Konten dari Pengguna
Gaji Resmi Tak Cukup: Saat Etika Profesi Tumbang oleh Gaya Hidup Mewah
5 Juli 2025 18:21 WIB
·
waktu baca 4 menitKiriman Pengguna
Gaji Resmi Tak Cukup: Saat Etika Profesi Tumbang oleh Gaya Hidup Mewah
Setiap profesi memiliki kode etik yang tak cuma jadi syarat administratif tapi juga kompas moral yang harus ditaati. #userstorylisna Renika K Nababan

Tulisan dari lisna Renika K Nababan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Hari ini, kita hidup di tengah arus zaman yang bergerak cepat dan penuh godaan visual. Media sosial, iklan, dan kehidupan serba instan memaksa banyak orang merasa harus “tampil berhasil” — bukan dengan prestasi atau dedikasi, tapi dengan barang bermerek, kendaraan mahal, atau liburan eksklusif. Celakanya, tekanan semu ini ikut menyeret para profesional yang seharusnya menjadi teladan moral dan sosial.
ADVERTISEMENT
Tak sedikit orang yang menjabat posisi strategis dalam profesinya — mulai dari aparatur sipil negara, pejabat publik, penegak hukum, jaksa, hingga pegawai lembaga keuangan negara — justru tergoda untuk menyimpang dari jalur etika. Gaji resmi mereka, meski cukup untuk hidup layak, dianggap belum mampu memenuhi ambisi gaya hidup yang ditampilkan oleh lingkungan sekitar. Maka celah pun dibuka: lewat korupsi, gratifikasi, penyalahgunaan wewenang, hingga jual beli pengaruh.
Ketika Profesi Menjadi Alat Kepuasan Diri
Salah satu contoh nyata bisa kita lihat pada seorang pejabat di instansi perpajakan. Secara jabatan, ia memiliki tanggung jawab besar dalam mengawasi penerimaan negara dari sektor pajak. Tapi di balik itu, ia justru menumpuk kekayaan lewat penyalahgunaan kekuasaan. Saat gaya hidup mewah keluarganya tersebar di media sosial—dari mobil rubicon hingga motor gede—barulah terungkap betapa timpangnya antara gaya hidup dan penghasilan resmi yang diterima. Dalam sistem profesinya, ia telah melanggar kode etik yang menuntut integritas, hidup sederhana, dan transparansi kekayaan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain datang dari seorang jaksa wanita yang aktif tampil di ruang publik. Penampilannya selalu elegan, tampil glamor dengan barang-barang mewah yang menjadi pusat perhatian. Namun, siapa sangka di balik itu, ia terlibat dalam skema suap dan bantuan hukum kepada buronan yang sedang diproses negara. Ia melanggar kode etik jaksa, yang mewajibkan menjunjung tinggi integritas, tidak menerima suap, dan menjaga netralitas hukum.
Dalam dunia kepolisian, terdapat kasus seorang perwira menengah yang seharusnya memberantas narkoba, tapi justru terlibat dalam peredaran barang haram tersebut. Alasannya? Uang yang diperoleh bisa melipatgandakan kemewahan hidup yang tak bisa ditanggung gaji bulanan. Ia melanggar prinsip kode etik penegak hukum, yang mengharuskan menjauhi konflik kepentingan, menjaga martabat, dan bersikap profesional tanpa cela.
ADVERTISEMENT
Di lembaga eksekutif, seorang menteri yang memiliki kewenangan besar atas anggaran negara ternyata menggunakan dana dari anak buahnya untuk membiayai keperluan pribadi dan keluarganya, mulai dari belanja pribadi hingga pembelian barang-barang mewah. Padahal, kode etik pejabat negara mengatur soal transparansi penggunaan anggaran, akuntabilitas jabatan, dan hidup sesuai dengan nilai-nilai kesederhanaan.
Kode Etik: Pilar yang Diremehkan
Setiap profesi memiliki kode etik — bukan sekadar aturan administratif, melainkan kompas moral yang membimbing perilaku profesional dalam situasi apa pun. Tapi faktanya, kode etik seringkali dianggap sebagai “hiasan” yang hanya dibaca saat pelantikan, lalu dilupakan di hari kerja.
Contoh pelanggaran yang umum terjadi di berbagai profesi antara lain:
ADVERTISEMENT
Gaya Hidup: Tekanan Tak Tertulis
Masalah sebenarnya bukan sekadar “kurangnya gaji”, tapi ketidakmampuan menahan dorongan untuk hidup melebihi kemampuan. Dalam budaya pamer seperti sekarang, orang seringkali merasa gagal jika tidak bisa tampil seperti orang-orang di media sosial. Tanpa sadar, banyak profesional mulai membandingkan diri: jika rekan sejawat bisa membeli mobil Eropa, kenapa saya tidak? Jika orang lain bisa liburan ke Swiss, kenapa saya hanya cukup ke Yogyakarta?
Tekanan semacam ini, jika tidak diiringi kesadaran etika dan kedewasaan mental, bisa mendorong orang untuk melakukan pelanggaran. Karena ketika gengsi lebih tinggi daripada gaji, maka kejujuran mulai tergadai.
Mengembalikan Martabat Profesi
Kita membutuhkan perubahan cara pandang: bahwa keberhasilan dalam profesi bukan tentang seberapa mewah gaya hidup, tapi seberapa jujur dan amanah seseorang menjalankan perannya. Menjadi guru yang jujur, petugas pajak yang bersih, polisi yang adil, atau pejabat yang sederhana jauh lebih terhormat daripada tampil berkilau tapi mengorbankan integritas.
ADVERTISEMENT
Institusi juga perlu lebih tegas dalam menegakkan etika, bukan hanya setelah skandal mencuat. Penilaian etika harus berjalan sepanjang waktu, bukan hanya pada saat ujian atau pelatihan. Dan yang paling penting: kita semua—sebagai masyarakat—perlu berhenti mengukur sukses dari kemewahan.
Gaji resmi memang punya batas. Tapi keserakahan tidak pernah punya batas, kecuali dibatasi oleh hati nurani dan rasa malu. Etika profesi tidak akan berarti apa-apa kalau tidak dijaga oleh komitmen pribadi untuk hidup jujur.
Kita tidak butuh lebih banyak profesional kaya, kita butuh lebih banyak profesional yang berani hidup sesuai nilai. Karena yang membanggakan bukanlah tas mahal yang dibeli dari uang haram, tapi keberanian untuk mengatakan, “Ini cukup, karena ini halal.”