Kisah dari Gunung Gede Pangrango

15 Juli 2019 12:03 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
15 orang dari lintas divisi di kumparan berangkat bersama mendaki Gunung Gede Pangrango, Jumat (28/6). Kegiatan ini adalah bagian dari kumparan Vekesyen, program dari kumparan yang dibuat khusus untuk karyawan.
ADVERTISEMENT
Kegiatan outdoor ini dipilih karena banyak dari karyawan kumparan yang memiliki hobi naik gunung. Gunung Gede Pangrango pun jadi pilihan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, membuat gunung ini dapat ditempuh dengan waktu yang cukup pendek dibandingkan dengan gunung yang lain.
Berfoto bersama sebelum memulai pendakian.
zoom-in-whitePerbesar
Berfoto bersama sebelum memulai pendakian.
Perjalanan dimulai Jumat malam setelah jam kerja. 15 orang yang berasal dari divisi operasional hingga redaksi ini berkumpul di teras depan kantor menuju Cianjur melalui Cibodas. Rombongan tiba di Cianjur dini hari dan memulai pendakian pada Sabtu pagi (29/6).
Setiap pendakian pastinya menyimpan cerita dan pengalaman unik masing-masing, tak terkecuali pendakian kumparan Vekesyen kali ini. Mulai dari durasi pendakian yang berlangsung lebih lama dari rencana, tersesat, hingga sepatu salah seorang tim yang jebol saat mendaki.
ADVERTISEMENT
Berikut ini beberapa cerita menarik yang berhasil dikumpulkan.
Nurul Nur Azizah, satu-satunya perempuan dalam rombongan
Jadi satu-satunya perempuan dalam tim pendakian ternyata tidak memberikan kesulitan berarti bagi Nurul.
Ini adalah kali pertama Nurul mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Biasanya dia hanya mendaki gunung yang tidak terlalu tinggi. Niatnya tidak surut ketika harus mendaki ke puncak yang tinggi. Nurul sendiri merupakan penyuka suasana sejuk pegunungan.
Menjadi satu-satunya perempuan dalam rombongan, tidak membawa kesulitan berarti bagi Nurul. “(saat camping) Tendanya kan aku milih gabung sama tenda besar, jadi agak ribet paling pas keperluan pribadi kayak ganti baju dan lain-lain. Tapi so far, menikmati aja sih, soalnya asyik-asyik anaknya dan solidaritasnya tinggi,” cerita reporter kumparanBisnis ini.
Teman-teman dalam rombongan yang suportif, membuat Nurul tetap nyaman meskipun menjadi perempuan satu-satunya. Tidak ada sekat pemisah antara laki-laki dan perempuan. Semua dikerjakan bersama dan saling membantu saat pendakian maupun saat turun.
ADVERTISEMENT
Ekspresi bahagia Nurul setelah mencapai puncak Pangrango.
Momen pertama setelah 13 tahun vakum naik gunung
Saat kuliah dan SMA dulu, Fajar Widi bisa dibilang sering naik turun gunung yang ada di Pulau Jawa. Namun setelah pindah ke Jakarta, kegiatan ini pun semakin jarang dilakukan. Kegiatan kumparan Vekesyen ini menjadi pendakian pertamanya setelah 13 tahun tidak mendaki.
Meskipun sudah pernah mendaki gunung yang lebih tinggi dari Gunung Gede Pangrango, pendakian kali ini cukup membuat Widi kelelahan. Bahkan, ia mengaku sempat ketiduran saat beristirahat yang akhirnya membuat dia tersesat. Beruntung ia segera bertemu dengan rombongan lainnya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Head of Strategic Partnerships & Business Analytics kumparan ini, juga sempat tersesat lagi bersama Nurul saat turun gunung. Saat itu, mereka terpisah cukup jauh dari rombongan. Beruntungnya, mereka ditunjukkan jalan oleh seekor burung jalak yang kebetulan melintas.
ADVERTISEMENT
Meskipun kelelahan, tapi momen pendakian kemarin justru menjadi cambukan bagi Widi untuk lebih giat berolahraga agar dapat kembali menjalani hobinya yang sempat vakum lama itu.
Meskipun lelah, WIdi tidak lupa berswafoto.
Momen mengenalkan keseruan mendaki gunung kepada anak
Mungkin bagi Wendiyanto Saputro, Managing Editor kumparanBisnis, ini adalah pendakian yang paling spesial dari pendakian lainnya. Karena pada pendakian kali ini, ia mengajak putra semata wayangnya ikut serta. Baginya, mendaki gunung adalah menaklukkan diri sendiri. Menaklukan ego, menaklukkan kegetiran, sekaligus juga menaklukkan kesombongan. Dia ingin mengajarkan itu pada putranya yang mulai beranjak remaja.
Meskipun tidak sampai ke puncak, namun Wendi tetap bangga pada putranya. Mendaki gunung bukan perkara sampai ke puncak, tapi bagaimana kita mengontrol kemampuan diri, begitu yang diyakini Wendi.
Wendi dan anaknya beristirahat setelah berjam-jam melakukan pendakian.
Membuat api unggun saat berkemah di gunung adalah hal yang umum dilakukan, tapi tidak bagi rombongan kumparan Vekesyen. Karena tubuh yang kelelahan setelah mendaki, akhirnya mereka berkumpul di sekeliling kompor untuk menghangatkan tubuh. Kehangatan makin terasa dari obrolan-obrolan seru antar anggota rombongan.
Berkumpul bersama sambil menyiapkan makan malam.
Pendakian berjalan dengan santai. Rombongan cukup sering berhenti untuk beristirahat atau sekadar menikmati pemandangan sekitar pegunungan. Hal ini menyebabkan waktu pendakian molor menjadi 14 jam, dari yang direncanakan hanya 8 jam. Meski begitu, hal ini tidak menjadi masalah. Semua anggota rombongan tetap senang karena bisa sejenak keluar dari penatnya kota dan menghirup sejuknya udara pegunungan.
ADVERTISEMENT