Konten dari Pengguna

Kecerdasan Buatan (AI) Bagi Media dan Jurnalis: Disrupsi atau Destruksi?

Literasi Digital Indonesia
https://kumparan.com/literasidigital-indonesia
17 September 2024 9:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
clock
Diperbarui 28 September 2024 14:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Literasi Digital Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
[ Literasi Digital / Sosiologi Digital | Donny Utoyo ] Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) ternyata menghadirkan berbagai dinamika dan problematika yang kompleks di sejumlah sektor usaha dan profesi, termasuk bagi industri media. Risiko disrupsi pun destruksi lantaran AI, memerlukan tata kelola yang cermat. AI menawarkan ragam manfaat berupa efisiensi dan kreativitas dalam banyak hal, namun juga memberikan tantangan teknis dan etis tersendiri dalam industri media dan kerja jurnalis.
ADVERTISEMENT
Teknologi AI memang memberikan sejumlah turunan aplikasi yang dapat digunakan oleh media dan jurnalis, baik itu AI Prediktif, yang dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi konten dan analisis tren pembaca masa mendatang, hingga AI Generatif, yang dapat meringkas wawancara dengan cepat hingga memberikan analisis data dalam jumlah besar. Dengan mengotomatiskan banyak tugas yang bersifat repetitif dan menyederhanakan proses yang rumit, AI sejatinya dapat merevolusi bagaimana media bekerja dan memberikan kelapangan bagi awaknya untuk lebih fokus pada pekerjaan yang bersifat analitis dan kreatif.
Ilustrasi Robot Kecerdasan Buatan AI, Media dan Jurnalis | Eidosmedia
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Robot Kecerdasan Buatan AI, Media dan Jurnalis | Eidosmedia
AI Dapat Gantikan Jurnalis?
AI sebagai alat bantu keredaksian, akan dapat menghasilkan konten yang lebih relevan dan menarik bagi pembaca, selain tentunya membantu pula dalam memberikan saran inovasi dan gagasan untuk diseminasi konten tersebut kepada khalayak secara lebih luas. Namun, disrupsi (positif) AI ternyata menimbulkan kerisauan akan destruksi yang serius. Hal tersebut semisal tentang apakah otomatisasi (atau tepatnya: instanisasi) yang difasilitasi AI akan dapat berdampak pada menurunnya kualitas konten dan juga mengancam eksistensi jurnalis.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada perkembangannya yang sedemikian pesat, memang tidak menutup kemungkinkan, walau mungkin tidak dalam waktu dekat ini, AI akan dapat melakukan tugas dan fungsi editorial (baca: keredaksian). Sejumlah media di dalam maupun luar negeri sudah banyak yang menggunakan AI, untuk beragam kebutuhannya.
Komponen manusia dalam fungsi luhur sebagai gate keeper di media rentan tergantikan, atau setidaknya, tersaingi. Kita pun harus mafhum, ketika tabiat manusia dalam melalukan konsumsi informasi di era digital saat ini telah dapat dikontrol sepenuhnya oleh algoritma.
Maka ketika memutuskan untuk menggunakan AI, media mesti bertanggung jawab memastikan keterbukaan dan transparansi kepada pembaca serta menegakkan kontrol gate kepper redaksional hanya pada integritas jurnalis berpengalaman untuk menjamin keakurasi, kedalaman dan keberpihakan berdasarkan kepekaan hati nurani dan akal sehat.
ADVERTISEMENT
Media sudah saatnya segera menyusun strategi untuk mengoptimalkan teknologi AI pada sejumlah lini kerja-kerja mereka, tanpa mengorbankan integritas jurnalistik, apalagi menggantikan manusia hanya dengan alasan efisiensi dan produktifitas. AI mesti difungsikan oleh media sebagai sarana meningkatkan kualitas dan kuantitas konten yang diproduksi, sembari memastikan awak dan jurnalisnya memiliki kelapangan dalam membangun potensi diri dan media tempat bernaungnya dengan menggunakan AI tersebut.
Tata Kelola AI Beretika
Pun, konten yang terkesan sangat realistis produksi AI, walapun sebenarnya adalah sebentuk disinformasi, akan dapat memperburuk ekosistem media massa itu sendiri. Deepfake dan konten manipulatif yang menjamur lantaran teknologi dan kanal digital, menimbulkan konsekuensi dilema etika yang harus dihadapi oleh media. Dalam kerangka ini, menegakkan norma etika dalam kerja jurnalistik menjadi lebih rumit, terutama jika produksi konten hingga keputusan redaksional, pada derajat tertentu, melibatkan AI.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, masih banyak yang meyakini (dan telah dapat dibuktikan) bahwa AI, ketika difungsikan sebagai sebuah sistem penunjang keputusan, sangatlah rentan bias tersebab algoritma yang tertanam ataupun data olahan yang dipasok kepadanya. Garbage in, garbage out! Selain daripada itu, penggunaan AI yang sembrono akan dapat meningkatkan ketidakpastian informasi berujung konflik, tanpa ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab atas konten AI apabila senyatanya ilegal atau berbahaya.
Seperti banyak negara lain, Indonesia tengah berupaya membuat tata kelola untuk mengurangi risiko ini. Namun taklah mudah membuat tata kelola yang melindungi kepentingan publik dan di satu sisi lainnya perlu tetap memastikan inovasi tak terhambat. Beberapa titik awal yang penting adalah prinsip-prinsip etika yang disarankan oleh Kementerian Kominfo melalui Surat Edaran No. 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Buatan dan khusus penggunaan AI bagi media siber adalah sebagaimana termaktub pada Prinsip-prinsip Penggunaan Kecerdasan Buatan untuk Media Siber dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa media, jurnalis dan masyarakat luas pada umumnya mampu menggunakan AI secara bertanggung jawab, aman dan beretika. Pun bagi media dan jurnalis, masa depannya sangat ditentukan pada kemampuan dan kemauannya dalam beradaptasi. Sebagaimana dikutip dari Charles Darwin, Bapak Evolusi, “bukan yang paling kuat yang bisa bertahan hidup, bukan juga yang paling pintar, namun yang yang paling bisa beradaptasi terhadap perubahan”.
Catatan Penting Bersama
Pada 15 Agustus 2024, didukung oleh Dewan Pers Indonesia dan Kolaborasi Riset dan Inovasi AI Indonesia (KORIKA), sebuah diskusi webinar dengan judul “Tantangan & Dilema AI bagi Media dan Jurnalis” diselenggarakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan ICT Watch. Dokumentasinya tersedia di YouTube dan materi presentasi narasumber dapat diunduh di http://s.id/ai-media . Pada beberapa bagian dari artikel ini, yang merupakan risalah dari diskusi webinar tersebut, penyusunan kerangkanya dibantu oleh AI. Adapun berikut ini adalah sejumlah catatan penting bersama yang disampaikan oleh para narasumber:
ADVERTISEMENT
.
1. Menggarisbawahi pentingnya AI dalam memajukan jurnalisme, Prof. Hammam Riza, Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi AI Indonesia (KORIKA) mengatakan bahwa AI dapat membantu menciptakan konten, berinovasi, melawan informasi palsu, dan meningkatkan produktivitas jurnalis. Namun, ia juga menggarisbawahi risiko otomatisasi yang membahayakan pekerjaan jurnalis dan kemungkinan hilangnya sentuhan manusia di media.
Prof Hammam Riza | foto: BPPT ©
Hammam juga menggarisbawahi perlunya etika dalam menggunakan AI karena ia melihatnya sebagai alat untuk perbaikan daripada ancaman yang menggantikan pekerjaan jurnalistik. Menjaga keamanan data terhadap manipulasi kecerdasan buatan, termasuk deep fakes, juga merupakan masalah penting dalam konteks ini sebagai upaya untuk menetapkan aturan yang adil dan wajar untuk menggunakan AI di media.
-
2. Ketua Dewan Pers Indonesia, Dr Ninik Rahayu, berbicara tentang AI mengubah sektor media. AI telah memungkinkan wartawan untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih kreatif dan analitis dengan mengalihdayakan tugas-tugas yang berulang dan menyederhanakan proses-proses yang rumit. Meskipun demikian, ia menggarisbawahi risiko-risiko adopsi AI, termasuk kemungkinan kesalahan, informasi yang salah, prasangka algoritmik, masalah hak cipta dan privasi.
Ninik Rahayu | foto: Dewan Pers ©
Ninik menyoroti perlunya keterbukaan dalam penggunaan AI untuk mengatasi tantangan dan akuntabilitas editorial manusia dalam menjaga kesesuaian dengan hukum dan kode etik jurnalistik. Dewan Pers sedang mengembangkan pedoman untuk penggunaan kecerdasan buatan oleh media yang etis dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
-
Menekankan meningkatnya kekhawatiran di kalangan perusahaan media tentang perkembangan AI, terutama kecanggihan model generatif, Arkka Dhiratara, CEO HukumOnline dan anggota Gugus Tugas AI Dewan Pers , menekankan konten yang sangat realistis yang diproduksi oleh AI generatif telah menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan tergesernya koresponden manusia dan pembuat konten. Bersamaan dengan kepercayaan publik terhadap informasi yang beredar luas, hal ini bermuara pada pertanyaan tentang keaslian konten, kemungkinan penyebaran informasi palsu, dan keberadaan deepfake.
Arkka Dhiratara | foto: HukumOnline ©
Arkka juga membahas konsekuensi moral dan hukum dari hak kekayaan intelektual, kepemilikan konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, dan kemungkinan prasangka algoritma AI. Oleh karena itu, untuk menurunkan risiko yang terkait dengan pengembangan teknologi ini, tata kelola AI yang adil dan tepat harus ditetapkan oleh para pemangku kepentingan terkait.
ADVERTISEMENT
-
Advisor senior ICT Watch / Ketua Siberkreasi, Donny Utoyo, menggarisbawahi adanya disrupsi dan kerentanan distruksi yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan yang tengah dihadapi media massa dan jurnalis. Ia mencatat bahwa dimungkinkan kini redaksional dikelola oleh AI, melayani pemirsa yang telah dikepung oleh algoritma. Donny menggarisbawahi perlunya etika dalam menggunakan kecerdasan buatan untuk pembuatan konten dan personalisasi konten yang efektif.
Ia juga menyarankan media untuk mulai meningkatkan kapasitas jurnalinya agar memiliki kompetensi dalam permanfaatan teknologi digital dan AI. Selain itu, kerja sama multipihak sangat penting untuk menjamin tata kelola AI yang etis, aman, dan bertanggung jawab serta memajukan nilai-nilai kesetaraan, perlindungan data pribadi, dan hak kekayaan intelektual. Materi presentasi dapat diunduh di https://s.id/dbu-media-ai
ADVERTISEMENT
-
Penulis: Donny Utoyo, Pemerhati Sosiologi Digital dan Pegiat Literasi Digital pada ICT Watch (ictwatch.id) dan Gerakan Nasional Literasi Digital - Siberkreasi (siberkreasi.id). Dapat dihubungi melalui https://donnybu.id.