Konten dari Pengguna

Mengupas Celah di Balik Kejayaan Perfilman Indonesia

Lingga Sekar Arum
Saya adalah mahasiswa aktif S1 Akuntansi di UPN Veteran Jakarta. Salam kenal!
29 September 2022 9:21 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lingga Sekar Arum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menonton film di bioskop. Foto: Pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Menonton film di bioskop. Foto: Pexels.com

Evolusi Industri Perfilman Indonesia

ADVERTISEMENT
Pada tahun 1916, pemerintah mengeluarkan undang-undang yang mengatur film dan bioskop melalui Ordonansi Bioscope. Sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut, film-film karya anak bangsa mulai muncul ke permukaan. Pada tahun 1930-1932, film-film bicara seperti “Nyai Dasima II”, “Zuster Maria”, dan “Terpaksa Menikah” mulai dirilis dan diedarkan. Hal ini mengalami peningkatan terutama pasca Perang Dunia II, di mana film-film Eropa berhenti diimpor dan pemutarannya dilarang di Indonesia. Hingga akhir tahun 1941, produksi film Indonesia berhasil memproduksi 28 film.
ADVERTISEMENT
Kedudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1940-an sendiri merupakan cikal-bakal penggunaan film sebagai media propaganda dan indoktrinasi. Semua film yang dibuat Jepang hanya untuk kepentingan perang dan politik semata, sedangkan masyarakat Indonesia sendiri sudah biasa dimanjakan oleh konten-konten film Barat yang lebih menghibur. Oleh karena itu, periode ini dianggap sebagai era kemunduran dalam industri film Indonesia.

Era Emas Perfilman Indonesia

Setiap era tentunya mempunyai citra dan daya tariknya masing-masing. Terlebih lagi pada tahun 1998, di mana tahun lahirnya film-film Indonesia berkualitas. Dimulai pada tahun 1970 yang sering dilakoni oleh Alm. H. Benyamin Sueb, hingga zaman sekarang di mana Reza Rahadian adalah aktor top-nya, itulah era keemasan industri perfilman Indonesia. Film-film seperti “Laskar Pelangi”, “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak”, “Kucumbu Tubuh Indahku”, dan lainnya berhasil merebut perhatian publik. Bahkan, beberapa di antaranya berhasil debut di kancah festival film internasional.
ADVERTISEMENT
Meskipun perfilman Indonesia sempat mengalami kemunduran produksi akibat pandemi Covid-19, hal itu tidak menghentikan para insan-insan muda untuk tetap berkarya. Karya-karya seperti “Pengabdi Setan 2”, “Ngeri-Ngeri Sedap”, dan “Mencuri Raden Saleh” telah melejit di kalangan masyarakat Indonesia. Seperti baru-baru ini, film “Mencuri Raden Saleh” yang menembus 1,5 juta penonton hanya dalam 12 hari. Hal itu merupakan suatu hal yang patut diapresiasi dari perfilman Indonesia.

Munculnya Berbagai Streaming Platform

Tentunya, pandemi Covid sempat membawa huru-hara bagi setiap sektor industri kreatif, terutama bagi industri perfilman Indonesia. Tetapi, semakin berkembangnya zaman, semakin berkembang pula teknologi. Hal ini dimanfaatkan oleh para distributor film untuk bekerjasama dengan streaming platform masa kini, seperti Disney+ Hotstar, Viu, GoPlay, dan semacamnya. Kehadiran berbagai aplikasi-aplikasi ini kerap menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat yang ingin menonton dari rumah. Film dan serial televisi lokal juga memiliki peluang yang terbuka lebar untuk ikut bersaing di pasar global.
ADVERTISEMENT

Lokal di Mata Global

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sejak lama, perfilman Indonesia memang telah menarik konsumen luar negeri. Kita bisa ambil salah satu contohnya, yaitu film “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak” (2017). Film karya Mouly Surya ini ditayangkan sebanyak 4 kali di Toronto International Film Festival (TIFF) serta mendapatkan banyak pujian dari penonton mancanegara. Bisa dipastikan betapa bangganya sang sutradara, aktor, aktris, serta para staf dan kru yang ikut terlibat dalam proses produksi ini.

Apakah benar kalau film bagus itu kurang laku di pasaran?

Nah, ini mungkin bisa dibilang sebagai salah satu dari sekian banyaknya tantangan yang dihadapi oleh para filmmaker Indonesia. Bukan hanya kesulitan bersaing dengan film-film franchise barat, tetapi juga dengan film-film dalam negeri lainnya. Buktinya, film “Marlina Si Pembunuh Dalam Empat Babak” tadi, hanya berhasil menembus sebanyak 100.000 penonton lokal, yang bisa dibilang masih di bawah rata-rata. Tema yang diangkat adalah tentang bagaimana feminisme direpresentasikan oleh sang tokoh utama untuk menegakkan keadilan bagi dirinya dan wanita-wanita lain di luar sana. Sungguh tema yang sangat menarik bukan? Sayangnya, film ini kurang diminati di tanah air, tercatat tiket yang terjual hanya 100.000 penonton, masih kurang di atas rata-rata.
ADVERTISEMENT

Sedang Krisis Dijajah oleh Remake

Seperti yang sudah disebutkan di atas, masih banyak film dalam negeri yang kurang mencapai target pasar. Akibatnya, tiket yang terjual pun tidak sebanding dengan modal awal yang dikeluarkan. Bahkan, banyak yang masih belum bisa balik modal. Menanggapi hal itu, banyak distributor dan sutradara film yang mengakalinya dengan cara mendaur ulang gagasan-gagasan yang sedang tren di kalangan publik. Sebagai contoh, hallyu wave yang telah masuk pasar Indonesia sejak tahun 2010-an secara tidak langsung mempengaruhi perfilman dan pertelevisian lokal. Hingga sekarang, masih banyak konten dari yang kita tonton merupakan adaptasi dari Korea Selatan. Hal ini bukan tanda tanya lagi, mengingat bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 penggemar hallyu wave terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT

Kurang Beragamnya Genre Film Indonesia

Ini adalah salah satu permasalahan utama yang sedang dihadapi oleh perfilman Indonesia. Tidak heran kalau mayoritas orang menonton film Barat sebagai alternatif saat mencari tontonan, dikarenakan keterbatasan genre film yang diterjuni Indonesia. Biasanya, hanya terbatas di genre Horror, Romance, dan Comedy. Padahal, masih banyak sekali genre film di luar sana yang belum dieksplor oleh Indonesia. Bisa dibilang, perfilman Indonesia masih kekurangan ide-ide baru yang berkualitas juga mendidik, terutama genre film anak-anak dan animasi. Lewat tontonan film itulah kunci penanaman pendidikan sejak dini agar saat sudah besar nanti, anak-anak tersebut sudah terbiasa untuk mengapresiasi dan mengaktualisasikan nilai-nilai moral film dalam kehidupan sehari-hari, terutama film lokal.
ADVERTISEMENT

Lalu, apa yang harus kita benahi mulai dari sekarang?

Dari permasalahan-permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, masih banyak hal yang tentunya harus dibenahi dari industri perfilman Indonesia. Pertama, lembaga pendidikan yang menaungi perfilman di negara ini masih tergolong kurang. Mengapa bisa kurang? Memang benar terdapat beberapa pilihan sekolah film, seperti IKJ (Institut Kesenian Jakarta) dan universitas-universitas lainnya dengan jurusan perfilman, akan tetapi, untuk pendistribusiannya masih sangat kurang. Terhitung 12 dari 14 sekolah film hanya terletak di Pulau Jawa, di mana hal ini cukup membatasi para peminat dari luar Pulau Jawa yang memiliki keterbatasan ekonomi. Jumlah sekolah tinggi dengan jurusan perfilman juga masih sangat kurang dibandingkan dengan jurusan lain. Hal ini akan sangat berpengaruh pada jumlah tenaga kerja yang dihasilkan nantinya.
ADVERTISEMENT
Kedua, distributor film harus mau ikut menampung ide-ide baru. Alur cerita, genre, serta nilai moral yang menarik tentunya dapat membuka target pasar yang lebih luas. Alih-alih meremake film-film asing, akan lebih baik untuk mengadaptasi novel karya penulis lokal. Akan tetapi, mereka juga harus siap akan konsekuensi di baliknya. Bisa jadi dengan alur cerita yang unik tersebut, maka, akan tidak sesuai dengan selera orang kebanyakan. Jadi, para filmmaker harus siap kalau sewaktu-waktu tidak dapat balik modal.