Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Langkah Strategis BRIN Lindungi Pemanfaatan Kekayaan Alam dan Budaya Indonesia
19 Agustus 2024 12:02 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Fadly Suhendra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Lokal: Kekayaan Indonesia yang Harus Dikelola
Sebagai salah satu dari sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi, Indonesia rentan terhadap praktik pembajakan hayati (biopiracy) atau pengalihan material secara ilegal (Megawanto, 2020; Siregar, 2021). Pengalihan material merujuk pada perpindahan atau transfer suatu material dari satu pihak ke pihak lain, baik itu fisik maupun digital. Material yang dimaksud berupa sampel tumbuhan, hewan, mikroorganisme, data genetik, atau bentuk lainnya yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati, spesimen lokal, kekayaan sosial, budaya, dan kearifan lokal Indonesia.
ADVERTISEMENT
Dalam kaitan ini, Rony Megawanto, Direktur Program Yayasan KEHATI dalam tulisannya yang berjudul “Virus Corona dan Sumber Daya Genetik Indonesia” (Tempo, 2020) mengungkapkan bahwa upaya menemukan obat antivirus berbasis keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik menjadi perhatian penting para peneliti dari negara maju. Menurutnya, negara-negara berkembang dengan tingkat keanekaragaman hayati tinggi, umumnya menjadi sasaran utama dalam pencarian sumber obat-obatan tersebut.
Persoalan ini diamini oleh Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Mahendra Siregar, Wakil Menteri Luar Negeri. Dalam sebuah diskusi tentang perlindungan sumber daya genetik yang diselenggarakan oleh KLHK pada Selasa (23/3/2021), keduanya menegaskan bahwa sumber daya genetik memiliki keterkaitan langsung dengan geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.
Ketidakmampuan Indonesia dalam mengelola keanekaragaman hayati akan menjadi tantangan besar, karena banyak pihak asing berusaha memanfaatkan sumber daya genetik Indonesia. "Pentingnya melindungi potensi sumber daya genetik Indonesia dan mencegah pengalihan ke pihak asing tanpa izin pemerintah, karena hal ini sering kali berujung pada pengajuan paten oleh lembaga asing untuk tujuan komersial, yang merugikan negara dan masyarakat," tekan Siti Nurbaya.
ADVERTISEMENT
Sejalan dengan itu, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) terkait RUU Perubahan Kedua UU Paten pada 3 Juli 2024, Pansus DPR RI menegaskan pentingnya pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan sumber daya genetik serta pengetahuan lokal yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pemerintah diharapkan mengambil langkah preventif dan represif untuk mencegah pencurian dan pemanfaatan ilegal yang merugikan negara. Pansus Paten DPR juga mendorong penggunaan teknologi dan riset untuk mengembangkan sumber daya ini menjadi invensi yang bermanfaat bagi masyarakat dan dapat dipatenkan sehingga mendatangkan manfaat bagi penemu dan negara.
BRIN Mengatur Pengalihan Material untuk Melindungi Sumber Daya Genetik
Sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan koordinasi riset dan inovasi serta memperkuat langkah-langkah preventif dan represif yang telah disampaikan berbagai pihak terkait perlindungan sumber daya genetik Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengambil langkah strategis dengan menerbitkan Surat Keputusan Kepala BRIN Nomor 171/I/HK/2024 tentang Pedoman Pengalihan Material dalam kepentingan riset dan inovasi nasional.
Dalam sosialisasi keputusan tersebut, yang berlangsung Senin (12/8), Tri Sundari, selaku Direktur Tata Kelola Perizinan Riset dan Inovasi BRIN, menekankan pentingnya pedoman ini untuk melindungi material riset agar tidak disalahgunakan. “Pedoman ini maksudkan untuk memastikan bahwa setiap riset yang dilakukan tidak membawa kerugian bagi masyarakat atau lingkungan. Selain itu, pedoman ini juga ditujukan untuk meningkatkan pengawasan dan evaluasi terhadap penggunaan keanekaragaman hayati, spesimen lokal, serta kekayaan sosial dan budaya Indonesia,” tekannya.
ADVERTISEMENT
Tri juga menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati yang kaya (mega biodiversity), telah melakukan berbagai upaya perlindungan dalam memanfaatkan kekayaan hayati dan pengetahuan tradisional yang dimiliki, termasuk meratifikasi berbagai konvensi internasional seperti Convention on Biological Diversity (CBD) dan Protokol Nagoya. “Di dalam Keputusan Kepala BRIN ini pengaturan terkait pengalihan material merujuk pada Undang-Undang 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) untuk menjadi pedoman di lingkungan BRIN dalam melaksanakan pengalihan material dari kegiatan riset,” tutur tri.
Lebih lanjut, Tri Sundari menguraikan lima jenis material yang diatur dalam pedoman ini, yaitu keanekaragaman hayati, spesimen lokal Indonesia, kekayaan sosial, budaya, dan kearifan lokal. Material-material ini kemudian dibedakan menjadi dua bentuk: fisik dan digital. Material digital mencakup peta, teks, gambar, foto, rekaman audio, audiovisual, dan video.
ADVERTISEMENT
Ditegaskan Tri, pengalihan material hanya diperbolehkan jika uji materialnya tidak dapat dilakukan di Indonesia, misalnya karena keterbatasan alat atau sumber daya manusia.
Salah satu prinsip utama yang dipegang dalam pedoman ini adalah kewajiban untuk menyerahkan dan menyimpan material terlebih dahulu sebelum dialihkan, baik dalam bentuk fisik maupun digital. "Kami ingin memastikan bahwa kegiatan riset yang dilakukan tidak menimbulkan kerugian, serta mendorong pemanfaatan material secara optimal untuk meningkatkan daya saing bangsa melalui kemajuan ilmu pengetahuan, pertumbuhan ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat," tambah Sundari.
Eksplorasi dan Tantangan Bioprospeksi di Indonesia
Terjadinya praktik pembajakan hayati (biopiracy) di beberapa negara, termasuk Indonesia kiranya menjadi gambaran akan urgensi dari pedoman pengalihan material yang diterbitkan BRIN. Salah satu contoh kasus biopiracy yang cukup terkenal terjadi pada 1995, ketika ilmuwan Amerika memperoleh hak paten atas penggunaan kunyit untuk pengobatan luka. Masyarakat India yang telah menggunakan kunyit sebagai salep luka selama ribuan tahun, mengajukan keberatan. Akhirnya, hak paten tersebut dibatalkan pada 1997.
Di Indonesia, kasus serupa terjadi pada 1999, ketika sebuah perusahaan kosmetik asal Jepang dituntut untuk membatalkan paten atas pemanfaatan tumbuhan obat dan rempah-rempah asal Indonesia untuk produk-produk anti penuaan (anti-aging). Perusahaan tersebut mengajukan 51 permohonan paten di beberapa negara, termasuk Jepang, Inggris, Jerman, Perancis, dan Italia. Setelah adanya tuntutan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia, perusahaan tersebut akhirnya membatalkan permohonan registrasi patennya.
ADVERTISEMENT
Bioprospeksi (bioprospecting) yang berasal dari kata biodiversitas dan prospeksi, merupakan upaya untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi (added value) yang dilakukan melalui kegiatan eksplorasi, ekstraksi, dan penapisan sumber daya alam hayati, baik dari sumber daya genetik, spesies dan atau biokimia beserta turunannya (KLHK, 2023). Fenomena bioprospeksi telah berkembang sejak 1980-an, didorong karena adanya investasi besar dari perusahaan farmasi di negara maju untuk mencari sumber daya obat-obatan (Megawanto, 2020).
Bioprospeksi melalui eksplorasi sumber daya obat-obatan yang berasal dari keanekaragaman genetik, sering kali dibarengi dengan penggalian pengetahuan lokal untuk mengetahui senyawa aktif yang telah dimanfaatkan secara tradisional dan terbukti hingga lintas generasi. Penelitian yang berbasis pengetahuan lokal memiliki peluang lebih besar dalam menemukan senyawa aktif dibandingkan penelitian yang dilakukan secara acak. Selain itu, penelitian yang dilakukan tanpa panduan dari pengetahuan lokal cenderung membutuhkan waktu dan biaya yang besar (Megawanto, 2020).
ADVERTISEMENT
Namun, praktik bioprospeksi cenderung terkait dengan pembajakan hayati (biopiracy), yaitu perampasan sumber daya genetik dan pengetahuan lokal oleh individu/lembaga untuk memperoleh kontrol eksklusif melalui hak paten. Istilah biopiracy diperkenalkan oleh Pat Roy Mooney pada 1993, terjadi ketika pengetahuan yang ditemukan dan dipelihara selama ribuan tahun oleh masyarakat lokal diabaikan saat bioprospeksi memasuki fase komersialisasi. Dengan kata lain, penemu asli pengetahuan tersebut adalah masyarakat lokal, namun mereka sering tidak diakui.
Kesimpulan: Dampak dan Implikasi Keputusan
Dengan adanya pedoman ini, diharapkan dapat tercipta ekosistem riset yang lebih baik di Indonesia. Pasalnya, Keputusan Kepala BRIN Nomor 171/I/HK/2024 ini memiliki dampak yang luas terhadap berbagai aspek riset dan inovasi di Indonesia.
Pertama, keputusan ini memberikan kerangka kerja yang jelas dan terintegrasi bagi semua entitas riset dalam melaksanakan pengalihan material. Hal ini membantu mencegah konflik dan ketidakjelasan hukum yang dapat menghambat perkembangan riset dan inovasi.
ADVERTISEMENT
Kedua, dengan adanya pedoman ini, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam komunitas internasional sebagai negara yang berkomitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati dan sumber daya genetiknya. Hal ini penting untuk menjaga reputasi internasional Indonesia dan menarik investasi serta kolaborasi riset dari berbagai negara.
Ketiga, keputusan ini juga mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pengetahuan tradisional. Dengan demikian, semua pihak yang terlibat dalam aktivitas riset dan inovasi dapat memahami dan mematuhi aturan yang berlaku, sehingga mengurangi risiko penyalahgunaan dan eksploitasi.
Akhirnya, pedoman pengalihan material yang ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala BRIN ini diharapkan dapat menjawab tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memperkuat regulasi pengelolaan dan perlindungan keanekaragaman hayati serta sumber daya genetik dari potensi eksploitasi dan pembajakan hayati. Semoga.
ADVERTISEMENT