Konten dari Pengguna

Tapera: Kemana Arah Program Ini Sebenarnya?

Halimah Alatas
Mahasiswa Teknologi Radiologi Pencitraan Fakultas Vokasi Universitas Airlangga
2 Juni 2024 14:40 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Halimah Alatas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan belakang GKB Unair. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan belakang GKB Unair. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Setelah isu tentang kenaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang beredar beberapa waktu lalu kini pemerintah kembali dengan kebijakan baru yang lagi-lagi menimbulkan kehebohan di tengah-tengah masyarakat. Salah satu permasalahan yang masih belum teratasi di mayoritas masyarakat menengah kebawah di Indonesia ialah tingginya harga rumah yang juga terus meningkat setipa tahunnya. Dalam rangka mengatasi permasalahan tersebut pemerintah lantas menciptakan kebijakan baru yaitu dengan dibuatnya program Tapera.
ADVERTISEMENT
Melalui Peraturan pemerintah No. 21 tahun 2024 yang ditekan oleh presiden Jokowi pada tanggal 20 Mei kemarin mengenai kebijakan dari Tapera ternyata menuai banyak penolakan dari berbagai kalangan masyarakat. Kebijakan yang dibuat dengan tujuan mulia ini ternyata dinilai memiliki banyak kelemahan dan ketidaksesuainan dalam pengimplementasiannya. Sebagian besar Masyarakat beranggapan bahwa kebijakan ini terkesan “memaksa” dan justru membebani masyarakat terutama bagi para pekerja tidak tetap atau informal.
Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat merupakan program pemerintah Indonesia yang diinisiasi melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) dengan tujuan untuk membantu menyediakan fasilitas perumahan yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah hingga menengah. Program ini dirancang untuk mengumpulkan dana dari pekerja yang kemudian akan digunakan untuk menyediakan pembiayaan perumahan yang terjangkau.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan pada PP No.21 tahun 2024 pasal 15, besaran gaji yang dipotong bagi masing-masing pekerja adalah sebesar 3%, dengan ketentuan 2,5% dari gaji pegawai dan 0,5% dari pemberi kerja atau Perusahaan, sedangkan bagi pekerja mandiri maka potongan sebesar 3% akan ditanggung sendiri oleh pekerja.
Berbeda dengan Bapertarum (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri) yang merupakan program serupa yang ditujukan bagi pegawai negeri sipil, Tapera mewajibkan hampir seluruh sektor kerja dengan syarat usia pekerja minimal 20 tahun dengan penghasilan minimal setara upah minimum. Kebijakan ini di nilai memberatkan dan terkesan memaksa terutama bagi para pekerja informal dengan sistem pembayaran upah yang tidak teratur setiap bulannya.
Pemotongan ini akan berjalan setiap bulan pada tanggal 10 mulai tahun 2027 dan hanya bisa di cairkan apabila pekerja telah pensiun, berusia 58 tahun bagi pekerja mandiri, telah meninggal dunia atau telah berhenti bekerja selama 5 tahun.
ADVERTISEMENT
Di Tengah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah, kebijakan baru seperti Tapera ini justru kembali diperkenalkan. Tidak sedikit masyarakat yang beranggapan daripada membuat kebijakan baru seperti Tapera ini lebih baik pemerintah memperbaiki sistem pengelolaan BPJS yang selama ini dinilai masih belum berjalan dengan efektif.
Meskipun dengan tujuan yang baik, rekam jejak pemerintah dalam pengelolaan keuangan masyarakat telah menimbulkan beberapa permasalahan selama ini. Potongan gaji yang beragam, maraknya kasus korupsi, serta program-program tabungan yang seringkali tidak memberikan manfaat langsung kepada masyarakat, menjadi alasan dibalik keraguan masyarakat. Terlebih lagi, dengan jangka waktu pencairan dana terbilang cukup lama, hal ini semakin memperburuk tingkat kepercayaan masyarakat terhadap program Tapera. Banyak Masyarakat yang khawatir bahwa dana mereka mungkin tidak akan kembali atau bahkan hilang. Seperti pada kasus Bapertarum yang sempat bermasalah dengan pengelolaan dana yang tidak transparan dan penyalahgunaan dana yang mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik. Selain itu, dengan dana yang baru bisa cair dalam waktu yang lama ini, menimbulkan kekhawatiran apakah nilai dana tersebut masih cukup untuk membeli rumah yang layak dimasa depan mengingat inflasi yang terus naik.
ADVERTISEMENT
Disamping itu, perhitungan mengenai potongan gaji ini di anggap cukup membingungkan, jika dihitung dengan UMR kota Surabaya yaitu sekitar Rp 4.725.479 perbulan, dengan potongan 3% maka itu hanya sekitar Rp 141 ribu per bulannya, dan apabila dikalikan 1 tahun maka hanya akan didapat sebesar 1,7 juta pertahun. Bahkan jika pekerja tersebut bekerja selama 30 tahun dana yang terkumpul hanya sampai di angka 51 juta. Dana tersebut mungkin cukup untuk pembayaran DP rumah namun mengingat pencairan dana Tapera baru dapat di akses saat pensiun atau pekerja tersebut sudah tidak bekerja lagi, lantas bagaimana pelunasan pembayaran rumah tersebut. Belum lagi dengan adanya inflasi, apakah dana tersebut masih akan cukup untuk pembayaran rumah di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Beberapa pihak seperti KSPSI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan ASPEK (Asosiasi Serikat Pekerja) juga menganggap Tapera sebagai beban tambahan bagi pekerja seperti buruh yang sudah dibebani dengan berbagai potongan gaji lainnya seperti BPJS, pajak, jaminan hari tua dan sebagainya. Belum lagi kebijakan Tapera bagi para pekerja swasta ini juga dinilai masih kurang jelas.
Program Tapera ini memang memiliki tujuan mulia untuk membantu masyarakat menengah kebawah memiliki rumah. Namun, keberhasilan program ini sangat tergantung pada transparansi dan efektivitas pengelolaannya. Belajar dari pengalaman Bapertarum, sangat penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa dana yang dikumpulkan dikelola dengan baik dan transparan agar tujuan program ini dapat tercapai dan kepercayaan publik terjaga. Jika dikelola dengan baik, Tapera bisa menjadi solusi jangka panjang untuk permasalahan perumahan di Indonesia. Namun, jika tidak, program ini hanya akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan berpotensi mengalami nasib yang sama dengan program-program serupa sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Penulis: Halimah Alatas, Mahasiswa Universitas Airlangga