news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sesat Pikir RUU Ketahanan Keluarga

Lia Toriana
Penulis lepas di tengah waktu luang demi menjaga kewarasan menjalani peran sebagai ibu dari tiga anak perempuan.
Konten dari Pengguna
25 Februari 2020 20:31 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lia Toriana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
keselamatan dan perlindungan keluarga Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
keselamatan dan perlindungan keluarga Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Belakangan, publik dikejutkan dengan usulan RUU Ketahanan Keluarga. Rancangan ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020 bersama 49 RUU lainnya. Pengajuan rancangan dilakukan oleh anggota DPR dari Fraksi PKS Netty Prasetiyani dan Ledia Hanifa; Fraksi Partai Golkar, Endang Maria Astuti; Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid; dan Fraksi PAN, Ali Taher Parasong.
ADVERTISEMENT
Belakangan, Partai Golkar mencabut dukungan terhadap RUU dan menganggap mereka kecolongan. Terlepas dari itu, RUU yang menuai kontroversi ini jelas lebih banyak mudharat ketimbang manfaatnya. Sejumlah sesat pikir dalam klausul rancangan bahkan sudah tergambar sejak bagian awal naskahnya.

Intervensi Kebablasan Negara Sampai Mengurus Rumah Tangga Warga

Dalam pasal awal ketentuan umum, ada setidaknya 22 definisi yang dipaparkan di dalam RUU Ketahanan Keluarga. Salah satunya menjelaskan apa yang mereka maksud sebagai ketahanan keluarga.
“Ketahanan Keluarga adalah kondisi dinamik keluarga dalam mengelola sumber daya fisik maupun non-fisik dan mengelola masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan, yaitu keluarga berkualitas dan tangguh sebagai pondasi utama dalam mewujudkan Ketahanan Nasional.”
Lebih lanjut, yang dimaksud dengan Ketahanan Nasional dalam rancangan tersebut adalah:
ADVERTISEMENT
“…kondisi dinamis bangsa yang meliputi seluruh kehidupan nasional yang terintegrasi, berisi keuletan, dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun luar, untuk menjamin identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan negara serta mencapai tujuan nasional.”
Dari dua definisi di atas, kita tentu ingin sekali berkata kasar tentang bagaimana segelintir orang menentukan apa itu keluarga yang ideal dan sempurna. Who the heck are you? Bahwa persoalan ketimpangan ekonomi dan akses terhadap sumber daya yang sialnya hanya bisa dinikmati oleh para oligark itu sama sekali tidak dijadikan sumber persoalan bangsa. Alih-alih memastikan sumber daya tersebut secara adil dinikmati semua orang tanpa terkecuali, para penguasa malah mengatur ruang privat dan mengintervensi standar-standar serta keidealan di dalam keluarga.
ADVERTISEMENT
Pengertian mengenai standar kesejahteraan keluarga pun mereka turunkan tergesa-gesa dengan pemahaman:
“Kesejahteraan Keluarga adalah kondisi keluarga sebagai resultan dari pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan perkembangan keluarga, baik diukur secara objektif dengan mengacu pada standar pemenuhan kebutuhan secara normatif, maupun diukur secara subjektif yang mengukur kepuasan pemenuhan kebutuhan keluarga.”
Objektif berdasarkan apa? Subjektif menurut siapa? Alat pengukuran apa yang selama ini mewakili keidealan hal-hal baik di dalam keluarga? Saat terjadi kekerasan, kita bisa lebih lantang bersuara. Tapi tunggu dulu, RUU ini bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sehingga keidealan di dalam keluarga menurut RUU ini adalah bahwa yang sakinah, mawadah, warrohmah, yakni baik dan baik-baik saja menurut sekali lagi: segelintir orang.
ADVERTISEMENT

Badan Ketahanan Keluarga: Institusionalisasi Sesat Pikir

Dalam BAB III Pasal 5 sampai 13 dijelaskan mengenai Rencana Induk Ketahanan Keluarga (selanjutnya RIKK) sebagai perwujudan institusionalisasi sesat pikir apa yang dimaksud sebagai ketahanan keluarga. RIKK ini semacam panduan atau pedoman dalam penyelenggaraan undang-undang. Konkretnya, akan dibentuk sebuah badan khusus yang menangani ihwal-ihwal ketahanan keluarga. Duh Gusti! Ke depan pengaturan RIKK dan keberadaan badan khusus ini akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Sifatnya pun wajib tidak bisa ditawar lagi.
Kita bisa bayangkan apa jadinya jika badan ini betul-betul beroperasi. Ada gugus tugas sampai pada tingkat RT/ RW yang menugaskan sekelompok orang untuk mengecek keidealan keluargamu. Saya menduga, begini kira-kira daftar pertanyaan di dalam form pemeriksaan mereka:
ADVERTISEMENT
GILA! Semua pertanyaan itu adalah kegilaan yang sesungguhnya. Betapa kita dipaksa hidup bermasyarakat dengan orang-orang yang menganggap diri mereka paling hebat, paling tahu, paling bermoral, paling sempurna dalam menerapkan keidealan di dalam keluarga. Betapa kita semua dipaksa untuk menyesuaikan diri pada kegilaan moral bahwa istri mestinya di rumah melayani, berbakti, dan submisif sementara suami banting-tulang bekerja, mengaktualisasi diri, dan mendapat pengakuan. Betapa kita semua dipaksa untuk terus percaya bahwa suara kita diwakili oleh para pengusung RUU yang tidak lain menunjukkan kebodohan mereka.
ADVERTISEMENT

Lantas, Kita Bisa Apa?

Hanya ada satu kata: LAWAN! Kiranya Wiji Thukul mengingatkan dan begitulah kita berjuang setiap hari. Melawan semua ketidakadilan, kesewenang-wenangan, dan kebobrokan dari-siapa-yang-disebut “wakil rakyat”. Membaca naskahnya secara utuh, jika kamu sempat, sila dilakukan. Namun, kalau kamu sudah terlanjur jijik, tidak perlu diteruskan.
Selain itu, coba datang ke ruang-ruang diskusi yang membahas mengenai RUU ini, baik secara virtual maupun offline. Beberapa konsolidasi masyarakat sipil sedang dan akan berlangsung untuk kita sama-sama memahami isi dan bisa berstrategi melawan.
Ingatlah: segelintir orang di sebelah sana sedang mengumpulkan kekuatan juga untuk mewujudkan sesat pikir RUU ini. Maka, pilihan untuk terus melawan dengan sehormat-hormatnya dan seadil-adilnya adalah langkah yang bisa kita ambil. Panjang umur perjuangan.[]
ADVERTISEMENT