Kenaikan Harga Gandum sebagai Butterfly Effect dari Invasi Rusia ke Ukraina

Ni Putu Listiawati
Undergraduate International Relations Student, Udayana University
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2022 22:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Putu Listiawati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Awal Mula Invasi Rusia ke Ukraina
Hingga kini, isu perang antara Rusia dan Ukraina masih menjadi topik pembahasan yang hangat. Gencatan senjata antara dua negara tersebut masih terjadi hingga kini. Namun sebetulnya, ketegangan antara Rusia dengan Ukraina bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 2013, munculnya kesepakatan politik serta perdagangan dengan Uni Eropa telah memantik ketegangan dua negara tersebut. Hal ini kemudian berlanjut pada tahun 2014 ketika terjadi kekosongan kekuasaan yang dimanfaatkan oleh Rusia untuk mengambil salah satu wilayah di Ukraina yakni Krimea.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada tahun 2021 lalu, tepatnya di bulan November penambahan pasukan Rusia di perbatasan Ukraina terdeteksi kembali. Hal ini kemudian berlanjut dengan ancaman sanksi ekonomi dari Amerika Serikat untuk Rusia yang dibalas oleh Rusia dengan tuntutan keamanan kepada Barat agar NATO menghentikan aktivitasnya di wilayah Ukraina.
Ketegangan antara Rusia dengan Ukraina kembali muncul pada Februari tahun 2022 lalu ketika Rusia secara resmi mengumumkan operasi militernya di Ukraina. Klaim yang dimiliki oleh Rusia atas serangannya ini adalah untuk mengamankan wilayah Ukraina Timur serta tuduhan aksi genosida yang terjadi di Ukraina. Namun Ukraina sendiri membantah adanya isu genosida tersebut. Serangan dari Rusia kemudian melebar tidak hanya di wilayah timur saja namun meluas ke wilayah lainnya seperti Kharkiv, Mariupol, dan Kyiv.
ADVERTISEMENT
Hingga kini, ketegangan antara Rusia dengan Ukraina masih berlangsung, dampak yang ditimbulkan tidak hanya bagi dua negara yang bersangkutan, tetapi juga dunia internasional. Dampak yang ditimbulkan tersebut meliputi banyak bidang. Salah satunya yakni di bidang ekonomi.
Butterfly Effect yang Ditimbulkan
Butterfly Effect atau ‘efek kupu-kupu’ merupakan suatu teori yang dikemukakan oleh Edward Norton Lorenz pada tahun 1960. Teori ini menjelaskan tentang perubahan yang terjadi di suatu tempat yang kemudian juga berpengaruh ke tempat lain. Melansir dari Scholarpedia, pada awalnya butterfly effect hanya digunakan untuk memprediksi cuaca. Namun seiring dengan perkembangannya kini teori tersebut telah digunakan untuk menyoroti konteks yang lebih beragam.
ADVERTISEMENT
Ada banyak isu atau permasalahan yang kini dapat dikaji menggunakan teori butterfly effect, contohnya seperti ekonomi, politik, bisnis, dan lain-lain.
Secara sederhana, contoh dari Butterfly Effect ini dapat kita analogikan seperti hubungan antar dua daerah. Misalnya saja daerah A dan daerah B. Daerah A merupakan pemasok kapas dan daerah B merupakan daerah tempat produsen benang dan kain yang memasok kapas dari daerah A. Suatu ketika, di daerah A terjadi cuaca buruk yang menyebabkan banyak petani kapas di daerah tersebut mengalami gagal panen. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya kelangkaan kapas di daerah tersebut dan harga kapas pun melambung tinggi. Lalu, karena daerah B memasok sebagian besar kapas dari daerah A, maka daerah B pun tidak dapat memproduksi banyak benang dan kain. Sehingga dapat diartikan bahwa kelangkaan kapas di daerah A berdampak terhadap kelangkaan produksi benang dan kain.
ADVERTISEMENT
Dalam invasi Rusia ke Ukraina, butterfly effect dapat kita lihat salah satunya dalam bidang ekonomi. Misalnya pada komoditas gandum. Adanya invasi Rusia ke Ukraina membuat pasokan gandum dari kedua negara tersebut terhenti. Dengan adanya invasi tersebut, suplai biji-bijian dunia terpangkas hingga 25 persen. Indonesia sendiri mengimpor 40 persen gandum dari Ukraina, sehingga dengan adanya invasi tersebut, pasokan gandum di Indonesia juga cukup terpengaruh. Sebagaimana menurut Dr Sahara dalam PPID IPB, beliau menjelaskan bahwa:
Sebagai barang input yang digunakan untuk sektor lainnya seperti mie, tepung terigu, dan roti. Tentunya kenaikan harga gandum ini akan mempengaruhi output dari sektor lain tersebut, bukan hanya makanan, tetapi juga pertumbuhan ekonomi regional, pendapatan rumah tangga, hingga upah pekerja.
ADVERTISEMENT
The Stolper Samuelson Theorem
Teori ini dikembangkan oleh Wolfgang Stolper dan Paul Samuelson. Menurut teori ini, negara yang membuka perdagangan dengan negara lain maka keuntungan dari faktor produksi yang digunakan secara intensif dalam industri yang harganya terus meningkat maka akan meningkat pula. Misalnya ketika harga roti naik, maka harga faktor produksinya (gandum/terigu) juga naik. Sementara itu, faktor produksi yang digunakan secara intensif pada industri yang harganya terus menurun maka keuntungan pada faktor produksi tersebut akan menurun pula. Misalnya seperti ketika harga gandum menurun, maka harga (upah) tenaga kerja akan menurun pula.
Selain itu, teori ini juga menjelaskan mengenai kebijakan dalam perdagangan pemerintah. Misalnya seperti kebijakan tarif impor pada komoditas gandum. Kondisi ini akan mendorong produk gandum dalam negeri untuk bersaing dengan produk impor. Sehingga, situasi yang kompetitif ini akan membuat permintaan akan gandum naik, hal ini pula yang berimbas dengan semakin banyaknya tenaga kerja yang akan diperlukan sehingga upah tenaga kerja pun menjadi naik. Secara singkat, berdasarkan Teori Stolper Samuelson, jika harga produk olahan (misal gandum) naik, maka upah faktor produksi juga ikut naik, yakni tenaga kerja.
ADVERTISEMENT
Analisa Kenaikan Harga Gandum sebagai Butterfly Effect dari Invasi Rusia ke Ukraina melalui The Stolper Samuelson Theorem
Gambar Ilustrasi. Sumber: Freepik
Sebagaimana seperti yang telah disebutkan sebelumnya, menurunnya pasokan gandum dunia akibat dari butterfly effect perang Rusia-Ukraina cukup mempengaruhi supply gandum secara global. Jika dilihat dari teori Stolper Samuelson, kenaikan harga gandum akibat invasi Rusia ke Ukraina yang menghentikan pasokan gandum dari kedua negara tersebut berpengaruh juga terhadap kenaikan sektor output serta upah dari faktor produksinya.
Akibat terhentinya pasokan gandum dari dua negara tersebut, petani gandum di seluruh dunia terpaksa harus beroperasi penuh. Para petani gandum harus mencari cara untuk melakukan perluasan lahan. Di Australia sendiri, mereka berupaya untuk menanam gandum di semua area yang memungkinkan. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan ekspor pada periode yang lebih panjang dan dengan kapasitas yang lebih besar untuk memenuhi lonjakan permintaan gandum di luar negeri. Sebagaimana yang tercatat dalam IKOM Commodities, jumlah ekspor gandum Australia pada musim ini naik sebanyak 47 persen dari musim sebelumnya. Dengan ini, bisa kita lihat bahwa dengan terhentinya pasokan gandum dari Rusia dan Ukraina serta dengan meningkatnya permintaan gandum, maka negara dalam contoh ini seperti Australia akan berupaya meningkatkan produksi gandumnya, sehingga dengan hal ini jumlah pekerja yang diperlukan tentunya diprediksi meningkat guna memproduksi lebih banyak gandum.
ADVERTISEMENT
Sumber
Aldila, N., & Alaydrus, H. (2022, March 10). Dampak Perang Rusia-ukraina: Petani Gandum Dunia Menjerit. Bisnis.Com. https://m-bisnis-com.cdn.ampproject.org/v/s/m.bisnis.com/amp/read/
Ipb, P. (n.d.). Dr Sahara Paparkan Dampak Perang Rusia-Ukraina terhadap Harga Gandum Dunia dan Kinerja Perekonomian Makro dan Sektoral di Indonesia. Website Resmi PPID IPB. https://ppid.ipb.ac.id/dr-sahara-paparkan-dampak-perang-rusia-ukraina-terhadap-harga-gandum-dunia-dan-kinerja-perekonomian-makro-dan-sektoral-di-indonesia/