Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Efisiensi vs Partisipasi: Menakar Usulan Aklamasi dalam Pilgub DKI Jakarta 2024
3 September 2024 14:11 WIB
·
waktu baca 2 menitTulisan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam hiruk-pikuk menjelang Pilgub DKI Jakarta 2024, salah satu pasangan calon yang menjadi sorotan adalah Ridwan Kamil-Suswono. Pasangan ini diusung oleh koalisi besar yang terdiri dari 12 partai, termasuk Gerindra, Golkar, PKS, dan NasDem. Dengan 91 dari 106 kursi di DPRD Jakarta berada di tangan koalisi ini, kekuatan politik mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.
ADVERTISEMENT
Namun, munculnya usulan dari Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelora, yang menyebut bahwa pasangan ini dapat dipilih secara aklamasi tanpa melalui proses Pilkada, memunculkan perdebatan mengenai keseimbangan antara efisiensi dan partisipasi dalam demokrasi. Menurut Fahri, menghindari Pilkada bisa menjadi langkah efisien mengingat dominasi koalisi ini. Tetapi, apakah efisiensi politik bisa menjadi alasan untuk mengabaikan partisipasi warga?
Jika dilihat dari perspektif efisiensi, memang ada argumen yang mendukung aklamasi. Dengan koalisi sebesar ini, proses Pilkada mungkin hanya akan memperpanjang tahapan yang hasil akhirnya sudah bisa diprediksi. Namun, di sisi lain, Pilkada adalah instrumen penting bagi warga Jakarta untuk mengekspresikan aspirasi politik mereka. Dalam demokrasi, setiap suara seharusnya memiliki nilai, dan proses Pilkada menjadi medium bagi warga untuk memilih pemimpin yang mereka yakini mampu membawa perubahan.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research & Consulting menunjukkan bahwa meskipun Ridwan Kamil-Suswono didukung oleh koalisi besar, masih ada nama lain seperti Anies Baswedan yang memiliki elektabilitas tinggi di mata warga. Selisih elektabilitas yang tipis antara kedua kandidat ini (Anies 42,8% dan Ridwan Kamil 34,9%) menunjukkan bahwa warga DKI masih terpecah dalam pilihan mereka.
Mengabaikan proses Pilkada demi efisiensi politik dapat menimbulkan dampak negatif pada demokrasi itu sendiri. Efisiensi memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan hak partisipasi warga dalam memilih pemimpin. Demokrasi Indonesia telah bertahan selama beberapa dekade karena menghargai partisipasi rakyat, dan Pilkada adalah wujud nyata dari partisipasi tersebut.
Oleh karena itu, meskipun koalisi besar mendukung satu pasangan calon, penting untuk tetap memberikan ruang bagi warga Jakarta untuk menyuarakan pilihannya. Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga tentang menjaga agar demokrasi tetap hidup dan relevan.
ADVERTISEMENT