Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Antara Legalitas dan Legitimasi dalam Politik Agraria
30 Juli 2024 12:34 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Permasalahan agraria di Indonesia masih menjadi isu hangat yang kompleks dan multidimensi. Hal tersebut tercermin dalam kegiatan Bedah Buku dan Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah pada Selasa, 25 Juni 2024. Diskusi bertajuk "Politik Agraria di Indonesia" menyoroti berbagai aspek yang rumit terkait permasahalan, terlebih mengenai legalitas dan legitimasi Surat Keterangan Tanah (SKT) di Indonesia. Dipimpin oleh Dr. M Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, diskusi yang diselenggarakan di Ruang Serbaguna Gedung Utama UAD Kampus 4.
Melakukan berbagai penelitian mendalam sejak 2015, Dr. Marcella Santoso mengawali presentasinya dengan mengungkapkan paradoks dalam sistem pertanahan Indonesia. Ia menekankan bahwa meskipun pemerintah telah berupaya mempercepat proses sertifikasi tanah melalui program-program seperti PTSR, masih terdapat berbagai tantangan signifikan yang perlu diperhatikan. Berdasarkan pengalamannya sebagai advokat, Dr. Marcella Santoso pun turut menyoroti fenomena bagaimana tertifikat tanah yang seharusnya menjadi alat bukti kepemilikan terkuat, justru dikalahkan oleh Surat Keterangan Tanah (SKT) dalam pengadilan. Ia menyatakan bahwa peristiwa seperti ini menimbulkan kegelisahan dan ketidakpastian hukum di masyarakat, serta menghilangkan rasa aman dalam transaksi tanah karena sertifikat masih bisa dikalahkan. Beliau juga menggarisbawahi peran krusial kepala desa dalam penerbitan SKT. Ia menjelaskan bahwa hampir di seluruh Indonesia, ditemukan administrasi tanah yang tidak rapi dan tidak jelas kepemilikannya. Meski memiliki nama berbeda-beda di berbagai daerah, pada dasarnya SKT yang dibuat oleh kepada desa berisikan keterangan tentang penguasaan tanah.
ADVERTISEMENT
Meskipun SKT bukan dokumen kepemilikan tanah, SKT seringkali dikomersialkan dan menimbulkan berbagai masalah. Lebih lanjut, Dr. Marcella Santoso menekankan pentingnya memahami konteks sosio-antropologis dalam masalah ini. Ia menjelaskan bahwa kepala desa dinilai sebagai tetua yang dihormati dan memiliki legitimasi dari masyarakat. Namun, ia memperingatkan bahwa jika oknum kepala desa tidak bersih, bisa terjadi penumpukan kepemilikan dalam satu tanah.
Dr. Suryadi, dalam presentasinya, memuji buku yang menjadi topik diskusi karena mengangkat isu alat bukti kepemilikan tanah secara komprehensif. Ia menyoroti fenomena di mana SKT sering kali bisa mengalahkan sertifikat di pengadilan. Dr. Suryadi menjelaskan bahwa hakim, dengan otoritasnya yang luas, akan melihat riwayat dan peristiwa terjadinya SKT. Ia menambahkan bahwa hal ini menarik karena undang-undang pokok agraria menyatakan bahwa tanda kepemilikan yang kuat adalah sertifikat, namun dalam praktiknya, SKT bisa memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi. Dr. Suryadi juga menyinggung praktik pencatatan tanah di tingkat desa. Ia memberikan contoh di Yogyakarta, di mana di kelurahan dan desa ada yang namanya buku tanah untuk mencatat riwayat kepemilikan tanah. Ia menekankan bahwa hal ini menjadi penting dalam proses pemeriksaan oleh hakim saat terjadi sengketa.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Dr. Indah Nur Shanty Saleh menekankan perbedaan makna antara legalitas dan legitimasi dalam konteks kepemilikan tanah. Ia menjelaskan bahwa legalitas dan legitimasi memiliki makna yang berbeda, dan meskipun keduanya penting, sering kali terjadi ketimpangan antara keduanya dalam kasus-kasus pertanahan. Dr. Indah Nur Shanty Saleh juga menggarisbawahi kompleksitas persoalan agraria di Indonesia. Ia menyatakan bahwa persoalan tanah ini tidak akan selesai karena merupakan konflik 'basah' dan bercabang banyak. Ia menekankan perlunya pemahaman bahwa masalah ini tidak hanya tentang hukum, tetapi juga melibatkan aspek sosial, ekonomi, dan bahkan politik. Ia menambahkan bahwa perlindungan hukum terhadap masyarakat harus menjadi prioritas dan keterlibatan negara dalam negara hukum sangat dibutuhkan untuk memastikan hak-hak masyarakat atas tanah terlindungi.
ADVERTISEMENT
Sesi tanya jawab mengungkap berbagai isu menarik dan kasus-kasus spesifik yang dihadapi masyarakat. Salah satu peserta, Amriana Ambri dari Fakultas Hukum UAD, mengangkat kasus di Palu pasca bencana. Ia menceritakan bagaimana pemerintah berencana membangun di atas tanah warga yang tidak bersertifikat, namun memiliki SKPT (Surat Keterangan Penguasaan Tanah). Menanggapi hal ini, Dr. Marcella Santoso menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh mengabaikan hak masyarakat atas tanahnya, meskipun tidak memiliki sertifikat. Ia menjelaskan bahwa negara bukan berarti memiliki semua tanah, dan berbicara tentang hak, itu adalah hak privat. Ia menekankan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan hal tersebut dan menyarankan agar masyarakat tidak ragu untuk mengajukan gugatan ke PTUN jika hak-hak mereka dilanggar.
Peserta lain, Muhammad Rizwan, mengangkat pertanyaan filosofis tentang kemanfaatan hukum, mengutip pemikiran Jeremy Bentham tentang "The Greatest Happiness for the Independent". Dr. Santoso menanggapi dengan menekankan bahwa dalam konteks penguasaan tanah, yang layak diperjuangkan adalah yang bermanfaat. Ia memperingatkan agar jangan sampai memiliki sertifikat tapi tidak bisa mengakses tanah yang dimiliki. Isu lain yang dibahas adalah legitimasi sosial SKT sebagai bukti kepemilikan tanah yang sah, serta bagaimana meningkatkan pengelolaan dan pencatatan tanah secara partisipatif di pedesaan. Para pembicara sepakat bahwa legitimasi sosial penting, namun harus diimbangi dengan legalitas. Dr. Marcella Santoso menegaskan bahwa legitimasi sosial tanpa legalitas tidak bisa diterima, begitu pula sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Diskusi juga menyinggung rencana pemerintah untuk menghapuskan SKT dan SKD (Surat Keterangan Desa). Para pakar menyoroti bahwa langkah ini bisa menimbulkan masalah baru dalam sistem pertanahan Indonesia. Salah satu peserta mempertanyakan ke mana lanjutan persoalan kepemilikan pertanahan ini jika SKT dan SKD dihapuskan.
Dr. Suryadi menekankan pentingnya memahami konsep penguasaan tanah oleh negara. Ia menjelaskan bahwa bumi, air, tanah, dan alam dikuasai oleh negara, tetapi bukan berarti memiliki. Ia menegaskan bahwa seharusnya negara mengatur dan mendistribusikan kepada masyarakat, warga, rakyat, dan negara juga memiliki hak untuk memiliki, bukan malah negara mengambil alih hak masyarakat. Dr. Indah Nur Shanty Saleh menambahkan pentingnya mengembalikan Indonesia ke konsep negara hukum kesejahteraan. Ia menyatakan bahwa tujuan kesejahteraan itu ialah pemerintah yang harus bergerak, dan memastikan pemerintah harus bergerak. Ia menekankan perlunya mempertanyakan apakah penguasaan tanah itu dibuat dipersulit, dipermudah, atau bagaimana.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup, para pembicara menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mengelola dan mencatat riwayat tanah secara akurat, terutama di tingkat desa. Mereka juga menggarisbawahi perlunya perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat dalam urusan pertanahan. Dr. Santoso menyimpulkan bahwa dalam bukunya, ia ingin memberi kesempatan. Ia menegaskan bahwa tanah yang memiliki legitimasi dan legalitas yang benar harus diperjuangkan. Ia menambahkan bahwa ini adalah tugas bersama untuk membenahi keruwetan ini, dan perlu waktu yang panjang.
Diskusi ini tidak hanya membuka wawasan tentang kompleksitas masalah agraria di Indonesia, tetapi juga memberikan perspektif baru dan potensi solusi terhadap berbagai isu pertanahan yang dihadapi masyarakat. Dengan adanya dialog terbuka seperti ini, diharapkan dapat muncul langkah-langkah konkret untuk memperbaiki sistem pertanahan di Indonesia.
ADVERTISEMENT