEMENT
Itu sebabnya, jika dorongan balikan itu ditindaklanjuti, mereka akan kembali berendam dalam kubangan yang sama, dan lebih berisiko putus-nyambung lagi. Mengutip penelitian Rachel Lindstorm, "On average, partners who have renewed their relationship report poorer communication, fewer positive relationship maintenance behaviors, lower levels of dedication and satisfaction, and greater uncertainty in their relationship, as well as higher levels of verbal abuse and physical violence, than partners who have remained stably together."
Saya tidak menyangkal ada studi yang menyatakan balikan bisa berhasil dan jadi stabil membaik, namun itu baru bisa terjadi jika keduanya sepakat bekerja keras berusaha memperbaiki lubang-lubang di bahtera hubungannya.
Dating couples yang sempat putus-nyambung memiliki kemungkinan 76% pernikahannya bertahan seumur hidup (dibanding umumnya 40% kemungkinan pernikahan bertahan), tapi itu dengan catatan keduanya sudah sempat pisah atau putus setidaknya lima tahun.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, move on dulu sekian tahun.
Perbaiki diri, buka hati, dan jalani hubungan dengan beberapa orang lain. Lalu, jika di kemudian hari ada kesempatan ataupun dorongan untuk balik lagi dengan seorang mantan di masa lalu, ya, silakan saja coba lagi. Saya yakin kali ini Anda dan dia sudah sama-sama banyak belajar dan berubah.
Putus lalu balikan beberapa hari atau minggu kemudian itu tidak sehat, karena kecil sekali kemungkinannya kita sudah menyadari solusinya ataupun memperbaiki diri. Sebelum putus, pasti sudah berlalu sekian minggu atau bulan berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Kita tidak berhasil menemukan titik terang dan jalan tengah selama waktu yang panjang itu.
Kenapa setelah putus sekian hari, sekian minggu kita jadi mendadak punya solusi ajaibnya?
ADVERTISEMENT
Mustahil.
Selama sekian bulan pacaran itu, Anda dan dia tidak berhasil memperbaiki diri, mengubah diri, meningkatkan diri. Lalu kenapa setelah putus sejenak, tetiba kalian jadi bijak nan cerdas berhasil menciptakan sebuah keajaiban?
Itu sebabnya, saya menampik keyakinan jodoh, bisa balik lagi, baik lagi, harmonis lagi itu sebagai sebuah kemabukan belaka. Setidaknya, pada bulan-bulan awal pasca patah hati. Dalam setiap seminar Kelas Cinta, saya selalu bahas momen terbaik untuk mempertimbangkan balikan lagi adalah setelah masing-masing pihak sempat berhubungan akrab dengan banyak orang ataupun pacaran dengan dengan setidaknya satu orang semenjak putus kemarin.
Tujuannya adalah untuk menetralisir kemabukan itu, agar kita benar-benar jernih menganalisa apakah dia dan hubungan itu benar-benar opsi yang terbaik atau tidak.
ADVERTISEMENT
Kita tidak memilih coba lagi dengan mantan atas dasar 'kangen'. Tidak atas dasar kesepian. Tidak atas dasar takut ditanya 'kapan kawin'. Tidak atas dasar cemas kalah dengan orang-orang sekitar.
Kita memilih coba balikan atas dasar perhitungan yang logis, atas dasar pembuktian perbaikan dan kematangan diri setelah sekian lama berpisah. Atas dasar berbagai pengetahuan dan kemampuan baru yang dari berbagai persahabatan dan pacaran lain setelah putus kemarin.
Itu adalah motivasi yang jauh lebih sehat, matang, dan dewasa, kan?
REFERENSI
ADVERTISEMENT