news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Di Balik Pertanyaan 'Kapan Nikah?' Saat Mudik Lebaran

Lida Noor Meitania
Pranata Humas, ASN, di Kementerian Komunikasi dan Informatika
Konten dari Pengguna
1 Mei 2022 14:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lida Noor Meitania tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pelajar mendapatkan informasi ramah anak di Bali, sebelum pandemi Covid-10. Foto: koleksi pribadi/Lida Noor Meitania
zoom-in-whitePerbesar
Pelajar mendapatkan informasi ramah anak di Bali, sebelum pandemi Covid-10. Foto: koleksi pribadi/Lida Noor Meitania
ADVERTISEMENT
Saat mudik lebaran sering ditanya saudara di kampung “kapan lulus?”, “kapan nikah?”, “kapan punya anak?”, dan pertanyaan lainnya? Pak De dan Bu De yang nanya “kapan lulus?” itu apa mau bantuin bayar uang sekolahnya? Mungkin kerabat yang nanya “kapan nikah” itu juga sudah siap mau biayai resepsinya?
ADVERTISEMENT
Jangan mau buru-buru nikah apalagi jika masih remaja di bawah 19 tahun. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun bagi perempuan menjadi 19 tahun.
Seharusnya, dengan adanya peningkatan batas usia perkawinan ini maka perkawinan anak akan berkurang. Namun faktanya tidak demikian. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung mengungkap permohonan dispensasi kawin yang diputus meningkat tajam dari 23.145 di tahun 2019 menjadi 61.432 pada 2020.

Dampak Buruk Kesehatan

Padahal dampak perkawinan anak dan kehamilan di usia anak sangat berbahaya. Kehamilan di usia anak, berpeluang 4,5 kali menjadi kehamilan berisiko tinggi. Pendarahan pun berpeluang terjadi 3 kali lebih terjadi. Risiko pada jabang bayi pun tidak kalah mengerikan. Bayi bisa mengalami kerusakan otak janin dan gangguan tumbuh kembang akibat ibu kekurangan yodium. Belum lagi ibu yang ukuran panggulnya tidak seimbang dengan ukuran kepala bayi, akan kesulitan ketika melahirkan. Kontraksi bayi dalam kandungan juga tidak akan optimal. Bayi akan lahir dengan berat badan rendah, biasanya di bawah 2.500 gram dan akan lahir stunting. Risiko kematian juga mengancam.
ADVERTISEMENT
Menurut Dokter Spesialis Gizi, dr. Juwalita Surapsari, M.Gizi., Sp.GK Usia ideal menikah dan mengalami kehamilan adalah pada rentang 21 hingga 35 tahun jika dilihat dari kebutuhan nutrisi. Usia remaja adalah usia di mana seseorang mengalami percepatan pertumbuhan. Apabila pada masa remaja mengalami kehamilan maka pertumbuhannya pun akan terganggu dan perkembangan janin dalam kandungannya pun akan terhambat juga (djikp.kominfo.go.id, 2021).
Informasi seputar stunting, kesehatan, nutrisi, tumbuh kembang anak, sanitasi, reproduksi remaja bisa dibaca lebih lanjut melalui situs Genbest.id dan media sosial @genbestid. Genbest atau Generasi Bersih dan Sehat adalah kampanye inisiasi Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Dampak Ekonomi

Selain berdampak buruk pada kesehatan, perkawinan anak juga berdampak pendidikan dan ekonomi. Anak yang putus sekolah akan kehilangan cita-citanya. Impian mengenyam pendidikan tinggi akan kandas. Apalagi masa depannya. Anak akan menjadi pekerja anak dengan upah rendah dan berputar di lingkaran kemiskinan tanpa bisa mentas.
ADVERTISEMENT
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) perlu mendorong penguatan layanan di Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) untuk mencegah perkawinan anak. Peningkatan pemahaman pengasuhan berbasis hak anak juga perlu dilakukan di pesantren, panti anak, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Selain itu, pelatihan pencegahan perkawinan anak perlu dilakukan pada Forum Umat Beragama, tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Edukasi kesehatan reproduksi pada sekolah ramah anak, puskesmas ramah anak, juga perlu dilakukan di berbagai daerah. Gerakan bersama stop perkawinan anak akan tercapai jika dilakukan bersama pemerintah dan masyarakat.
KPPPA juga perlu mendorong pemerintah daerah untuk menyusun peraturan daerah sebagai upaya percepatan pencegahan perkawinan anak. Mulai dari Peraturan Gubernur sampai Peraturan Desa.
ADVERTISEMENT
Sekarang bestie… Jika ditanya “kapan nikah?”, sudah tahu kan mesti jawab apa?