Wajah Kritik Sastra Indonesia

Konten dari Pengguna
4 September 2017 22:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lidia Lebang tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Wajah Kritik Sastra Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Gambar: Dua dari Tiga Juri: A. Adipurwawidjana dan Martin Suryajaya
ADVERTISEMENT
Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) telah mengadakan sayembara kritik sastra yang terdiri atas tiga tahapan. Pertama, pada 23 Maret 2017, sayembara dibuka untuk umum. Batas akhir pengumpulan naskah adalah 30 Juni 2017. Tahap kedua adalah masa penjurian. Juri terdiri atas tiga laki-laki, yakni Ari J. Adipurwawidjana, A.S. Laksana, dan Martin Suryajaya. Tahap terakhir adalah malam anugerah pemenang sayembara kritik sastra 2017 yang dilaksanakan pada 31 Agustus 2017 bertempat di Taman Ismail Marzuki. Kali terakhir komite sastra DKJ mengadakan sayembara kritik sastra adalah tahun 2013, di mana salah satu juri kali ini, Martin Suryajaya menjadi pemenang utamanya.
Sayangnya, pemenang utama hilang dari sayembara kali ini. Menurut Ari J. Adipurwawidjana, hal ini dikarenankan 93 naskah kritik yang diterima oleh DKJ kali ini, kualitasnya kurang memadai. Sebagai konsekuensi dari kurang memadainya kritik-kritik tersebut, maka ketiga dewan juri memutuskan bahwa hanya ada pemenang kedua, dua orang pemenang ketiga, dan 4 orang juara harapan (yang semestinya ada 5). Dengan demikian, pemenang kedua adalah penghargaan tertinggi yang dapat diberikan oleh DKJ kepada para kritikus sastra dalam sayembara kali ini.
ADVERTISEMENT
Sayembara kali ini memang memiliki dinamikanya tersendiri, selain jumlah naskah yang lebih sedikit dibanding sayembara 2013 (106 naskah). Dalam sambutannya, ketua Komite Sastra Yusi Avianto menceritakan bahwa hingga 2 minggu menjelang batas akhir pengumpulan naskah, DKJ baru menerima 20 naskah, sehingga ada sejumlah perdebatan diantara tim komite sastra, apakah batas pengumpulan sebaiknya diundur. Namun, Yusi akhirnya berpendapat bahwa mungkin inilah wajah kritik sastra indonesia saat ini, yang mana cukup memprihatinkan. Syukur, pada batas yang telah ditetapkan, ternyata naskah mencapai angka 93.
Novel bertema lokalitas rupanya menjadi favorit para kritikus. Jika pada perhelatan sebelumnya, Martin Suryajaya menelisik isu modernitas dan pascamodernitas dalam Bilangan Fu karya Ayu Utami, yang mengangkat laku spiritualitas masyarakat Jawa, maka kali ini, pemenang kedua, Harry Isra Muhammad memilih mengkritik novel yang mengangkat kehidupan masyarakat Toraja, Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Naskah Harry merupakan naskah dengan nomor urut 33 yang diterima oleh DKJ. Ia memberinya judul Memandang Seperti Penjajah: Membedah Pascakolonialitas Puya ke Puya karya Faisal Oddang. Adapun para pemenang ketiga adalah Muarif (membahas kumpulan puisi Afrizal Malna) dan Sunlie Thomas Alexander (berjudul Memahami Jagat Jungkir-Balik Triyanto Triwikromo dalam Surga Sungsang).
ADVERTISEMENT
Tertarik untuk ikut memberikan kritik pada kesusastraan Indonesia? Tunggu sayembara berikutnya dari DKJ! Hmm rasanya tidak perlu menunggu selama itu. Anda bisa memulainya dari sekarang dan dengan demikian Anda telah berkontribusi mengawal kesustraan ibu pertiwi.