Konten dari Pengguna

Generasi Muda dan Demokrasi Digital di Indonesia

Listyorini Wulandari
Saat ini sedang menjalani pendidikan S1 Manajemen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga
14 Desember 2024 19:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Listyorini Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
media sosial. source: pexel
zoom-in-whitePerbesar
media sosial. source: pexel
ADVERTISEMENT
Generasi muda kini telah menjadi salah satu kelompok pemilih terbesar dalam pemilu di banyak negara, salah satu dari negara itu ialah Indonesia. Pemilu Presiden Indonesia 2024 yang lalu merupakan bukti nyata seberapa besar pengaruh suara generasi muda dalam menentukan arah demokrasi dan politik bangsa untuk 5 tahun kedepan. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z dan milenial dengan proporsi 55% dari total pemegang hak pilih. 33,60% diantaranya merupakan generasi milenial dan 22,85% merupakan generasi Z. Dengan angka sebesar ini, maka kita dapat memiliki gambaran bagaimana dinamika politik di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh preferensi, isu, dan cara pandang generasi muda terhadap politik bangsa.
ADVERTISEMENT
Tak dapat dipungkiri bahwa generasi muda saat ini memiliki pandangan yang lebih luas serta ketertarikan tinggi untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Mereka telah hidup lebih lama dalam ekosistem digital, menjadikan mereka bagian dari masyarakat yang sangat aware mengenai teknologi dan perputaran isu terutama di media sosial. Generasi muda sendiri cenderung vokal terhadap isu-isu yang dekat dengan mereka, seperti kesetaraan ekonomi, akses pendidikan, dan aspek-aspek sosial lainnya. Media sosial menjadi senjata utama generasi muda dalam menyebarkan informasi, menyampaikan aspirasi, menyatukan gerakan, serta membangun jaringan komunitas yang jauh lebih luas.
Demokrasi digital sendiri mengacu pada penggunaan teknologi untuk mendukung proses demokrasi, mulai dari partisipasi politik hingga penyampaian aspirasi masyarakat. Berkembangnya demokrasi digital ini juga selaras dengan naiknya dominasi anak muda sebagai pemilih pada pesta rakyat pemilu di tahun ini. Meningkatnya penggunaan berbagai macam platform media sosial seperti Instagram, TikTok, Youtube, dan Twitter dimanfaatkan oleh para politisi untuk menjangkau dan menarik simpati dari generasi muda.
ADVERTISEMENT
Gibran Rakabuming Raka yang sekarang menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia memiliki cara unik untuk menjaring aspirasi masyarakat, yakni dengan melalui akun media sosialnya di Twitter @gibran_tweet. Sejak dirinya menjabat sebagai Wali Kota Solo saat itu, ia menggunakan platform tersebut sebagai alat berkomunikasi dengan masyarakat, terutama menerima laporan dan keluhan dari masyarakat. Selain Twitter, Gibran juga memiliki akun Instagram pribadi yakni @gibran_rakabuming. Gibran menegaskan bahwa keberadaan kedua akun media sosial tersebut ia gunakan sebagai alat untuk memudahkan dirinya menyampaikan berbagai informasi penting pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, akun media sosianya juga digunakan untuk menjaring aspirasi dan keluhan dari masyarakat.
Media sosial telah menjadi ruang publik baru di mana warga negara aktif mendiskusikan isu-isu politik, menyampaikan keluhan, dan berbagi aspirasi. Pemerintah yang dianggap responsif terhadap partisipasi ini tidak hanya memperhatikan percakapan yang terjadi di media sosial, tetapi juga menggunakan platform tersebut untuk menunjukkan bahwa mereka mendengarkan dan merespons kebutuhan masyarakat. Generasi muda sebagai warga negara menggunakan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok untuk mengangkat isu sosial dan politik.
ADVERTISEMENT

Demokrasi Digital bagi Generasi yang Akan Datang

Era demokrasi digital membawa peluang besar untuk meningkatkan partisipasi politik dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Namun, tantangan yang muncul, terutama bagi generasi muda dan generasi mendatang, tidak bisa diabaikan. Salah satunya yang sangat sering kita temui adalah algoritma media sosial yang seringkali hanya memperkuat satu pandangan tertentu, menciptakan "echo chambers" di mana pengguna hanya terpapar pada pandangan yang mereka setujui. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya polarisasi politik, yang dapat memperburuk perpecahan, serta menghambat dialog yang sehat antar kelompok dengan pandangan berbeda.
Bagi generasi muda, akan sulit bagi mereka untuk kemudian memahami sudut pandang lain karena exposure lingkungan digital yang homogen. Selain itu, hal tersebut juga beresiko menimbulkan gesekan atau konflik di dunia maya, yang dapat merembet ke dunia nyata dan mempengaruhi hubungan antargenerasi dan antar kelompok. Selain itu, penyebaran berita palsu (hoaks) dan misinformasi yang cepat melalui media sosial dapat memengaruhi persepsi dan keputusan politik. Hal tersebut kemudian dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan terhadap institusi demokrasi akibat pengaruh narasi palsu, serta tumbuhnya generasi yang skeptis terhadap informasi publik, menghambat keterlibatan politik yang sehat.
ADVERTISEMENT
Di sinilah kita kemudian diharapkan untuk menjadi lebih bijak dalam menggunakan media sosial terutama dalam berdemokrasi. Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk membentuk lingkungan demokrasi digital yang jauh lebih sehat antara lain :
ADVERTISEMENT