Konten dari Pengguna

Materi Jurusan Sekolah dalam Ilmu Parenting

Linda Satibi
Guru SMAIT Adzkia Sukabumi, lulusan Universitas Padjadjaran Bandung jurusan Sastra Jepang. Penulis cerita anak, pernah mendapat IBF Award untuk kategori Fiksi Anak Terbaik.
6 Agustus 2021 12:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Linda Satibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Pemenang Lomba Menulis FB Grup Teman Kumparan)
Anak-anak harus bahagia bersekolah. Ini beragam ekspresi saat pembelajaran berlangsung. (sumber foto : dokumen pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Anak-anak harus bahagia bersekolah. Ini beragam ekspresi saat pembelajaran berlangsung. (sumber foto : dokumen pribadi)
Jika dibandingkan dengan zaman dahulu, saat ini perkembangan ilmu parenting menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Kesadaran para orangtua untuk mempelajari ilmu parenting sebagai bekal dalam pengasuhan dan pendidikan anak, semakin meningkat. Kelas-kelas parenting bermunculan, buku-buku parenting pun banyak dicari. Meskipun masih banyak didominasi ibu-ibu daripada bapak-bapaknya..😅
ADVERTISEMENT
Materi tentang pola pengasuhan dan pendidikan anak, bisa dengan mudah didapat. Para psikolog dan konsultan keluarga banyak menyerukan tentang pola pengasuhan yang ideal, yang merupakan sinergi antara ayah dan bunda. Bagaimana membangun komunikasi yang sehat, menyiapkan anak menuju dunia sekolah, membekali anak agar tangguh menghadapi perundungan, dsb, merupakan materi yang biasa disampaikan. Karena materi tersebut erat kaitannya dengan realita kehidupan sehari-hari.
Tentu para orangtua harus memahami materi-materi itu. Sayangnya, materi tentang menyiapkan anak menghadapi penjurusan di sekolah, masih belum banyak dibahas. Bukan hanya menyiapkan anak, namun para orangtua harus paham betul mengenai apa dan bagaimana penjurusan yang dalam pendidikan di Indonesia, diterapkan di jenjang SMA.
Saya, guru SMA, kerap menghadapi orangtua dan siswa yang masih bingung soal penjurusan. Belum lama ini, seorang Bunda melobby saya agar anaknya yang dari hasil test masuk, dinyatakan masuk jurusan IPS, agar bisa pindah ke jurusan IPA. Si anak dibawanya ke psikolog lalu mengikuti test metode sidik jari. Hasil test tersebut diperlihatkan kepada saya. Beliau bilang, kata psikolognya anak tersebut bisa masuk di IPA maupun IPS. Saya baca baik-baik hasil testnya, lalu tiba di kesimpulan bahwa si anak sisi IPS-nya lebih menonjol. Lalu saya hubungi guru IPA si anak saat di SMP, dan ternyata guru IPA-nya pun lebih merekomendasikan anak tersebut masuk di jurusan IPS.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, alasan si anak keukeuh pingin masuk jurusan IPA, bukan karena minat atau cita-cita. Sahabat karibnya yang daftar di sekolah yang sama, hasil testnya dinyatakan masuk jurusan IPA. Maka dia pun ingin sekelas dengan sahabatnya itu. Sedangkan bundanya, ingin menyenangkan hati anak, dengan berusaha memperjuangkan anaknya pindah jurusan.
Dari kejadian serupa yang acap berulang setiap tahun, memperlihatkan bahwa tingkat kepahaman siswa dan orangtua tentang jurusan di SMA, masih rendah. Idealnya sejak SMP, ayahbunda sudah mulai menyiapkan anak menghadapi penjurusan sekolah. Anak diperkenalkan tentang apa dan bagaimana jurusan IPS, IPA, dan Bahasa.
Ayahbunda nggak bisa sepenuhnya mengandalkan sekolah. Di luar sekolah, pada jam santai di rumah, seyogianya dibuka diskusi tentang minat anak. Kecenderungannya suka pada rumpun ilmu yang mana. Termasuk prospek ke depannya tentang dunia kerja yang linear dengan jurusan yang dipilihnya.
ADVERTISEMENT
Bila hal ini diterapkan dalam suasana diskusi yang hangat dan terbuka, maka anak diharapkan dapat menentukan pilihan dan fokus pada pilihannya tersebut. Anak-anak akan memilih dengan hati senang, dan orangtua menghargai pilihan tersebut. Tentu mengarahkan anak, boleh. Namun jangan sampai mengintimidasi anak pada satu pilihan tertentu sehingga anak menjadi tertekan. Dalam hal ini, orangtua harus memerhatikan kesehatan mental anak.
Diskusi tentang jurusan buat adik dibantu oleh Kakak, menjadi terasa hangat dan menyenangkan dalam suasana serius tapi santai. (sumber foto : dokumen pribadi)
Dengan kondisi ideal seperti itu, tentu tak akan lagi ada siswa galau pilih jurusan, dan selanjutnya siswa bisa yakin memilih jurusan kuliah. Sayangnya, yang terjadi sekarang, masih ada siswa Kelas 12 yang ketika ditanya mau pilih jurusan apa nanti setelah lulus SMA, mereka masih menggeleng. Bahkan ditanya cita-cita pun, mereka angkat bahu. Saat ditanya, suka mapel apa, lagi-lagi menjawab 'nggak tahu'. Jadi mereka sekolah hanya sekadar menjalani saja, tanpa menaruh perhatian pada ilmu yang dipelajarinya.
ADVERTISEMENT
Maka, saya pikir penting nih, memasukkan materi tentang pemilihan jurusan sekolah kepada para orangtua dalam ilmu parenting. Sehingga bisa bersama-sama dengan anak membahas masalah sekolah dengan hati bahagia, tanpa ada unsur paksaan maupun ending anak ngambek karena dipaksa ortu. Akhirnya, anak bersekolah dengan bahagia. Orangtua pun akan bahagia menyaksikan anaknya yang bahagia bersekolah.
Jadi perlu kita yakinkan nih, bahwa tujuan yang baik bisa saja diterima dengan nggak baik. Seperti memilihkan jurusan buat anak. Orang tua kan pasti ingin yang terbaik dengan mengarahkan anak memilih jurusan yang menurut orang tua baik. Namun sayangnya, alih-alih anak merasa terbantu, yang acap terjadi adalah justru anak merasa ditekan dan dipaksa. Kasihan kan, anak menjadi serba salah.
ADVERTISEMENT
Nah, semoga ke depannya para pakar parenting mulai merambah ke wacana tentang jurusan di SMA. Supaya orang tua lebih tercerahkan sehingga pembicaraan dengan anak tentang jurusan, menjadi sebuah dialog terbuka yang hangat dan menyenangkan dalam suasana demokratis.