Monumen Palagan Lengkong, Situs Sejarah yang Tak Terjamah

Lintang Pramatyanti
Mahasiswi Universitas Multimedia Nusantara
Konten dari Pengguna
5 Mei 2023 16:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lintang Pramatyanti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Monumen Palagan Lengkong, peringatan bagi para taruna yang gugur dalam Pertempuran Lengkong. Sumber: Dokumen Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Monumen Palagan Lengkong, peringatan bagi para taruna yang gugur dalam Pertempuran Lengkong. Sumber: Dokumen Pribadi
ADVERTISEMENT
Siang itu, hujan telah reda dan matahari kembali menampakkan sinarnya. Aroma tanah yang sudah lama tak terguyur hujan memenuhi paru-paru kami begitu tiba di Jalan Bukit Golf Utara No. 2, Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong Utara. Jalanan terasa becek ketika kami berjalan menuju deretan dua rumah putih yang menjadi saksi bisu sebuah peristiwa memilukan.
ADVERTISEMENT
Meskipun letaknya tepat di pinggir jalan, bangunan ini tidak menghadap langsung ke jalan sehingga tak banyak orang menyadari kehadirannya. Area monumen ini sempat berfungsi sebagai tempat pelatihan pasukan Jepang dan gudang bahan mentah yang digunakan dalam Perang Pasifik. Namun, kini wilayah ini diresmikan menjadi tempat mengenang peristiwa Pertempuran Lengkong dan para pasukan yang telah gugur.
Meskipun tidak dijaga ketat seperti bangunan bersejarah lainnya, monumen ini berada di bawah naungan Sersan Satu Suardin S. dari Komando Distrik Militer (Kodim) 0506 Tangerang, Komando Rayon Militer (Koramil) Serpong, atau lebih akrab disapa Babinsa Enol.
Sayangnya, tidak banyak yang mengenal Monumen Palagan Lengkong. Peristiwa bersejarah yang tersimpan di monumen itu bahkan jarang dijamah oleh turis, baik lokal maupun mancanegara.
ADVERTISEMENT
Kami disambut hangat oleh Babinsa Enol begitu kami tiba di sana. Meskipun perangainya cukup menyeramkan, dia sangat terbuka dan bersedia meluangkan waktunya untuk membantu kami meliput. Kami diajak berkeliling di sekitar bangunan itu sembari mendengarkan runtut peristiwa di balik bangunan yang kumuh dan berdebu itu.

Sejarah dikalahkan oleh komersial

Dilewati setiap hari, dirasa tidak punya arti. Monumen Palagan Lengkong terdiri dari sebuah tembok besar bertuliskan berbagai nama pahlawan yang gugur dan tiang bendera di atasnya. Tak ketinggalan Sang Saka Merah Putih yang tak lelah berkibar, ditiup angin.
“Dulu mayat-mayat para tentara diletakkan di sini sebelum dimakamkan di TMP Taruna di Jalan Daan Mogot, Tangerang,” tutur lelaki berseragam tentara dengan topi hijau itu, menjelaskan latar belakang lokasi monumen saat mengantarkan kami ke dalam bangunan.
ADVERTISEMENT
Dahulu, area monumen adalah kantor persinggahan militer Jepang sehingga di dekat monumen itu terdapat dua bangunan lain, yaitu bangunan pos penjagaan dan bangunan kantor, yang juga digunakan sebagai tempat menjamu tamu. Keduanya sama-sama bangunan Jepang.
Pada bangunan kantor, terdapat empat ruangan dengan ukuran yang tidak terlalu besar. Ruangan-ruangan tersebut terdiri dari ruang tamu, ruang penyimpanan senjata, dan ruang rapat. Saat masuk dari pintu samping, ruangan pertama yang terlihat adalah ruang masuk dengan pencahayaan remang-remang.
Belok kiri, terdapat pintu yang mengakses ruang untuk menjamu tamu yang tidak terlalu luas. Ruangan tersebut tersambung dengan ruang rapat. Dari ruang rapat, terdapat pintu yang mengarah ke ruang penyimpanan senjata. Bangunan inilah yang menjadi saksi bisu tragedi tersebut.
Ruang kantor depan, tempat Mayor Daan Mogot,Letnan I Soebijanto, dan Letnan I Soetopo tertembak saatberdiskusi dengan Kapten Abe. Sumber: Dokumentasi Pribadi
Saat kami datang, setiap ruangan kosong. Tak ada barang bersejarah yang tertinggal di sana. Namun, Babinsa Enol menjelaskan, setiap tanggal 25 Januari, akan ada upacara peringatan di area monumen ini. Saat itulah semua barang asli bangunan itu akan ditaruh ke tempatnya semula. Membuat ruangan ini dapat mengenang kisahnya lagi puluhan tahun silam.
ADVERTISEMENT
Warna lantai yang kecokelatan akibat bekas darah di ruang tamu dan ruang rapat masih terlihat jelas walau sempat dibersihkan secara menyeluruh oleh pihak tentara. Letusan senjata terjadi di ruang penyimpanan senjata ketika para taruna membersihkan senjata lucutan Jepang.

Pertempuran Lengkong

Tak banyak yang tahu ada sebuah peristiwa berdarah di tempat ini. Peristiwa yang kini kita kenal sebagai Pertempuran Lengkong. Dahulu, tepatnya Jumat, 25 Januari 1946, taruna Akademi Militer (Akmil) Tangerang bergerak melucuti persenjataan tentara Jepang. Dipimpin Mayor Daan Mogot, didampingi oleh Letnan Satu Soebijanto Djojohadikoesoemo dan Letnan Satu Soetopo, ketiga perwira itu mendatangi kantor markas persinggahan Jepang itu.
Mereka melakukan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang, Kapten Abe. Pelucutan senjata dilakukan untuk memperkuat persenjataan Tentara Republik Indonesia (TRI). Sebab pada waktu yang sama, terdengar kabar bahwa pasukan Belanda yang dibonceng sekutu akan datang merebut wilayah Tangerang.
ADVERTISEMENT
Di tengah perundingan tersebut, senjata yang dipegang salah satu taruna tidak sengaja melepaskan pelurunya, menimbulkan ledakan yang memekikkan telinga. Pasukan Jepang yang telanjur panik, spontan menembaki seluruh taruna, baik yang ada di dalam maupun luar kantor.
“Pada waktu itu, ada taruna di sini (dalam bangunan), ada yang di luar, lagi bersihin senjata semua. Waktu itu terdengar kabar sekutu sudah mendekat (ke Tangerang). Saat itu ada satu senjata yang meledak, Jepang berpikir pasukan sekutu sudah menyerang. Akhirnya, terjadilah penembakan itu,” kisah Babinsa Enol. Alhasil, tragedi ini menewaskan 34 taruna dan tiga perwira TRI, termasuk Mayor Daan Mogot.
Tulisan di Monumen Palagan Lengkong yang berisi kronologi singkat Pertempuran Lengkong, lirik lagu “Pahlawan Lengkong,”dan nama-nama pejuang yang gugur. Sumber: Dokumentasi Pribadi
"Detailnya, ada petani dan pasukan yang sedang latihan latihan Persatuan Baris Berbaris (PBB). Saat itu, semuanya sedang latihan. Saat dengar suara tembak-menembak, semua langsung tiarap. Beberapa ada yang kabur dengan rakit lewat Sungai Cisadane,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini diceritakan dalam berbagai versi. Dilansir dari Okezone.com, para taruna melibatkan beberapa turis asing dalam aksi pelucutan ini. Diceritakan bahwa senapan meledak di tangan turis yang memang bukan anggota kemiliteran.
Namun, Babinsa Enol menegaskan, tidak ada turis asing yang terlibat. “Bukan turis, penembakan dilakukan oleh taruna secara tidak sengaja.”
Berdasarkan salah satu video di platform Youtube dari kanal Indonesia Insider dengan judul “Rumah Lengkong: Saksi pertempuran Mayor Daan Mogot”, terdapat berbagai versi yang menceritakan wafatnya sang mayor. Ada yang berkata bahwa sebelum wafat, Mayor Daan Mogot melakukan perlawanan satu lawan satu dengan tentara Jepang sebelum akhirnya, tewas ditusuk pihak Jepang. Ada juga versi yang mengatakan sang mayor wafat karena dihujani tembakan pasukan Jepang.
ADVERTISEMENT
Namun, Babinsa Enol membenarkan semua versi. “Semua versi itu benar, bergantung dari mana informasi itu mereka dapatkan. Terkadang, orang-orang meliput sendiri tanpa sepengetahuan kami. Namun, kronologinya (seperti) yang saya sampaikan ini,” tegas Babinsa Enol.
Di balik bangunannya yang sederhana dan lawas, Monumen Palagan Lengkong menyimpan memori yang menyayat hati. Sayangnya, sejarah monumen ini jarang terjamah. Orang-orang terlalu terpaku pada hal-hal indah di depan mata ketimbang peristiwa iba di baliknya.
Setelah selesai mengelilingi bangunan itu dan mendengarkan cerita Babinsa Enol, dia mengingatkan kami untuk lebih sering mengapresiasi sejarah Indonesia, terlebih menyangkut perjuangan pendahulu bangsa. Dengan mendalami sejarah atau peristiwa di masa lalu, setidaknya ada nilai yang bisa dipetik untuk mengisi kehidupan yang bermakna.
ADVERTISEMENT
“Ingat kata Soekarno: ‘JASMERAH, jangan sekali-kali melupakan sejarah’!” ujar Babinsa Enol, menutup wawancara sembari mengepalkan tangan dengan penuh semangat.
Kami ikut mengepalkan tangan dan tertawa kecil melihat sikap jenaka Babinsa Enol yang kontras dengan perawakannya.
Pewawancara: Lintang Pramatyanti, Evelyn Andreawaty, Servina Viviene