Wiji Thukul, 19 Tahun Hilang

Lilik HS
Salah satu eksponen Reformasi 98. Kini sibuk menulis dan menjadi pegiat kemanusiaan.​
Konten dari Pengguna
19 Januari 2017 19:14 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lilik HS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wiji Thukul sebelum hilang (Foto: Dokumen pribadi Wahyu Susilo)
Tahun 1993, saya masih mahasiswa dan datang dalam seminar yang digelar sebuah kampus. Sesosok kerempeng, rambut keriting dan berbalut kaos oblong lusuh, mengacungkan tangan menginterupsi.
ADVERTISEMENT
“Ngapain kalian bicara ndakik-ndakik (sok intelek)! Rakyat butuh makan!”
Peserta kaget. Saya pun terkesiap. Ceplas-ceplos. Cenderung kasar. Telinga saya pun terasa gatal mendengarnya. Terkesan ‘tidak intelektual’. Meski, saya pikir-pikir ada juga benarnya.
Saya pun ikut aksi mahasiswa. Puisi ‘Peringatan’ dan ‘Sajak Suara’ selalu jadi menu wajib dibaca sambil menggenggam toa. Konon ciptaan Wiji Thukul. Suasana heroik pun dengan cepat terbangun.
Lagu ‘Darah Juang’ dan pekik ‘hanya satu kata: lawan’, yang diucapkan dengan lantang dan bertenaga, benar-benar memompa semangat dan percaya diri, kendati aksi hanya diikuti belasan orang di bawah kepungan ratusan tentara.
Potongan sajak 'Peringatan' Wiji Thukul (Foto: Dokumen pribadi)
Berbulan kemudian, dalam kongres pertama PRD - saat itu masih Partai Persatuan Demokratik – yang digelar dengan sembunyi-sembunyi, sosok cedal dan kerempeng itu duduk di jajaran meja pembicara. Dengan fasih dan menyakinkan ia bicara program, taktik dan strategi.
ADVERTISEMENT
Ia, sosok kerempeng yang interupsi di seminar itu. Wiji Thukul! Saya terlongong-longong dengan kata-kata ajaib yang meluncur dari bibirnya. Lugas, sederhana, membalut ide-ide yang sama sekali tidak sederhana.
Lantas aksi massa meledak di mana-mana. Tak lagi hanya belasan orang, mulai ratusan, bahkan ribuan. Puisi Wiji Thukul pun selalu menggelegar. 'Peringatan', 'Sajak Suara', 'Bunga dan Tembok' selalu menjelma seperti mantra wajib di jalan-jalan, di aksi buruh dan petani. Di mana-mana.
Paska peristiwa 27 Juli 1996 yang membuat seluruh anggota PRD diburu dan beberapa dipenjara, Thukul ikut menghilang. Berbulan-bulan situasi berjalan penuh represi. Roda organisasi benar-benar merangkak di bawah tanah.
Lantas puisi Thukul dari persembunyian berseliweran di internet, salah satunya: ‘Aku masih ada dan kata-kata belum binasa’.
ADVERTISEMENT
Thukul yang tak pernah menyerah! Thukul yang racikan katanya selalu meniupkan hawa semangat sekaligus menguatkan kami!
Pertengahan 1997, ia benar-benar kembali. Ia tampil beda, rambut dicukur, baju rapi dan menyandang nama baru: Aloysius. Itu adalah momentum yang cukup emosional, pertama kali konsolidasi organsisasi -secara diam-diam- setelah berbulan-bulan diburu dan diluluh-lantakkan.
Puluhan kader ditangkap, belasan dipenjara di Surabaya, di Cipinang dan Salemba. Thukul hadir, dengan gaya khasnya, cuek, humoris, kritis. Ia kemudian mengorganisir buruh di Tangerang. Hingga pada Maret 1998 beberapa kawan hilang diculik dan Thukul pun tak terdengar kabar. Hingga sekarang.
ADVERTISEMENT
Ketika kebebasan berbicara terasa mahal harganya. Ketika membaca buku harus sembunyi-sembunyi. Diskusi diawasi intel. Aksi dihadang dengan lars dan kokang senapan. Lewat puisi, Thukul merekamnya secara jenius.
Mengenang Thukul adalah mengenang seorang sosok dengan pikiran, kata dan tindakan yang utuh dan teguh. Thukul mengajarkan keberanian, bahkan ketika orang-orang bibirnya masih gemetar menyerukan kata berlawan.
Sajak 'Peringatan' ia tulis tahun 1986, ketika Soeharto sedang di puncak digdaya. Tahun 1992 ia sudah mulai memimpin tetangga-tetangganya untuk protes ke pabrik tekstil PT. Sari Warna yang mencemari kampungnya.
Kepada kata, pada kerja, pada keyakinan politik. Ia penyair piawai meracik kata. Ia aktivis politik yang sabar dan setia mengajari semua orang untuk melawan dengan segala daya upaya.
ADVERTISEMENT
Ia perumus taktik strategi yang piawai. Ia, yang memilih kembali bersama kawan-kawannya untuk teguh menyusun barisan dalam kondisi politik yang mencekam.
Mengenang Thukul adalah mengenang manusia yang humoris dan penuh kasih.
Kepada kawan, istri dan anak-anaknya. Dan mengenang Thukul adalah mengenang di mana kebebasan bicara telah kita genggam, namun kasus penghilangan paksa belum lagi usia dituntaskan. 13 keluarga masih menanti tanpa jawab yang pasti, hidup atau mati.
Tanggal 19 Januari 2019, Istirahatlah Kata-Kata, film yang merupakan penggalan kisah Wiji Thukul di masa perburuan akan diputar, di 19 layar bioskop di Indonesia. Tepat setelah 19 tahun ia dihilangkan paksa.
Maka, hanya ada satu kata: Nonton!
ADVERTISEMENT
Film Wiji Thukul 'Istirahatlah Kata-Kata' (Foto: Dok. Twitter @FilmWijiThukul)