Hoaks dan Disinformasi Bahayakan Proses Demokrasi

Literasi Digital Indonesia
Dikelola oleh Tim Komunikasi Publik Gerakan Nasional Literasi Digital SIBERKREASI (siberkreasi.id)
Konten dari Pengguna
9 April 2019 11:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Literasi Digital Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Laporan dari Forum WSIS 2019*

Dr. Stephanie Borg-Psaila, kedua dari kanan.
zoom-in-whitePerbesar
Dr. Stephanie Borg-Psaila, kedua dari kanan.
ADVERTISEMENT
[ literasi digital ] Ternyata hoaks dapat berdampak serius bagi anak muda dan demokrasi. Demikian Dr. Stephanie Borg-Psaila, Direktur Interim Geneva Internet Platform, pada workshop Indonesia (8/4/2019) “Multi-stakeholder’s Approach in Combating Hoax and Disinformation in the Digital Age” di Forum WSIS 2019. Mengutip pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford pada tahun 2016, terdapat fakta bahwa anak muda saat ini cenderung tidak mudah membedakan mana konten advetorial versus berita aktual. "Dan ini tentu akan berdampak pada kualitas demokrasi suatu negara, terutama ketika demokrasi membutuhkan peran anak muda yang mampu berdaya dan memberdayakan informasi secara benar," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Apabila dikaitkan dengan konteks Indonesia, penelitian dari Universitas Katolik Atma Jaya (2019) turut mengonfirmasi kekhawatiran Dr. Borg-Psaila. Pasalnya, kaum muda perkotaan di Indonesia cenderung menggunakan media sosial sebagai referensi informasi. Konten yang tersaji di Internet diperlakukan tidak lagi sebagai hiburan atau penunjang gaya hidup, tetapi juga dimaknai sebagai penentu keputusan, bahkan pilihan politik. Padahal apabila menilik jumlah generasi muda digital native yang juga bakal menjadi pemilih pemula di Indonesia, angkanya sungguh besar. Berdasarkan survei dari Perludem, pemilih muda dengan rentang usia maksimal 35 tahun menyumbang 79 juta pemilih atau sekitar 40 persen dari total daftar pemilih tetap. Maka, kekuatan kuantitas pemilih yang mengandalkan media sosial sebagai rujukan memilih perlu diimbangi dengan kualitas konten yang beredar di Internet.
Kegiatan Pandu Digital Siberkreasi di STMM Yogyakarta pada 20 Oktober 2018, kredit: Siberkreasi.
Selain itu, upaya memperbaiki kompetensi pengguna Internet juga perlu ditempuh secara paralel dengan produksi konten negatif. Agar generasi muda atau pengguna Internet secara umum dapat secara bijaksana mencerna informasi dan berperilaku etis di dunia maya, literasi digital amat dibutuhkan. Layaknya sungai, pendekatan dari hulu ke hilir yang melibatkan beragam pemangku kepentingan perlu dicanangkan. Sisi hulu upaya literasi digital bekerja bak reboisasi, yakni berwujud: edukasi, pemeliharaan kerja komunitas, dan produksi konten positif, digiatkan sebagai investasi jangka panjang. Sementara sisi hilirnya berisi tindakan hukum pada pelaku kejahatan siber. Keduanya mesti dijalankan secara serentak, tanpa mengurangi porsi salah satunya.
ADVERTISEMENT
Ditemui lebih lanjut usai menjadi panelis, Dr. Borg-Psaila menegaskan bahwa yang terpenting dalam menjalankan literasi digital adalah adanya local champion. “Perlu ada local champion di setiap negara yang berperan menjadi leader dalam menjalankan literasi digital. Di banyak negara, local champion ini diperankan oleh pemerintah,” ujarnya. Dr. Borg-Psaila pun menyatakan apresiasinya kepada Indonesia, sebab yang melalukan literasi digital adalah multi-stakeholder, salah satunya melalui Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.
Dr. Stephanie Borg-Psaila saat mengisi workshop di Forum WSIS 2019 (8/4/2019).
“Indonesia bisa menjadi contoh mengenai bagaimana kerja-kerja melawan hoaks dapat dilakukan secara komprehensif dan multi-stakeholder, baik dari sisi edukasi maupun regulasi,” tambahnya. Menurutnya, pemerintah memang memiliki otoritas untuk menyatakan mana yang boleh dan tidak, dengan menggunakan instrument regulasi. “Namun, kerja kolaborasi multi-stakeholder adalah yang perlu dikedepankan,” tandasnya.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Indonesia sangat terbantu dengan hadirnya insiatif sipil independen yang mengawal proses demokrasi dan akuntabilitas lembaga pelaksana pemilu. Beberapa di antaranya ialah Kawal Pemilu yang tahun ini kembali memperjuangkan transparansi pemilihan umum. Sementara itu, ada pula insiatif gabungan dari WhatsApp, Mafindo, dan ICT Watch, untuk membuka hotline pengaduan berita bohong baik berupa visual, audio, maupun teks di nomor +62 855-7467-6701. Sebelumnya Mafindo dan jejaring sudah aktif mengonfirmasi serta mengklarifikasi ragam hoaks melalui platform http://turnbackhoax.id. Menuju hari pencoblosan, Siberkreasi juga menyusun serangkaian program bertema #SemaiDamai berupa roadshow literasi digital di 10 kota dan meluncurkan buku Demokrasi Damai Era Digital.
Penulis: Donny B.U** dan Adya Nisita***
*) Tulisan ini adalah laporan terbuka kepada publik dan pemangku kepentingan terkait.
ADVERTISEMENT
**) Penulis hadir pada Forum WSIS 2019 dan rapat MAG IGF di Jenewa (Maret 2019) dalam kapasitas sebagai Perwakilan Tetap Indonesia untuk IGF - PBB. Penulis juga editor buku Pengantar Tata Kelola Internet dan dapat dihubungi melalui http://donnybu.id
***) Penulis adalah Riset Manager Siberkreasi dan mengikuti sesi Forum WSIS 2019 secara remote dari Jakarta. Penulis dapat dihubungi melalui email adyanst[at]@gmail.com