Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pernikahan adalah Pekerjaan, Bukan Pencapaian
4 Oktober 2019 22:35 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Lex dePraxis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Kapan nikah?”
Pertanyaan ini masih menjadi pertanyaan terpopuler dalam momen ramah tamah masyarakat Indonesia. Pernikahan dianggap sebagai pencapaian hidup, sehingga saya tidak heran bila topik ini lebih sering beredar dibanding soal mengejar prestasi di kantor ataupun melanjutkan studi lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya menurut saya sah-sah saja menjadikan nikah sebagai tolak ukur hidup, jika saja kedua orang yang menjalaninya sudah dilengkapi dengan pengetahuan dan skill yang mumpuni. Sayangnya, kebanyakan orang tidak begitu. Alih-alih mempersiapkan diri sematang-matangnya untuk pernikahan, kebanyakan orang malah menjadikan pernikahan sebagai batu loncatan menuju kehidupan yang lebih baik.
Menikah diperlakukan sebagai portal sakral yang dengan sendirinya akan memampukan dan mendewasakan kedua orangnya. Orang-orang berpikir menikah hanya soal niat. Walau mengaku tidak melakukannya dengan asal-asalan, tapi tidak sedikit yang bahkan tidak tahu apa tujuan menikah selain menghasilkan keturunan.
Akibatnya, perceraian kian marak terjadi. Badan Pusat Statistik mencatat trend perceraian di seluruh wilayah Indonesia mengalami kenaikan dari 285.184 kasus di tahun 2010 menjadi 347.256 kasus di tahun 2015.
ADVERTISEMENT
Mengutip dari website Mahkamah Agung, sebanyak 419.268 pasangan memutuskan untuk bercerai di sepanjang tahun 2018. Angka ini cenderung terus melonjak setiap tahunnya. Di Kota Bekasi saja, ada 1.739 perkara perceraian terjadi pada 2019. Jumlah ini lebih banyak jika dibandingkan tahun 2018 dimana ada 1.255 perkara.
Melihat data ini, pemerintah dan masyarakat seharusnya mulai berbenah. Faktanya ada banyak anggapan yang salah tentang pernikahan. Ada banyak cara pandang tentang pernikahan yang sudah sepatutnya diubah. Itulah salah satu fokus area yang sangat dipedulikan oleh Kelas Cinta semenjak hari pertama sepak terjangnya di tahun 2006 yang lalu.
Pernikahan adalah Pekerjaan Setiap Hari
Jika dianggap sebagai pencapaian, menikah akan membuat orang berhenti berusaha. Ibaratnya kalau sudah sampai garis finish, ya buat apa terus bekerja keras dan memaksakan diri maju lebih jauh lagi?
ADVERTISEMENT
Saya pribadi yakin bahwa pernikahan tak ubahnya seperti saat kita baru diterima bekerja dalam sebuah perusahaan. Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan setelah kontrak kerja dimulai. Selama Anda ingin menjadi karyawan di perusahaan tersebut, selama itu pulalah Anda harus terus rajin bekerja.
Begitu juga dengan pernikahan. Setelah pesta resepsi berakhir, ada banyak adaptasi, penyesuaian, proses pembelajaran dan perlakuan yang harus terus dilakukan setiap hari, sepanjang tahun, dan seumur hidup agar pernikahan tetap bertahan.
John Gottman, seorang Profesor dari University of Washington sekaligus pendiri Gottman Institute, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk meneliti hubungan romansa, mengatakan rahasia pernikahan yang langgeng adalah melakukan hal-hal kecil untuk mengungkapkan perhatian kepada pasangan setiap hari.
ADVERTISEMENT
Hal-hal kecil seperti menyambut pasangan, memberikan pujian, mengucapkan terima kasih, mengatakan “I love you,” menunjukkan penghargaan terhadap pasangan harus dilakukan setiap hari di sepanjang pernikahan. Jika hilang, hubungan tidak langsung hancur. Tapi perlahan-lahan akan jadi lemah dan cepat patah pada saat muncul tekanan ini-itu dalam kehidupan.
Sama seperti rumah wajib dirawat setiap hari, demikian pula rumah tangga wajib dirawat. Itu adalah sebuah pekerjaan 24/7 yang dimulai semenjak bangun pagi hingga detik terakhir menutup hari. Jika tidak bersedia bekerja sepanjang itu (di luar kerja cari uang), maka sebaiknya tidak melangkah masuk ke dalam hubungan yang serius, apalagi sebuah pernikahan.
Pernikahan Bukan Mesin Penghasil Kebahagiaan
Pernikahan bukan titik emas untuk meraih kepuasan dan kebahagiaan seperti yang selalu digembar gemborkan banyak orang. Jangan berpikir untuk menikah saat Anda tidak bahagia lalu berharap setelah menikah Anda bisa bahagia. Karena pernikahan bukanlah mesin penghasil kebahagiaan.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang dilakukan oleh The National Opinion Research Center di tahun 2014 mengungkapkan bahwa banyak orang tidak bahagia dengan pernikahannya. Dan trend ini terus memburuk. Orang-orang dilaporkan semakin tidak bahagia dalam pernikahannya seiring berjalannya waktu.
Vicky Larson, jurnalis dan co-author dari buku “The New I Do, Reshaping Marriage for Skeptics, Realists and Rebels” mengutip bahwa 6 dari 10 orang tidak bahagia dalam pernikahannya dan 4 dari 10 memutuskan untuk meninggalkan pasangannya.
Dari studi dan hasil survei di atas Anda bisa melihat bahwa pernikahan tidak selalu membuat orang bahagia. Keharmonisan dan kebahagiaan dalam rumah tangga bukanlah efek dari janji menikah. Jika kedua orangnya tidak cocok, tidak bekerja sama, tidak dewasa meregulasi emosi dan membagi waktu investasi, maka percuma saja semua sumpah dan status menikahnya.
ADVERTISEMENT
Bukan cuma itu. Jika Anda berpikir bahwa restu orang tua, lancarnya resepsi, dan romantisnya bulan madu akan otomatis menjadikan pernikahan harmonis, maka Anda salah besar.
Keharmonisan, kebahagiaan dan kesenangan dalam pernikahan adalah efek atau akibat dari kerja keras dan kerja sama Anda dan pasangan dalam membina hubungan.
Sama seperti Anda yang baru bisa asyik menikmati gaji dan bersenang-senang setelah menyelesaikan pekerjaan di kantor, demikian juga Anda baru bisa asyik menikmati cinta dan berbahagia setelah menyelesaikan pekerjaan di dalam pernikahan.
Cinta itu buah dan cinta itu bersyarat. Kalau Anda sudah membaca semua tulisan-tulisan saya selama ini, Anda pasti bisa menganggukkan kepala dengan tegas membaca kalimat pendek di atas.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Mempunyai Tujuan dalam Pernikahan
Dalam pernikahan niat saja tidak cukup. Seseorang harus memiliki tujuan yang jelas untuk menikah baik itu tujuan jangka panjang, maupun tujuan jangka pendek. Umumnya, tujuan jangka panjang pernikahan adalah untuk membentuk sebuah keluarga.
Sementara tujuan jangka pendek bisa bermacam-macam tergantung kedua pihak. Misalnya : membangun bisnis bersama, travelling ke destinasi tertentu, membuat badan amal bersama, dsb.
Kenapa ini penting?
Agar hubungan tidak stuck atau jalan di tempat.
Sama seperti ketika Anda bekerja dengan tujuan hanya untuk mendapatkan gaji, lama-kelamaan Anda akan merasa stuck. Anda merasa berada di posisi yang sama bertahun-tahun tanpa adanya perkembangan. Anda tidak bertumbuh.
Itulah kenapa dalam bekerja selain demi mendapat penghasilan, Anda juga harus mempunyai tujuan-tujuan jangka pendek lainnya, seperti: mengejar promosi kenaikan jabatan, mengembangkan skill, menambah keahlian baru, dsb.
Pastikan untuk mengikutsertakan pasangan dalam pencapaian tujuan. Setelah satu tujuan tercapai, buat lagi tujuan yang lain, dan upayakan bersama pasangan untuk mewujudkannya. Lakukan ini berulang-ulang secara terus-menerus supaya hubungan bertumbuh, dan tidak berkutat pada hal itu-itu saja.
ADVERTISEMENT
Anda ingin relasi cinta yang kuat, erat, dan lengket hingga tua? Fokuslah pada kemampuan menyesuaikan diri dengan pasangan, bukan mencari cinta, dan mengejar kebahagiaan. Karena pernikahan bukan mesin yang bekerja untuk Anda dan pasangan.
Justru Anda dan pasanganlah mesin yang harus bekerja keras memelihara pernikahan tersebut di tengah ombak tekanan dan masalah yang akan datang silih berganti setiap hari.
Orang yang berpisah atau bercerai dengan alasan “Our marriage is not working” sebenarnya telah berpikir keliru sekeliru-kelirunya. Sebab pada kenyataannya, mereka sendirilah yang tidak bekerja serajin dan sekeras mungkin untuk mengelola hubunganya.
REFERENSI
ADVERTISEMENT