Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tantangan Demokrasi di Pilkada Jakarta 2024
25 September 2024 11:22 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, wajah pasangan calon (paslon) kian ramai menghiasi sudut-sudut jalan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk Jakarta. Fenomena ini merupakan bagian dari proses demokrasi yang lumrah, di mana masyarakat diberikan kesempatan untuk menilai dan memilih wakil mereka. Spanduk dan baliho yang disertai tagline, slogan, serta janji politik menjadi bagian dari alat utama kampanye. Melalui pesan-pesan visual ini, calon pemimpin berharap dapat menyentuh hati masyarakat, meski pada kenyataannya, realisasi janji politik kerap kali lebih kompleks daripada yang dijanjikan saat kampanye.
ADVERTISEMENT
Pilkada 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak pada 27 November mendatang, tidak hanya menjadi panggung bagi para paslon, tetapi juga momen refleksi bagi masyarakat untuk memilih secara bijak. Dalam sisa waktu kurang dari tiga bulan, masyarakat Jakarta, salah satu daerah paling strategis, mulai menunjukkan dinamika politik yang menarik untuk diamati. Di tengah beragamnya pilihan calon, perdebatan tentang latar belakang, partai pengusung, dan janji-janji politik menjadi isu utama.
Salah satu sorotan kali ini adalah fenomena munculnya kekecewaan di kalangan masyarakat Jakarta yang merasa tidak ada paslon yang merepresentasikan aspirasi mereka sepenuhnya. Hal ini mencerminkan kompleksitas dari demokrasi itu sendiri. Di antara paslon yang maju di Pilkada DKI Jakarta, yakni RK-Suswono, Dharma-Kun, dan Pramono-Rano, terdapat perbedaan besar dalam koalisi partai pendukung, yang mempengaruhi persepsi masyarakat. RK-Suswono didukung oleh koalisi besar bernama KIM Plus, yang terdiri dari banyak partai besar, sehingga menjadi paslon yang cukup diunggulkan secara struktural.
ADVERTISEMENT
Namun, keberadaan koalisi besar ini tidak selalu diterjemahkan sebagai representasi ideal oleh sebagian masyarakat. Rasa keterputusan antara aspirasi masyarakat dengan calon yang ada memunculkan respons-respons yang menarik. Sebagian warga merasa bahwa kandidat yang tersedia tidak merefleksikan pilihan ideal mereka, sehingga muncul gerakan yang mengekspresikan kekecewaan, seperti upaya mencoblos semua paslon untuk membatalkan suara.
Gerakan ini, meskipun tampak sebagai bentuk protes, justru menjadi salah satu tantangan bagi demokrasi di Jakarta. Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo, dua tokoh politik nasional, menilai fenomena ini sebagai bentuk dari kebebasan berekspresi masyarakat. Menurut Anies, ekspresi ini adalah hak konstitusional yang harus dihormati sebagai bagian dari dinamika politik yang sedang berlangsung. Ganjar pun menambahkan bahwa respons semacam ini lahir dari masyarakat yang merasa ada ketidakadilan dalam proses politik yang sedang berjalan. Jakarta, sebagai kota dengan tingkat pendidikan dan ekonomi yang relatif tinggi, dinilai lebih kritis dalam menilai calon-calon yang tersedia.
ADVERTISEMENT
Dari perspektif hukum, Titi Anggraini, pengajar Hukum Pemilu dari Universitas Indonesia, mengungkapkan bahwa fenomena ini mungkin berakar dari keterputusan aspirasi politik masyarakat Jakarta. Ia mencatat bahwa figur-figur politik yang pernah menjadi pusat perhatian, seperti Anies Baswedan dan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama), tidak muncul sebagai kandidat. Sebaliknya, calon-calon yang ada saat ini dianggap tidak mampu menjawab ekspektasi sebagian masyarakat.
Namun, terlepas dari berbagai bentuk kekecewaan dan ekspresi ketidakpuasan, Guspardi Gaus, Anggota Komisi II DPR RI, mengimbau warga Jakarta untuk tetap menggunakan hak pilih mereka dengan bijak. Ia menyarankan agar masyarakat tetap memilih paslon yang paling mendekati harapan mereka, daripada memilih untuk tidak menggunakan hak suara secara sah.
Demokrasi bukanlah proses yang sempurna, namun setiap bentuk partisipasi, baik itu memilih atau menyampaikan kritik, adalah bagian penting dari upaya menjaga kualitas demokrasi itu sendiri. Jakarta, sebagai ibu kota dengan kompleksitas politiknya, mencerminkan bagaimana masyarakat terus berusaha mencari wakil yang tepat di tengah banyaknya pilihan. Momen Pilkada 2024 ini menjadi pengingat bahwa tantangan demokrasi di tingkat lokal merupakan bagian dari perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih matang dan inklusif.
ADVERTISEMENT