Seorang Ayah Bisa Mendapatkan Hak Asuh Anak

Lisa Noviana
Penyuluh Hukum Ahli Muda Kemenkumham
Konten dari Pengguna
31 Juli 2021 7:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lisa Noviana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar oleh https://pixabay.com/id/users/openclipart-vectors-30363/?utm_source=link-
zoom-in-whitePerbesar
Gambar oleh https://pixabay.com/id/users/openclipart-vectors-30363/?utm_source=link-
ADVERTISEMENT
Munculnya prahara dalam biduk rumah tangga bukan perkara luar biasa karena setiap pasangan suami istri pasti pernah mengalaminya. Ada yang menjadikan prahara sebagai proses untuk semakin mempererat ikatan lahir dan batin antara suami dan isteri, ada pula prahara yang menyebabkan pertengkaran terus menerus hingga tidak bisa didamaikan lagi dan berujung pada perceraian. Tak jarang, peristiwa perceraian akan diikuti peristiwa lainnya, semisal hak asuh anak.
ADVERTISEMENT
Seperti salah satu klien saya, dia berkonsultasi ingin bercerai dengan istrinya disebabkan suatu hal, namun ragu mengajukan talak karena khawatir hak asuh anaknya yang berusia 6 tahun jatuh ke tangan istrinya. Kemudian, saya gali lebih jauh kronologis beserta alasan-alasan munculnya keinginan bercerai untuk mengetahui apakah hak asuh anaknya bisa dimenangkan olehnya atau tidak.
Perceraian bisa terjadi pada siapapun dan kapanpun. Fenomena perceraian saat ini sudah dianggap hal wajar. Alasannya, bisa karena pertengkaran terus menerus, perselingkuhan, perzinaan, kekerasan dalam rumah tangga, tidak dinafkahi, dan lainnya. Bagi pemeluk agama Islam, gugatan cerai diajukan oleh isteri sedangkan permohonan talak oleh suami ke Pengadilan Agama tempat perkawinan dilangsungkan atau ke Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Sementara, bagi pemeluk agama selain Islam, suami dan isteri mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri pada domisili Tergugat atau Pengadilan Negeri pada Domisili Penggugat apabila Tergugat tidak memiliki tempat tinggal, tidak diketahui keberadaannya, atau berada di luar negeri.
ADVERTISEMENT
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Jawa Tengah memiliki jumlah perceraian tertinggi pada 2020, yaitu sebanyak 65.755 perceraian. Peringkat kedua diduduki Jawa Timur, yaitu sebanyak 61.870 perceraian. Kemudian peringkat ketiga Jawa Barat sebanyak 37.503 perceraian.

Hak Asuh Anak Dimiliki Ayah

Gambar oleh https://pixabay.com/id/users/mohamed_hassan-5229782/?utm_source=link-
Putusnya hubungan suami isteri melalui perceraian tidak serta merta menghilangkan tanggung jawab kedua orang tua kepada anaknya. Orang tua tetap harus mengasuh, mendidik, memelihara, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak dengan baik.
Mengenai hak asuh anak, kriteria maupun pihak yang berhak memegang hak asuh anak pasca perceraian tidak dijabarkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Perkawinan. Namun, Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengatur bahwa dalam hal terjadinya perceraian pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
ADVERTISEMENT
Meskipun anak berusia di bawah 12 hak asuhnya jatuh kepada ibu, tetapi ayahnya tetap diberikan kesempatan untuk bertemu anaknya dan wajib menafkahi sebagaimana isi putusan hakim dalam sidang perceraian.
Lalu, apakah hak asuh anak mutlak jatuh kepada ibunya?. Tidak. Hak asuh anak bisa saja dimiliki ayahnya. Contoh, dalam perceraian Krisdayanti dan Anang Hermansyah tahun 2009 hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepada Anang Hermansyah. Dalam perceraian Marshanda dan Ben Kasyafani tahun 2014 hak asuh anak diberikan kepada Ben Kasyafani. Meskipun secara hukum hak asuh anak diberikan kepada ayahnya, namun kedua pasangan tersebut tetap bertanggungjawab membesarkan anaknya bersama-sama.
Kedua contoh di atas, memberikan gambaran bahwa hakim dapat mengesampingkan Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sepanjang alasan-alasan yang diajukan di pengadilan bisa dibuktikan secara rasional dan objektif. Misalnya, apabila ibu dari anak tersebut dikatakan dalam keadaan tidak normal (punya penyakit kejiwaan) harus dibuktikan dengan diagnosa dokter, apabila ibu dari anak tersebut dikatakan sering mabuk-mabukan dan keluar malam harus ada saksi, apabila ibu dari anak tersebut dikatakan positif memakai narkoba maka harus dibuktikan dengan pembuktian tertulis juga dari dokter, apabila ibu dari anak tersebut dikatakan mengidap penyakit yang membahayakan apabila anak diasuhnya harus dibuktikan dengan diagnosa dokter, serta apabila ibu dari anak tersebut dikatakan meninggalkan anak dengan jangka waktu yang lama harus dihadirkan saksi untuk membuktikannya. Kalau bukti yang dihadirkan lemah, maka hak asuh anak bisa tetap berada pada ibunya sebagaimana Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
ADVERTISEMENT
Jangan salah. pihak yang telah mendapatkan hak asuh anak dari pengadilan, baik ibunya ataupun ayahnya, bisa dicabut kembali putusannya oleh pengadilan kalau tidak bertanggungjawab dan lalai melaksanakan kewajibannya serta berkelakuan buruk. Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan, meskipun hak asuhnya telah dicabut, orang tua tetap memiliki kewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.
(Lisa Noviana, Penyuluh Hukum Ahli Muda).