Konten dari Pengguna

Seberapa Banyak Anak Tangga yang Terlewat pada Masa Kecil Anak?

Linda Satibi
Guru SMAIT Adzkia Sukabumi, lulusan Universitas Padjadjaran Bandung jurusan Sastra Jepang. Penulis cerita anak, pernah mendapat IBF Award untuk kategori Fiksi Anak Terbaik.
1 Agustus 2021 21:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Linda Satibi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Pemenang Lomba Menulis FB Grup Teman Kumparan)
Masa kecil anak tak kan terulang..
zoom-in-whitePerbesar
Masa kecil anak tak kan terulang..
Rasanya hati ini ngilu saat menjawab pertanyaan tersebut. Betapa tidak? Ada sekian momen yang terlewat tanpa saya optimal di dalamnya. Ketika melihat foto masa kecil anak-anak, rasanya ingin kembali ke masa itu. Sayangnya, waktu tak mungkin berulang..😢
ADVERTISEMENT
Dalam kelas-kelas parenting, biasa disampaikan bahwa menghadapi anak-anak pada masa remaja, sangat bergantung pada bagaimana orang tua membersamai pada masa kecilnya. Kedekatan dan kehangatan pada masa kecil dalam keluarga, berpengaruh signifikan pada pola perilaku remaja.
Lalu bagaimana bila bounding dengan anak kurang erat saat masa kecil? Ibarat tangga sejarah kehidupan anak, mungkin sekarang posisinya sudah berada di anak tangga yang tinggi, nah berapa banyak anak tangga di bawahnya yang terjejak tanpa kita, orang tuanya, membersamai di setiap undaknya? Apakah berlaku peribahasa "Nasi sudah menjadi bubur"?
Ternyata kondisi 'bubur' itu bukan berarti kiamat. Harapan tentu masih ada, selama kita berusaha untuk menambal bolong-bolong cinta pada masa lalu. Setidaknya, ada 4 hal yang perlu diperhatikan para orang tua.
ADVERTISEMENT
Pertama, tanamkan tekad yang kuat bahwa kita ingin memperbaiki pola asuh yang kadung kurang tepat. Tentu ini bukan hal mudah, namun bukan juga hal mustahil. Mengapa dibilang tak mudah? Karena biasanya anak telah memiliki frame yang sudah tercetak di benaknya. Mereka merasa orang tuanya memang agak berjarak, sehingga mereka menjadi enggan berdekat-dekat. Kita nggak boleh menyerah menghadapi anak yang kurang responsif. Teruslah konsisten menata komunikasi agar chemistry berangsur terbentuk.
Selanjutnya, hilangkan rasa gengsi atau enggan mengakui bahwa kita salah. Mungkin kita dulu tak ada saat anak pertama kali memenangkan permainan kelereng, atau hanya sekilas memujinya saat ia menjadi dirigen pada upacara bendera di sekolah, atau juga acuh tak acuh ketika ia terpeleset dan ditertawakan teman-temannya, dan momen-momen penting lainnya. Tebuslah keabaian tersebut dengan senantiasa lebih memerhatikannya dengan tulus. Ketika anak mengernyit karena merasa 'aneh' dengan perhatian itu, tanggapi saja dengan senyum. Sampaikan saja bahwa sekarang kita ingin memastikan selalu ada untuk mereka. Saat anak merespons dingin, jangan terbawa emosi. Ingatlah, agar kehilangan momen pada masa lalu tidak lagi terulang.
ADVERTISEMENT
Ketiga, teruslah meng-upgrade diri dengan asupan ilmu parenting. Buku-buku parenting, materi-materi parenting di internet, hingga kelas-kelas parenting merupakan sarana untuk memperkaya wawasan. Dan tentu saja, bukan sekadar menjadi teori yang diketahui, tetapi harus dipraktikkan. Sekali lagi, jangan hanya semangat di awal. Namun jagalah semangat agar terus menyala.
Terakhir, terpenting di atas semuanya adalah iringi segala ikhtiar atau upaya tersebut dengan doa yang tak pernah putus. Hanya kepada Tuhanlah kita bergantung. Selalu mohon petunjuk-Nya akan membuat hati lebih tenang. Dengan selalu melibatkan Tuhan, kita pun meyakini bahwa anak adalah amanah dari-Nya, maka kita harus benar-benar menjaga, mendidik, dan membimbingnya sesuai aturan-Nya.
Semoga kesungguhan kita dalam melaksanakan pola asuh dan pola didik untuk anak-anak, akan menghasilkan generasi yang lebih baik. Generasi berkualitas dengan keseimbangan IQ, EQ, dan SQ.
ADVERTISEMENT
Tetap semangat, ayahbunda!