Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Media Sosial: Teman atau Musuh bagi Kesehatan Mental Remaja ?
13 November 2024 7:14 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Oppylia Dwi Navasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital yang serba cepat ini, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Bagi banyak orang, terutama remaja, media sosial adalah tempat berinteraksi, berbagi cerita, dan membangun identitas diri. Namun, pertanyaannya kini muncul: apakah media sosial adalah teman yang membantu kesejahteraan mental kita, atau justru menjadi ancaman tersembunyi bagi kesehatan mental?
ADVERTISEMENT
Media sosial adalah alat yang kuat yang dapat membawa dampak positif maupun negatif bagi kesehatan mental kita. Penggunaannya yang bijak dan terkendali sangat penting agar kita dapat menjaga kesehatan mental di tengah arus digitalisasi yang terus berkembang. Terlalu banyak fokus pada dunia maya tanpa menyeimbangkannya dengan interaksi di dunia nyata bisa menjadi ancaman serius, terutama bagi generasi muda yang rentan terhadap pengaruh negatif dari media sosial.
Pada satu sisi, media sosial menawarkan banyak manfaat. Pengguna dapat terhubung dengan orang-orang dari seluruh dunia, membangun jaringan pertemanan baru, bahkan menemukan komunitas yang mendukung. Sebagai contoh, seseorang yang merasa terisolasi di kehidupan nyata mungkin menemukan dukungan di media sosial. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial yang berlebihan telah dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan mental. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bangkit Ary Pratama dan Defie Septiana Sari menemukan bahwa intensitas penggunaan media sosial dapat memicu sikap apatis pada remaja, yang berujung pada rendahnya kepekaan sosial dan interaksi yang bersifat tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Kejadian tragis yang menimpa gadis remaja Molly Russell di Inggris menjadi contoh nyata yang dapat menjadi ancaman besar. Molly, yang meninggal akibat bunuh diri, diketahui mengakses konten-konten terkait depresi di media sosial sebelum kematiannya. Kasus ini memicu perdebatan global tentang peran media sosial dalam mempengaruhi kesehatan mental pengguna, terutama anak muda. Laporan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) juga menunjukkan bahwa media sosial dapat memicu depresi pada remaja, terutama jika penggunaannya tidak diawasi dengan baik. Media sosial, seperti Instagram dan Facebook, memiliki fitur yang memungkinkan penggunanya untuk menampilkan kehidupan mereka secara ideal. Fitur-fitur ini dapat memicu perasaan tidak puas terhadap diri sendiri ketika seseorang merasa hidupnya tidak seindah yang terlihat di media sosial. Hal ini diperkuat oleh temuan penelitian yang menunjukkan bahwa banyak remaja yang merasa terisolasi dan mengalami kecemasan setelah melihat postingan orang lain yang terlihat lebih sukses atau bahagia.
ADVERTISEMENT
Selain kecemasan, depresi juga menjadi salah satu dampak negatif dari penggunaan media sosial. Remaja yang terlalu sering terlibat dalam media sosial cenderung merasa tertekan untuk selalu tampak sempurna di depan teman-temannya. Mereka juga cenderung merasa malu atau tidak berharga ketika mendapatkan respons negatif atau tidak mendapatkan perhatian yang diharapkan dari postingan yang mereka buat. Sebuah artikel di jurnal Prophetic menegaskan bahwa kesehatan mental seseorang, termasuk remaja, sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, termasuk media sosial.
Selain masalah kecemasan dan depresi, media sosial juga dapat memengaruhi pola pikir dan perilaku pengguna secara tidak langsung. Salah satu efek yang sering terjadi adalah fenomena fear of missing out (FOMO), yang merujuk pada ketakutan tertinggal atau tidak ikut serta dalam kegiatan yang orang lain nikmati. FOMO ini sering muncul karena seseorang melihat aktivitas-aktivitas menyenangkan atau pencapaian orang lain yang diunggah di media sosial. Mereka merasa bahwa hidup orang lain jauh lebih menarik atau sukses, sementara hidup mereka tampak monoton. Fenomena ini bisa menciptakan tekanan emosional yang mempengaruhi kesejahteraan mental. FOMO juga dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang kurang bijak. Sebagai contoh, seseorang mungkin merasa terdorong untuk ikut serta dalam tren yang sebenarnya tidak sesuai dengan nilai atau kemampuan finansialnya, hanya karena ingin terlihat sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang lain. Akibatnya, perasaan rendah diri atau ketidakpuasan bisa semakin dalam. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih sering mengalami FOMO cenderung merasa tidak puas dengan kehidupan mereka dan lebih mungkin untuk menghabiskan waktu yang lebih lama di media sosial, yang justru memperparah masalah.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, ketergantungan pada media sosial juga dapat menyebabkan penurunan kualitas tidur. Banyak orang yang menghabiskan waktu berjam-jam di media sosial sebelum tidur, dan ini sering kali menyebabkan gangguan tidur atau insomnia. Gangguan tidur dapat memiliki dampak serius pada kesehatan mental, termasuk meningkatnya risiko depresi dan kecemasan. Cahaya biru dari layar gawai juga mengganggu ritme sirkadian tubuh, yang berfungsi untuk mengatur siklus tidur dan bangun seseorang. Sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas interaksi sosial di kehidupan nyata. Remaja yang terlalu fokus pada media sosial cenderung menarik diri dari interaksi langsung dengan keluarga dan teman-teman di sekitar mereka. Mereka mungkin merasa lebih nyaman berinteraksi secara virtual, di mana mereka bisa mengontrol apa yang ingin ditampilkan kepada orang lain, namun ini justru dapat menghambat kemampuan sosial mereka di dunia nyata.
ADVERTISEMENT
Namun, kita tidak bisa menuding media sosial sebagai satu-satunya biang kerok masalah kesehatan mental. Seperti pisau bermata dua, media sosial juga bisa digunakan untuk kebaikan. Misalnya, banyak komunitas online yang menyediakan dukungan emosional bagi mereka yang membutuhkan, seperti kelompok pendukung bagi penderita gangguan kecemasan atau depresi. Pengguna juga bisa menemukan informasi yang bermanfaat terkait kesehatan mental, asalkan mereka tahu cara menyaring informasi yang tepat. Solusi untuk menghadapi tantangan ini terletak pada cara kita menggunakan media sosial. Batasi waktu yang dihabiskan untuk scrolling tanpa tujuan, dan pastikan untuk berinteraksi dengan dunia nyata sebanyak mungkin. Orang tua juga memiliki peran penting dalam membimbing anak-anak mereka agar bijak dalam menggunakan media sosial.
Di sisi lain, penting juga untuk menyadari bahwa tidak semua orang mengalami dampak negatif yang sama dari media sosial. Pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental sangat bervariasi tergantung pada faktor-faktor seperti usia, kepribadian, dan lingkungan sosial. Orang dengan kepribadian yang lebih rentan terhadap tekanan sosial atau yang memiliki rasa percaya diri yang rendah mungkin lebih mudah terpengaruh oleh apa yang mereka lihat di media sosial. Sebaliknya, mereka yang memiliki kontrol diri yang baik dan pandangan hidup yang positif mungkin dapat menggunakan media sosial secara lebih sehat dan bijak.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya, media sosial bukanlah musuh kita, namun bisa menjadi ancaman jika tidak digunakan dengan bijak. Penggunaan yang sehat adalah kunci untuk memaksimalkan manfaat media sosial tanpa harus mengorbankan kesehatan mental kita. Memang, media sosial bisa menjadi teman yang menghibur, namun kita juga harus waspada agar tidak terjebak dalam pengaruh negatifnya.