Konten dari Pengguna

Hoaks, Privasi, Judi Online hingga Kecerdasan Artifisial: Tantangan Digital 2023

Literasi Digital Indonesia
https://kumparan.com/literasidigital-indonesia
1 Januari 2023 15:19 WIB
·
waktu baca 10 menit
clock
Diperbarui 28 September 2024 14:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Literasi Digital Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
[ Literasi Digital / Sosiologi Digital | Donny Utoyo ] Hoaks, Privasi, Judi Online hingga Kecerdasan Artifisial: Tantangan Digital 2023, adalah tantangan digital sepanjang 2023. Ringkasnya: (1). kian maraknya hoaks atau disinformasi, (2). judi / pinjol ilegal, (3). keamanan data pribadi, serta (4). dilema Artificial Intelligence (AI). Untuk itulah peran multistakeholder dalam melakukan kolaborasi edukasi literasi digital menjadi kian signifikan.
ADVERTISEMENT
Tulisan kali ini akan memberikan secara ringkas dan bernas mengenai ke-4 hal di atas, yang dapat didalami lebih lanjut oleh pembaca melalui link referensi yang disertakan pada setiap bagiannya.
-
1). Maraknya Hoaks / Disinformasi
Kemungkinan maraknya hoaks / disinformasi jelang Pemilu 2024 turut diingatkan pula oleh Masyarakat Antiftnah Indonesia (MAFINDO) melalui rilisnya 8 September 2022. "Pada Pemilu 2024 yang tahapannya sudah berlangsung ini, perlu diwaspadai pihak-pihak yang membagikan konten yang isinya hoaks, fitnah, dan hasut," demikian MAFINDO menegaskan. Menangani hoaks pun memerlukan kolaborasi multistakeholder, sebagaimana ditegaskan pula oleh Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu). "(Kerjasama) Ini harus kita lakukan, sebab seringkali hoaks viral karena berita yang benar tidak viral," demikian Bawaslu, 30 November 2022.
ADVERTISEMENT
Viralitas disinformasi / hoaks memang seakan tak akan (mudah) terkalahkan dengan berita klarifikasinya. Hal telah dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh MIT berjudul The Spread of True and False News Online (2018). Intinya, secara alamiah, di Internet kabar bohong beredar lebih cepat dan lebih luas ketimbang berita benar atau klarifikasinya. Belum lagi jika teknologi kecerdasan buatan (AI) diperuntukkan untuk membuat, mengemas dan/atau menyebarkan kabar bohong. Mungkinkah?
Para peneliti dari Georgetown University, dalam laporannya berjudul "Turth, Lies and Automation" sudah membuktikannnya. AI ternyata mampu "membantu" menuliskan konten disinformasi untuk diposting di media sosial serta memiliki jangkauan luas dan efektif mempengaruhi khalayak. AI, dalam laporan tersebut, sudah mampu menghasilkan sejumlah model konten disinformasi yang "berkualitas", sesuai kebutuhan dan target yang dituju.
ADVERTISEMENT
("Hati-hati Serangan Hoax di Medsos" - Dok. November 2018)
Tentu saja kawan-kawan hoaxbuster Indonesia semisal Mafindo, Aliansi Media Cek Fakta dan Kementerian Kominfo akan menjadi kian signifikan perannya sepanjang tahun depan. Kegiatan Tular Nalar yang diinisiasi oleh Mafindo adalah contoh jempolan, lantaran menyajikan kurikulum materi pembelajaran interaktif untuk melatih berpikir kritis. UNESCO, sebuah badan PBB yang fokus pada isu kebudayaan, juga telah merilis sebuah panduan dan modul yang dapat digunakan bebas, berjudul "Journalism, Fake News and Disinformation". Secara perseorangan, kita pun dapat menggunakan microsite http://s.id/cekhoaks untuk belajar, cek, lapor dan bersama #lawanhoaks, langsung dari gawai kita. Dalam ranah literasi digital yang diusung oleh Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi, penanganan hoaks / disinformasi ini masuk dalam pilar Etis Bermedia Digital.
ADVERTISEMENT
-
2). Judi dan Pinjol Ilegal
Menghadapi tahun 2023 yang sarat dengan tekanan ekonomi (dan pekerjaan), termasuk di Indonesia, maka tidak dapat dielakkan akan banyak orang mempertaruhkan hidupnya pada tawaran-tawaran yang ada di Internet. Sebutlah semisal judi online dan investasi ilegal. Sepanjang 2022 saja, menurut Pusat Pelaporan dan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran uang di rekening pelaku judi online adalah Rp 81 triliun, meningkat signifikan dari 2021 yang "hanya" Rp 57 triliun. "(Untuk judi online) Mereka menggunakan virtual currency, virtual account, e-wallet dan aset kripto, ujar PPATK. PPATK juga menyoroti tren soal robot trading dan investasi ilegal yang menggunakan instrumen financial technology (fintech) yang nilainya mencapai Rp 35 triliun.
ADVERTISEMENT
Modus pinjaman online (pinjol) ilegal memanfaatkan celah kelemahan pemahaman pengguna Internet yang tergiur atau terdesak dengan solusi "uang cepat" di depan mata. Satgas Waspada Investasi (SWI) yang diinisiasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus melakukan penutupan platform pinjol ilegal yang muncul silih berganti. Hingga Oktober 2022 saja, jumlah layanan pinjaman online ilegal yang telah ditutup sejak 2018 berjumlah 4.352 platform.
(Video clip "CAMILAN" camera, microphone, location - OJK)
OJK pun telah memberikan wanti-wanti, bahwa pinjol yang legal (terdaftar) secara teknis aplikasinya hanya meminta akses ke camera, microphone dan location pada handphone pengguna. Adapun yang ilegal, aplikasinya akan meminta akses kepada seluruh data pribadi yang ada di dalam handphone, semisal nomor kontak dan album foto yang dapat disalahgunakan saat melakukan penagihan.
ADVERTISEMENT
Untuk membantu pemahaman masyarakat tentang bertransaksi pinjol legal dan aman ini maka dapat menggunakan microsite http://s.id/keuangandigital yang berisi aneka materi edukasi literasi digital terkait, sumber rujukan untuk memeriksa legalitas pinjol dan akses untuk melaporkan kasus-kasus yang terjadi.
-
3). Keamanan Data Pribadi
Dalam ranah keamanan digital, kesadaran tentang pentingnya menjaga privasi dan data pribadi mesti dibarengi dengan kemampuan menggunakan aplikasi dan gawai secara aman. Mengelola jejak digital, sebagai sebuah awalan, tak banyak yang memahaminya. Jejak digital dapat berbentuk aktif, yaitu yang ditinggalkan oleh kita secara sengaja, semisal unggahan konten, status di media sosial, testimoni, percakapan di messenger dan lainnya. Sedangkan jejak digital pasif, adalah data atau informasi yang ditinggalkan tanpa kita sadari, seperti lokasi dan rute pada Google Maps, riwayat pencarian dan situs yang dikunjungi, catatan transaksi belanja dan sebagainya. Ada sejumlah contoh jejak digital lainnya dan bagaimana melindunginya sebagaimana dilansir oleh Kapersky.
ADVERTISEMENT
Khusus untuk jejak digital pasif, kadang kita akan terkejut sendiri. Coba saja buka https://myactivity.google.com dan lihat apa saja yang tercatat di situ tentang aktifitas kita selama di Internet. Atau silakan akses https://google.com/maps/timeline dan temukan fakta bahwa lokasi kita pada saat kapan, terekam dengan jelas dari masa ke masa. Tentu saja fitur penjejak digital pasif ini dapat di-nonaktif-kan, jika kita paham caranya. Pun, pandai menjaga keamanan digital di gawai kita dan bijaklah dalam bermedia sosial, semisal tidak over-sharing!
Menyambut 2023, para pakar keamanan digital di Security.org telah merilis artikel berjudul "A 2023 Guide to Personal Digital Security & Online Safety" yang dapat relatif mudah dipahami dan dipraktikkan.
Adapun ancaman keamanan digital personal sepanjang 2023, menurut The Cyber Security Hub, diantaranya adalah: smart devices as a hacking target, phishing and social engineering dan lack of cyber security knowledge. Penggunaan teknologi (gawai maupun aplikasi) digital yang kian canggih namun tidak dibarengi dengan literasi digital dan pengetahuan keamanan digital yang memadai oleh penggunanya, adalah sangat berbahaya! Demikian ditulis dalam artikelnya yang berjudul "The Most Dangerous Cyber Security Threats of 2023".
ADVERTISEMENT
(Video clip "Pingin Mancing Malah Kepancing" - Siberkreasi)
Bagi pengguna Internet di Indonesia, materi untuk edukasi tentang keamanan digital personal bisa diakses melalui microsite https://s.id/jagadatapribadi. Dalam ranah literasi digital yang diusung oleh GNLD Siberkreasi, penanganan keamanan data pribadi ini masuk dalam pilar Aman Bermedia Digital.
Di satu sisi, Indonesia telah memiliki Undang-undang No. 27 tahun 2022, tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Upaya penguatan kapasitas dan pemahaman tentang PDP, khususnya bagi organisasi masyarakat sipil dan UMKM, adalah keniscayaan. Hal ini lantaran mereka adalah yang juga berhadapan langsung dengan masyarakat, berada dalam posisi yang relatif rentan dalan konteks praktik perlindungan data pribadi. Salah satu bentuk upaya penguatan ini seperti yang dilakukan oleh ICT Watch dalam Kelas Belajar Bersama.
ADVERTISEMENT
-
4). Dilema Kecerdasan Buatan (AI)
Teknologi kecerdasan buat atau artificial intelligence (AI) tidak berarti membuat penggunanya menjadi (lebih) cerdas. Dibalik kecanggihan dan serangkaian manfaatnya, perdebatan mengenai dampak negatif atau risikonya pun terus mengemuka. Semisal tentang bias pengambilan keputusan, ancaman terhadap privasi, tergantikannya manusia bahkan dalam produk kreativitas, deep fake dan disinformation, hingga pengaruh AI bagi kepentingan anak / peserta didik (siswa/i maupun mahasiswa/i).
Pada tulisan bagian ini, akan lebih fokus pada aspek kepentingan keselamatan anak / peserta didik, sebagaimana mendapatkan sorotan kuat dari organisasi internasional Family Online Safety Institute (FOSI). Menurut FOSI, dalam catatannya yang berjudul "Online Safety in the Age of AI", mesin akan semakin memiliki kemampuan berempati, kian merasuk hingga ke urusan dan gawai personal serta rakus akan pasokan data (pribadi) untuk membuatnya semakin cerdas. Kecemasan akan risiko yang dibawa AI terkait data pribadi ini bukanlah hal yang berlebihan.
ADVERTISEMENT
International Associatioan of Privacy Professional (IAPP) menurunkan tulisan berjudul "Privacy and Responsible AI", juga organisasi Privacy International (PI) merilis satu halaman khusus yang menjabarkan risiko AI terkait data pribadi penggunanya. Kerangka penegakan HAM, khususnya terkait privasi dan perlindungan data pribadi, adalah keharusan dalam setiap pembuatan, pengembangan dan penggunaan AI. Pendekatan Privacy-by-Design (semestinya) menjadi pilar utama bagi para pengembang aplikasi apapun, dimanapun dan untuk kepentingan apapun.
Namun tidak hanya itu saja, jika bicara tentang hal dilematis dalam AI. Bagaimana dengan tren penggunaan AI untuk menyelesaikan tugas sekolah / kampus semisal berupa esai maupun hingga skripsi? Apakah AI sekedar membantu, atau justru mengkerdilkan kemampuan berpikir kritis peserta didik? Mampukah para guru / dosen dan orang tua membedakan mana pekerjaan hasil pikiran manusia vs mesin dan lantas memberikan penilaian yang objektif?
ADVERTISEMENT
AI pun sesungguhnya memberikan banyak hal positif bagi dunia, juga untuk pengguna perseorangan (juga anak dan peserta didik) dalam mengolah kemampuan menyelesaikan masalah, berpikir kritis dan kreativitas. Tengoklah sejumlah pilihan layanan /platform AI yang luar biasa keren dan dikurasi oleh Futurepedia.io. Namun, kembali lagi, ketika AI sudah semakin "menyerupai" manusia dalam memberikan respon kepada penggunanya, termasuk sentuhan-sentuhan emosional dan rasa empati di dalamnya, maka bukan tidak mungkin peran manusia, termasuk guru, dosen dan orang tua akan relatif mudah tergantikan olehnya.
(Trailer film "HER", penggambaran interaksi manusia dengan AI)
Lalu, siapa yang dapat menjaga dan memandu anak dan peserta didik ketika berselancar di Internet dan kemudian kian lekat dan dekat dengan AI? Seberapa banyak mereka akan, sadar ataupun tidak, mesti "menyetorkan" data pribadi mereka pada platform / aplikasi AI yang tanpa kontrol memintanya? Bagaimana kalau mereka menjadi kacau dan babak belur dalam menganalisis sesuatu dan lantas salah mengambil keputusan bagi diri sendiri atau orang lain, gara-gara AI?
ADVERTISEMENT
Kita mesti ingat, bahwa AI sebagai sebuah mesin yang "belajar", dapat saja salah belajar dan kemudian lanjut mengajarkan yang salah tersebut kepada pengguna lainnya. Kita ingat ketika pada Maret 2016, Tay, bot AI karya Microsoft harus langsung di-shutdown ketika di platform Twitter tiba-tiba menjadi sosok yang rasis dan mengagungkan NAZI. Tay "belajar" dari sekelompok orang "pengacau" ketika berinteraksi via Twitter. Bahkan, dalam hasil riset terkini berjudul "Robots Enact Malignant Stereotypes" yang dirilis pada Juni 2022 oleh kolaborasi peneliti dari sejumlah kampus kenamaan, tegas didapatkan fakta bahwa gara-gara AI yang ngawur, robot menjadi bertindak rasis dan seksis! Terbayang kini, apabila anak atau peserta didik kita ternyata kelak menjadi individu yang intoleran (dan bahkan radikal) jika salah asuh oleh AI, sang mentor digitalnya.
ADVERTISEMENT
Maka, disinilah peran kolaborasi multistakeholder, termasuk profesional pendidik (guru / dosen) dan orang tua menjadi kian signifikan untuk memahami literasi digital dalam mendampingi anak / peserta didik ketika menggunakan teknologi digital dan mengakses dunia tanpa batas di Internet. Lepas tangan atau abai, bencana akibatnya.
-
Penutup
Di tahun 2023, pentingnya kolaborasi edukasi literasi digital semakin meningkat. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, literasi digital menjadi kebutuhan pokok bagi setiap individu untuk bisa berpartisipasi secara aktif dalam masyarakat. Namun, banyak masyarakat yang masih kurang memahami pentingnya literasi digital ini, sehingga diperlukan upaya kolaborasi dari berbagai pihak untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya literasi digital. Kolaborasi edukasi literasi digital yang baik akan mampu memberikan akses yang merata kepada setiap individu untuk mendapatkan pemahaman yang cukup tentang literasi digital, sehingga setiap orang dapat mengoptimalkan penggunaan teknologi demi kemajuan masyarakat.
ADVERTISEMENT
-
(ps: By the way, paragraf penutup di atas sepenuhnya ditulis oleh AI lho. Di bawah ini bukti screenshot-nya.)
(screenshot penggunaan teknologi AI melalui gawai personal - donnybu)
-
Penulis: Donny Utoyo, Pemerhati Sosiologi Digital dan Pegiat Literasi Digital pada ICT Watch (ictwatch.id) dan Gerakan Nasional Literasi Digital - Siberkreasi (siberkreasi.id). Dapat dihubungi melalui https://donnybu.id.