Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Islam Sebagai Agama Minoritas dan Mayoritas di Dua Negara Berbeda
29 Juli 2021 15:00 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Lilis Mufarida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saya Muslim, saya beribadah di Masjid. Saya Kristen dan saya Katolik, kami beribadah di Gereja. Saya Buddha saya beribadah ke Vihara. Saya Hindu saya beribadah ke Pura. Saya Kong Hu Cu, saya beribadah ke Klenteng. Pernyataan tersebut menggambarkan kepercayaan mereka terhadap agama yang dianut.
ADVERTISEMENT
Setiap manusia yang lahir sejatinya memiliki insting yang muncul dalam dirinya terhadap sang pencipta. Agama juga bisa dijadikan tuntunan dan panutan untuk mengatur kehidupan manusia. Pemahaman terhadap konsep beragama ini telah membawa manusia untuk mencari kedekatan dengan sang Pencipta.
Secara luas, agama juga dapat dikatakan sebagai jalan hidup bagi manusia. Oleh karena itu, setiap kegiatan dan tata cara telah diatur oleh agama seperti bagaimana kita beribadah, bagaimana kita bergaul, bagaimana mencari solusi perkara hidup, dan lain sebagainya.
Konsep beragama yang dijalani disetiap komunitas atau negara pada umumnya berbeda-beda, karena mereka memiliki pemahaman dan keyakinan yang dianut oleh kelompoknya masing-masing. Namun, pada hakikatnya mereka sama sama mempercayai akan adanya Tuhan sebagai sang pencipta.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimanakah pandangan negara terhadap agama dan konsep beragama yang dianut pada suatu negara. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuan, saya dapat menemukan hal-hal bahwa konsep beragama itu sangat luas, pengaruh agama sangat besar terhadap kehidupan. Misalkan saja agama minoritas dan mayoritas yang berkembang di Negara Indonesia dan Amerika Serikat.
Saya tinggal di lingkungan yang mayoritasnya Muslim. Sejak kecil, saya sudah diajarkan dengan pendidikan dan ajaran-ajaran Islam pada diri saya. Sehingga agama Islam seperti sudah melekat pada diri saya. Saya tinggal di Indonesia, di mana Indonesia menganut Ideologi Pancasila dengan berlandaskan “Ketuhanan yang Maha Esa” yang berarti rakyatnya bebas untuk memeluk salah satu agama yang diyakini.
Di Indonesia penduduknya mayoritas memeluk Agama Islam, tapi Indonesia juga memperbolehkan rakyatnya untuk menganut agama lain seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Oleh karena itu, dengan berpegang teguh pada Pancasila, pemeluk agama di Indonesia dapat hidup rukun dengan mengedepankan toleransi beragama, saling membantu, saling menghormati, menghargai dan tidak mendiskriminasi terhadap pemeluk agama lain.
ADVERTISEMENT
Sedari dulu, jarang sekali saya bertemu dengan orang yang beragama Non-Islam. Hingga pada akhirnya, ketika saya memasuki sekolah SMA di mana muridnya berasal dari berbagai daerah, saya mengenal teman dan orang-orang dengan keyakinan yang berbeda dengan saya. Guru saya yang beragama Katolik, teman saya yang beragama Kristen dan teman pindahan dari Bali yang beragama Hindu.
Pada saat duduk di bangku SMA, saya pernah berteman dengan seorang yang beragama Kristen, dan saya mulai berdiskusi kecil dengannya. Satu hal yang membuat saya tertarik yaitu ketika dia dengan fasihnya membaca dan mengucapkan hal-hal yang biasa dilakukan di agama Islam, seperti hafal beberapa bacaan surat pendek, terbiasa mengucapkan Alhamdulillah seusai pelajaran, membaca Bismillah ketika akan makan, dan masih banyak lagi.
ADVERTISEMENT
Lalu hal itu membuat saya berpikir bagaimana dia bisa dan tahu dengan ucapan kalimat-kalimat seperti itu sedangkan dia adalah Non-Islam. Ternyata, tidak hanya itu saja, ketika umat Muslim merayakan hari lebaran, mereka juga turut ikut merayakannya, hanya saja mereka tidak ikut dalam ibadah salat Idul Fitrinya saja.
Kemudian mereka juga sudah terbiasa dengan keseharian dengan mendengar kumandang azan 5 waktu di kampungnya, menghadiri acara-acara resmi yang lebih banyak dilakukan oleh orang Muslim. Ternyata setelah saya bertanya lebih jauh, hal tersebut merupakan hal yang biasa di keluarganya yang Non-Islam, dan mereka dapat hidup rukun secara berdampingan.
Berbeda lagi ketika saya memasuki tingkat Universitas. Saya kembali masuk ke dalam lingkungan Islam lagi. Banyak hal baru yang saya jumpai di sini. Saya menjadi tahu bahwa konsep beragama itu luas. Konsep beragama tidak hanya soal beribadah kepada Tuhannya, melainkan lebih dari itu.
ADVERTISEMENT
Agama mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan segala persoalan kehidupan manusia. Dari sini saya bisa belajar dan menyadari bahwasanya Islam itu tidak hanya satu jalan, tapi banyak sekali aliran-aliran yang ada. Mungkin ini yang bisa disebut “Sama tapi berbeda”.
Saya sering menjumpai postingan di sosial media, tentang bagaimana toleransi antar umat beragama bisa hidup rukun secara berdampingan. Salah satunya, dalam unggahan tersebut menunjukkan bahwa di Kota Surabaya terdapat 6 rumah peribadatan yang dibangun secara berdampingan. Di antaranya Masjid, Gereja Kristen Protestan, Gereja Katolik, Pura, Vihara, dan Klenteng.
Meskipun saya belum pernah mengunjungi secara langsung, namun saya bisa menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia bisa memiliki rasa toleransi yang tinggi terhadap agama lain dan dapat hidup rukun secara berdampingan.
ADVERTISEMENT
Berbeda lagi kasus yang pernah terjadi di Sulawesi, di mana yang sempat menjadi viral di pemberitaan media. Seseorang dengan agama yang berbeda merasa terganggu dengan aktivitas keagamaan lain. Hal ini mungkin saja karena tempat tinggal yang berdekatan dengan rumah ibadah orang Muslim, merasa keberatan dengan suara azan yang dikumandangkan 5 kali sehari.
Sehingga kita pahami bahwa setiap warga negara tidak seluruhnya memiliki toleransi yang tinggi. Oleh karena itu, saya bisa menyimpulkan betapa pentingnya untuk belajar menghargai perbedaan dan sebisa mungkin ditanamkan kepada anak-anak sejak duduk di bangku sekolah dasar, agar dewasanya tidak serta merta mengeklaim bahwa ajaran yang dianut dirinya adalah yang paling benar.
Lalu bagaimana konsep beragama di negara lain, apakah negara lain memiliki hal yang sama? Hal itu selalu menjadi pertanyaan di benak saya sebelum saya akhirnya mengetahui bahwa tidak semua negara memperlakukan yang sama seperti paham yang diterapkan di Indonesia. Yang menjadi perhatian utama saya adalah negara Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat, meskipun negaranya juga sama membebaskan rakyatnya untuk memeluk agama yang ia yakini dan tidak mewajibkan rakyatnya untuk memeluk agama tertentu, namun kerap kali agama minoritas di sana sering dikucilkan dan di diskriminasi oleh pemeluk agama lain.
Berbeda dengan Indonesia, Amerika didominasi oleh pemeluk agama Kristen dan Katolik. Agama minoritas di antaranya Islam, Yahudi, Ateis, Ortodoks, Buddha, Hindu, Mormon, dan masih banyak lagi. Saya pernah membaca artikel bahwasanya di Amerika mendiskriminasi terhadap kepercayaan tertentu, meski tidak menunjukkan secara langsung, namun mengeklaim bahwa tidak menyukai dengan kelompok tersebut.
Berbicara tentang diskriminasi, sebenarnya diskriminasi adalah sikap membeda-bedakan secara sengaja oleh kelompok tertentu yang menyangkut dengan kepentingan tertentu juga. Saya pribadi tidak pernah merasakan diskriminasi secara langsung, terutama menyangkut soal agama saya. Saya bisa bebas dengan mengunjungi Masjid, membaca Al-quran dengan pengeras suara, dan melakukan kegiatan keagamaan lainya. Semua itu karena saya tinggal di lingkungan mayoritas.
ADVERTISEMENT
Namun bagaimana dengan diluar sana? Tidak terkecuali seperti di negara Amerika Serikat, sebagai penduduk Amerika apa yang mereka rasakan jika tinggal di lingkungan sebagai bagian dari agama minoritas. Berdasar artikel yang pernah saya baca, saya pernah menemui dan menyatakan bahwa sebagian penduduk Amerika melakukan diskriminasi terhadap kelompok agama Non-Kristen.
Salah satu diskriminasi terbesar yaitu ditunjukkan kepada kelompok agama Islam dan Ateis. Sebagian dari mereka menunjukkan dan menuduh bahwa Agama Islam merupakan agama teroris. Mereka mengklaim tersebut karena mengingat kejadian yang terjadi pada 11 september bahwa orang Muslim di Timur Tengah melakukan serangan terhadap Amerika Serikat, yang merupakan serangan terbesar yang pernah Amerika terima.
Akan tetapi, tidak semua warga Amerika melakukan diskriminasi terhadap warganya, banyak juga warga Amerika yang justru mendukung dengan perkembangan agama Islam di sana. Seperti dalam video wawancara yang pernah saya tonton, bahwasanya belajar dan hidup di sebuah negara di mana Islam masuk dalam kelompok agama minoritas bukanlah hal yang mudah, tapi hal itu menjadikannya tantangan baginya untuk tetap pada keyakinannya.
ADVERTISEMENT
Di Amerika terdapat juga orang yang beragama Islam yang mendapatkan dukungan dari agama lain. Sebagian dari mereka juga memiliki toleransi yang tinggi. Misalkan saja Muslim di sana masih bisa melaksanakan ibadah salat 5 waktu dengan mudah saat bulan Ramadhan tiba, pemeluk agama Non-Islam akan menghormati temanya yang beragama Islam dengan tidak makan bersamanya. Mereka ikut serta dalam memberi makanan pada saat berbuka puasa.
Tentunya masih banyak lagi yang dilakukan oleh orang Amerika kepada warga Muslim di sana. Hal ini menunjukkan bahwa toleransi dalam beragama juga ditunjukkan di negara di mana Islam sebagai agama minoritas , karena mereka menganggap sesama manusia tetap untuk saling menghormati.
Saya dapat menyimpulkan bahwasanya konsep beragama itu sangat luas, agama juga berpengaruh terhadap lingkungan dan persepsi masyarakat, hingga tantangan dalam beragama juga muncul di suatu negara. Indonesia dan Amerika Serikat merupakan 2 negara yang berbeda. Di mana di Indonesia agama Islam sebagai agama mayoritas, dan sebaliknya Islam di Amerika sebagai agama minoritas.
ADVERTISEMENT
Kedua negara ini sama-sama membebaskan rakyatnya untuk menentukan kepercayaan yang ia yakini. Sehingga, sudah seharusnya setiap pemeluk agama juga harus menghargai dan menjaga kedamaian kepada sesama, memperlakukan orang lain dengan baik. Selain itu, sesama umat beragama sudah seharusnya untuk tidak mendiskriminasi kelompok lain dengan hal apa pun, khususnya dalam masalah kepercayaan masing-masing.