Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Haru Biru Penerbitan Buku (Bagian I)
22 Mei 2024 10:25 WIB
·
waktu baca 7 menitDiperbarui 3 Oktober 2024 17:08 WIB
Tulisan dari Fadly Suhendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Baru saja masyarakat Indonesia memperingati pentingnya buku dan literasi. Perayaan Hari Buku Nasional (HBN) yang ditetapkan setiap 17 Mei menjadi refleksi untuk menghargai keberadaan buku sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi. Dengan kata lain, perayaan HBN sejatinya bertujuan untuk meningkatkan minat baca masyarakat serta menghargai peran buku dalam pembangunan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara historis, HBN kali pertama dicanangkan pada 17 Mei 2002, bersamaan dengan peringatan hari jadi Perpustakaan Nasional (Perpusnas) yang dibentuk pada 17 Mei 1980. Tidak saja itu, HBN juga diperingati sebagai hari jadi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), sebuah asosiasi profesi yang menghimpun para penerbit buku dari seluruh Indonesia, dibentuk pada 17 Mei 1950 di Jakarta.
Dengan demikian, peringatan HBN yang bersamaan dengan lahirnya Perpusnas dan Ikapi tersebut menyiratkan makna simbolis dan komitmen pada pembangunan budaya literasi, industri penerbitan, serta buku sebagai salah satu produk pengetahuan dan budaya yang akan mencerminkan peradaban bangsa Indonesia.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Marko Juvan (2012) dalam Cultural Circulation and the Book: Literature, Knowledge, Space, and Economy (An Introduction). Menurutnya, buku bukan hanya medium untuk menyampaikan informasi, melainkan juga sebuah objek budaya yang memiliki nilai simbolis dan historis; buku mencerminkan identitas, kekuasaan, dan nilai-nilai dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan ini, perayaan HBN tidak saja menjadi momentum untuk mengingatkan pentingnya literasi dalam masyarakat, namun juga menegaskan bahwa akses terhadap bahan bacaan dan produksi pengetahuan adalah fondasi utama dalam membangun sumber daya manusia (masyarakat) Indonesia yang unggul dan cerdas sebagaimana yang digaungkan pemerintahan Jokowi.
Dalam kaitan ini, peningkatan kemampuan literasi, disinyalir dapat membuka pintu menuju masa depan yang lebih cerah dan berbudaya. Melalui literasi, seseorang dapat mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia, merangsang imajinasi, serta memperluas wawasan dan pandangan hidup.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam menghadapi tantangan zaman yang terus berubah, peringatan HBN juga memunculkan pertanyaan tentang masa depan literasi membaca buku di Indonesia. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa akses terhadap buku dan pengetahuan tetap merata di seluruh pelosok negeri? Bagaimana kita dapat mendorong minat baca dan mengembangkan budaya literasi di tengah-tengah masyarakat yang semakin terdorong oleh teknologi digital?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kiranya perlu melihat bagaimana dunia penerbitan buku di Indonesia sebagai salah satu entitas yang memproduksi buku sebagai sumber literasi. Haru biru yang terjadi dalam penerbitan buku beberapa tahun ini, kiranya menjadi sesuatu yang patut menjadi perhatian dalam perayaan HBN tahun ini.
Penerbitan Buku yang Mengharu Biru
Haru biru penerbitan buku di Indonesia kali pertama terjadi di penghujung tahun 2021 hingga pertengahan 2023. Ketika itu banyak penerbit mengalami hambatan dalam menerbitkan buku akibat adanya krisis nomor ISBN yang dikelola oleh Perpustakaan Nasional.
ADVERTISEMENT
Terkait persoalan ini, cukup banyak yang telah mengulasnya, tiga di antaranya Arys Hilman Nugraha, Ketua Umum Ikapi melalui tulisannya yang berjudul “ISBN Bukan untuk Gengsi”, Bambang Trim selaku praktisi perbukuan yang mengurai perihal "ISBN dan Dumi Buku”, dan Anggun Gunawan seorang akademisi dari perguruan tinggi yang mengurai soal "ISBN, Penerbit Indie, dan Regulasi Kemendikbud". Pihak Perpusnas melalui Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan juga telah menguraikan berbagai persoalan ini dalam webinar sosialisasi layanan ISBN.
Dari berbagai ulasan tersebut, beberapa hal penyebab krisis ISBN dikemukakan, di antaranya karena banyak publikasi yang tidak relevan untuk diberi ISBN, seperti laporan kinerja lembaga negara, laporan program/kegiatan, makalah kebijakan, dan laporan penelitian. Selain itu, adanya regulasi yang mewajibkan untuk menulis dan menerbitkan buku bagi aparatur sipil negara (ASN) yang mengambil jalur karier sebagai pejabat fungsional, seperti guru, dosen, dan peneliti juga menjadi persoalan yang disinyalir turut berkontribusi.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kebijakan tersebut mengakibatkan buku diterbitkan hanya untuk kebutuhan memenuhi persyaratan administrasi. Lebih jauh, persyaratan sebuah buku agar dapat diakui hanya sebatas buku harus ber-ISBN dan diterbitkan oleh penerbit yang terdaftar sebagai anggota IKAPI. Dapat disinyalir, cikal bakal persyaratan tersebut dimaksudkan bahwa buku yang diterbitkan harus tersedia untuk publik karena itu ber-ISBN, kedua diterbitkan oleh penerbit yang kredibel. Dalam konteks penerbit yang kredibel, mungkin diharapkan penerbit yang terdaftar di IKAPI adalah penerbit yang menjalankan fungsinya sebagai “Gate Keeper”. Namun, dalam praktiknya tidak demikian. Dua peraturan yang cukup detail mengatur ini ada pada Pedoman Operasional Penilaian angka kredit kenaikan jabatan akademik/pangkat dosen yang dikeluarkan Dirjen Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Tahun 2019 dan Peraturan Kepala LIPI Nomor 20 tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti.
Penerbitan Buku yang Instan
ADVERTISEMENT
Singkatnya, kebijakan yang mewajibkan untuk menulis dan menerbitkan buku bagi ASN memicu munculnya berbagai layanan penerbitan buku yang instan untuk mereka yang harus memenuhi persyaratan kenaikan pangkat. Satu sisi hal ini berdampak positif bagi perekonomian, tumbuhnya bisnis penerbitan dengan menawarkan layanan penerbitan berbayar yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Sisi lain, persoalan ini menjadi bias karena peran penerbit yang selayaknya melakukan peran “Gate Keeper”, justru hanya jualan “stempel” ISBN dan Anggota IKAPI sebagaimana persyaratan yang diperlukan. Hal inilah yang disinyalir turut berkontribusi dalam kekacauan penggunaan ISBN di Indonesia. Karena buku-buku yang diterbitkan dengan jumlah terbatas, tidak tersedia untuk publik, padahal nomor ISBN yang dikeluarkan Perpusnas terbilang fantastis sebagaimana yang diuraikan Ketua Ikapi dalam tulisannya yang berjudul “ISBN Bukan untuk Gengsi”. Bahkan International ISBN Agency yang berpusat di London memberikan peringatan tentang ketidakwajaran pengajuan ISBN di Indonesia tersebut.
ADVERTISEMENT
Layanan penerbitan buku instan ini dengan mudah ditemukan di berbagai media sosial dan grup-grup WhatsApp (WAG), merambah ke berbagai komunitas dan instansi. Penerbitan buku dengan jumlah cetakan terbatas, antara 1‒5 eksemplar, menawarkan kecepatan dan biaya murah sebagai daya tariknya, mulai dari Rp300 ribu‒1 juta per judul. Bahkan dalam promosinya menggaransi atau memberikan jaminan buku pasti terbit. Layanan seperti ini pun dapat dengan mudah kita temukan di mesin pencari dengan hanya mengetik kata pencarian “layanan penerbitan buku”.
Praktik penerbitan seperti itu tentu menciderai cita-cita pembentukan Ikapi yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan peran literasi dalam kehidupan publik dan mengembangkan industri penerbitan buku. Upaya penerbit untuk berkontribusi aktif dalam pendidikan dan peningkatan peradaban bangsa sebagaimana yang dinyatakan Ikapi pada websitenya jelas tidaklah sejalan. Tampaknya Ikapi perlu lebih giat melakukan fungsinya, yaitu sebagai sarana dan pusat komunikasi, informasi, konsultasi, advokasi dan pelatihan untuk industri penerbitan buku di Indonesia.
Upaya Perbaikan
ADVERTISEMENT
Penyebab melonjaknya penggunaan ISBN, memang telah disikapi oleh Perpusnas melalui Peraturan Perpustakaan Nasional RI Nomor 5 Tahun 2022 tentang Layanan Angka Standar Buku Internasional (ISBN). Peraturan tersebut juga telah diturunkan dalam bentuk petunjuk teknis layanan ISBN yang juga diterbitkan pada tahun 2022. Selain mengatur mengenai buku yang layak dan tidak untuk mendapatkan ISBN, peraturan tersebut juga mengatur mengenai persyaratan yang harus dipatuhi oleh penerbit, seperti 1) buku diterbitkan secara umum dan luas; 2) buku tidak terbit secara berkala; 3) buku terdapat di pasaran, baik offline (toko buku) atau online (marketplaces); 4) penerbit memiliki titik akses ketersediaan buku; dan 5) karya cetak dan/atau karya rekam diterbitkan paling lambat tiga bulan setelah memperoleh ISBN.
ADVERTISEMENT
Empat dan lima persyaratan tersebut sejalan dengan yang pernah disampaikan Frankel et al. (2000) dalam artikelnya yang berjudul “Defining and Certifying Electronic Publication”. Menurutnya, siapa pun yang bertanggung jawab untuk menyediakan publikasi di era digital harus memiliki komitmen dalam menyediakan sarana yang gigih terkait alamat web untuk menemukan dokumen elektronik tersebut. Lebih jauh ditegaskannya, mempublikasikan karya di era digital berarti bahwa pengguna harus dapat menemukannya, versi apa pun yang mereka cari. Demikian juga dengan Waters (2016) dalam artikelnya yang berjudul “Monograph Publishing in the Digital Age” mengatakan bahwa karya dari fakultas, universitas, atau perguruan tinggi, dan penerbit akan berharga jika diciptakan agar pembaca menemukan dan membaca karya-karya pengetahuan yang dihasilkan.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, situs web di era digital sudah selayaknya menjadi etalase penerbit yang harus dikelola secara profesional dan berkelanjutan. Pasalnya, menyebarluasakan publikasi dalam lanskap digital adalah pentingnya meningkatkan 'kemampuan pencarian' untuk dapat ditemukan. Dengan demikian, persyaratan pengajuan ISBN dari Perpusnas dapat mendorong penerbit untuk memastikan bahwa situs web yang menampilkan produk buku dioptimalkan untuk mesin pencari, yaitu dengan menambahkan metadata ke deskripsi buku dalam memudahkan kemampuan untuk ditemukan melalui mesin pencarian (retrievability).