Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
Konten dari Pengguna
Luka di Balik Viral: Krisis Mental Health Gen Z, Stop Cyberbullying
16 Maret 2025 11:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari lisna Renika K Nababan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Lisna Renika Nababan

11,9 juta remaja Indonesia yang mengalami masalah mental yang dipengaruhi oleh beberapa faktor (Beritasatu.com), salah satunya adalah Cyberbullying. Cyberbullying atau perundungan daring adalah tindakan pelecehan, penghinaan, atau ancaman yang dilakukan di dunia maya. Bentuknya beragam, seperti komentar negatif, pesan instan, penyebaran rumor yang tidak benar (hoaks), pelecehan verbal, hingga doxing (menyebarkan informasi pribadi tanpa izin). Menurut laporan UNICEF, sekitar 50% remaja di Indonesia pernah mengalami cyberbullying. Gen Z harus sadar akan dampak dari komentar negatif atau penghinaan yang mereka sampaikan di dunia maya, yang banyak mengomentari postingan seseorang dimedia sosial dengan sesuka hati, dan sampai menyerang bagian fisik seseorang, sikap itu banyak mengakibatkan kesehatan mental seseorang terganggu karena dampak dari hal yang dilakukan tersebut sangat tidak beretika dan tidak berdampak positif bagi kesehatan mental seseorang.
ADVERTISEMENT
Bagi banyak remaja, media sosial menjadi sarana untuk mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan teman sebaya. Namun, di sisi lain, adanya standar kecantikan atau kehidupan yang tampaknya sempurna di media sosial sering kali menciptakan tekanan psikologis yang berat. Gen Z, yang sering kali lebih rentan terhadap perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, dapat terjebak dalam perbandingan sosial yang tidak sehat.
Cyberbullying, yang terjadi secara anonim di dunia maya, bisa jauh lebih merusak karena korban tidak bisa langsung menghadapinya atau membela diri secara langsung. Dalam banyak kasus, perundungan daring ini meninggalkan luka emosional yang dalam dan berdampak pada kesehatan mental jangka panjang. Penderitaan yang ditimbulkan bisa sangat nyata, dengan korban merasa terisolasi, cemas, dan bahkan mengalami depresi berat. Ini menunjukkan bahwa media sosial, meski dapat menyatukan banyak orang, juga bisa menciptakan ruang yang penuh dengan ketegangan emosional dan rasa takut.
ADVERTISEMENT
Dibalik layar, banyak remaja yang mengalami tekanan mental akibat komentar jahat, hinaan, hingga ancaman yang mereka terima secara online.
- Rasa Tidak Berharga dan Rendah Diri
Ketika seseorang terus-menerus dihina atau diolok-olok di media sosial, mereka mulai merasa dirinya tidak cukup baik. Kata-kata tajam yang diterima setiap hari bisa membuat seseorang kehilangan rasa percaya diri dan bahkan mulai membenci dirinya sendiri.
- Depresi dan Kecemasan Berlebihan
Cyberbullying sering kali membuat korban merasa sendirian dan terjebak dalam pikiran negatif. Mereka mulai takut untuk membuka media sosial, merasa cemas setiap kali ada notifikasi, dan bahkan mengalami stres berkepanjangan yang bisa berkembang menjadi depresi.
- Isolasi Sosial
ADVERTISEMENT
Banyak korban cyberbullying akhirnya memilih untuk menjauh dari lingkungan sosial, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Mereka takut untuk berinteraksi dengan orang lain karena khawatir akan dihina atau diejek kembali. Akibatnya, mereka merasa kesepian dan kehilangan support system yang sebenarnya bisa membantu mereka.
- FOMO (Fear of Missing Out)
Perasaan cemas karena takut ketinggalan tren atau acara yang dilihat di media sosial, dikenal sebagai FOMO, juga umum dialami Generasi Z. Ini dapat memicu stres dan perasaan tidak puas terhadap kehidupan sendiri.
- Gangguan Tidur dan Konsentrasi
Tekanan mental akibat cyberbullying sering membuat seseorang sulit tidur. Pikiran yang terus-menerus dipenuhi kecemasan membuat mereka sulit beristirahat dengan tenang. Hal ini juga berdampak pada konsentrasi di sekolah atau pekerjaan, karena mereka terus terbebani dengan ketakutan dan kekhawatiran.
ADVERTISEMENT
- Pemikiran untuk Mengakhiri Hidup
Dalam kasus yang lebih ekstrem, korban cyberbullying bisa mengalami keputusasaan hingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Mereka merasa tidak ada jalan keluar, tidak ada yang peduli, dan satu-satunya cara untuk menghentikan rasa sakit adalah dengan menghilang. Kasus-kasus bunuh diri akibat cyberbullying telah terjadi di berbagai belahan dunia dan menjadi bukti nyata bahwa ini bukan sekadar masalah sepele.
Penting untuk memahami bahwa bukan hanya para korban yang harus diperhatikan, tetapi juga perlunya kesadaran lebih tentang dampak penggunaan media sosial terhadap kesehatan mental. Kita perlu mendukung upaya untuk mengedukasi pengguna media sosial, khususnya anak muda, tentang pentingnya berbicara secara positif dan menjaga etika berkomunikasi di dunia maya. Menghentikan cyberbullying adalah langkah awal yang sangat penting. Selain itu, penting untuk mendorong platform media sosial untuk lebih aktif dalam mengawasi dan menanggapi laporan perundungan secara cepat dan tegas.
ADVERTISEMENT
Pemerintah, sekolah, dan keluarga juga harus berperan dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental. Menurut laporan dari World Health Organization (WHO), pendekatan yang holistik, termasuk dukungan sosial, pendidikan tentang kesehatan mental, dan kebijakan anti-perundungan, sangat penting dalam mengurangi dampak negatif dari media sosial terhadap remaja.
Kesimpulannya untuk mengatasi dampak negatif ini, literasi digital menjadi kunci. Pengguna media sosial perlu dibekali dengan kemampuan untuk menggunakan teknologi informasi dan komunikasi secara bijak, memahami etika digital, dan menjaga keamanan diri di dunia maya. Menghentikan cyberbullying bukan hanya tentang melindungi individu, tetapi juga tentang menciptakan ruang yang lebih sehat dan aman di dunia maya bagi generasi mendatang. Dengan edukasi yang lebih baik, kesadaran yang lebih tinggi, dan tindakan yang lebih tegas, kita dapat mengurangi luka-luka yang ditinggalkan oleh media sosial dalam kehidupan anak muda.
ADVERTISEMENT
Penulis Mahasiswa Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Santo Thomas