Konten dari Pengguna

Literasi Digital, Kerja Bersama Melawan Kepicisan

Literasi Digital Indonesia
https://kumparan.com/literasidigital-indonesia
3 April 2019 21:28 WIB
·
waktu baca 15 menit
clock
Diperbarui 23 September 2024 17:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Literasi Digital Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi literasi Media Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi literasi Media Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
[ literasi digital ] Internet dan media sosial kerap kali dituding sebagai penyebab perubahan-perubahan radikal di dunia politik. Siapa menyangka, Amerika Serikat yang pernah punya sejarah panjang diskriminasi rasial dan trauma pemboman menara WTC bakal memiliki presiden kulit hitam dengan nama tengah kearab-araban pula. Barack Hussein Obama berhasil memanfaatkan momentum euforia publik atas kehadiran media sosial. Faktor sukses Obama dipengaruhi oleh strategi kampanye media sosial dan teknologi sehingga mampu mengumpulkan dana—dan yang paling penting: memberdayakan relawan sehingga mereka merasa sedang mengubah sesuatu (Aaker dan Chang, 2010).
ADVERTISEMENT
Selain memunculkan aktor baru yang progresif, platform media baru yang diakomodasi oleh Internet turut membantu proses demokratisasi (Tapsell, 2018). Interaksi serta mobilisasi melalui media sosial menjadi katalis munculnya gelombang pembangkanan sipil dan protes Arab Spring di wilayah Afrika Utara yang didominasi sistem pemerintahan otoriter. Di Hong Kong, anak muda mengorganisasi gerakan dan menciptakan kanal informasi alternatif kala Revolusi Payung meletup. Fitur unggah status, bagikan, dan sukai, di media sosial menjadikan protes damai ini sebagai gerakan sosial yang paling terdokumentasi dengan baik dalam sejarah (Kaiman, 2014).
Namun teknologi tidak pernah bersifat deterministik. Karenanya tumbuh kebaikan, pun berkatnya muncul pula keburukan. Strategi microtargeting yang mengekspoitasi prasangka rasial melalui sejumlah media sosial diyakini menjadi salah satu kunci kemenangan Donald Trump di pemilu Amerika Serikat 2016. Akibatnya, hampir setengah dari penduduk Amerika Serikat pernah beradu argumen dengan seseorang (baik teman, keluarga, rekan kerja ataupun kerabat.) tentang pilihan politiknya (Edwards-Lewy, 2016). Friksi akibat beda pendapat melampaui pagar diskursus politik hingga ke tahap personal. Apalagi dengan adanya media sosial, ekspresi politik semakin kentara sehingga keberpihakan politik sudah merasuk hingga membentuk identitas sosial. Bahkan terbukti mengubah pola interaksi masyarakat Amerika Serikat dengan orang yang berhaluan politik lain (McConell dkk., 2017).
ADVERTISEMENT
Berkat fitur interkonektivitasnya, media sosial menyusul peran media massa sebagai pembentuk opini publik. Meski konten di dalamnya bersifat sporadis, tidak teregulasi, dan terbuka pada kontribusi; media sosial semakin menjadi andalan masyarakat dalam mencari sumber informasi (Pertiwi, 2018). Media sosial memainkan peran lebih besar selain sebagai sumber informasi, yakni sebagai ruang berkomunikasi dengan lingkaran internal yang sifatnya intim, sekaligus sebagai ruang diskusi yang sifatnya publik. Dengan durasi rata-rata masyarakat Indonesia menggunakan media sosial selama 3 jam 26 menit, dari total 8 jam 36 menit terhubung ke Internet (We are Social, 2019), maka tidak berlebihan jika apa yang dikonsumsi di dunia maya akan mempengaruhi persepsi dan perilaku di dunia nyata. Hal ini dapat menjadi masalah jika kemudian informasi yang tersaji melulu sampah yang tak layak dikonsumsi nalar.
ADVERTISEMENT
Kualitas Picisan
Sebagai ruang publik, Internet setali tiga uang dengan lapangan fisik terbuka di mana semua orang dapat berkumpul. Terdapat kesepakatan mengenai apa yang bisa dilakukan dan tidak, berikut konsekuensi tindakan. Guna mencapai fungsi optimal yang menjamin asas inklusivitas, kebebasan berpendapat, dan diimbangi dengan bobot bahasan, maka perlu ada pengawalan penuh agar pengunjungnya betah. Hal ini dipertegas pula oleh Profesor Ang Peng Hwa selaku Direktur Singapore Internet Research Center Nanyang Technological University. Menurutnya, ketika ditemui secara khusus oleh penulis di kantornya pada September 2018, mekanisme pasar “Market for Lemons” oleh ekonom George A. Akerloff dapat pula berlaku pada kekondusifan ekosistem diskusi publik di media sosial. Lemons di sini maksudnya adalah “barang cacat” atau yang berkualitas rendah, istilah lain dalam bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Akerloff mengamati pasar mobil bekas dan memformulasikan sebuah konsep. Ketika ada dua jenis komoditas dengan kualitas berbeda lalu penjualnya memonopoli informasi mengenai kualitas komoditas tersebut, maka komoditas dengan kualitas picisan akan dapat dinilai lebih tinggi sementara sebaliknya komoditas yang berkualitas tinggi dapat jeblok nilainya. Sehingga pada akhirnya, komoditas yang berkualitas rendah akan dapat “menenggelamkan” komoditas berkualitas baik dari pasar. Ini berlaku pula dalam peredaran informasi di dunia maya. Silakan ganti posisi mobil bekas dengan kepingan-kepingan informasi yang tersirkulasi, sementara penjual bisa diibaratkan institusi atau individual yang menciptakan informasi tersebut; salah atau benar, valid atau tidak, yang paling tahu adalah produsen, bukan konsumen.
Gambar 1. Konsep Market for Lemons
ADVERTISEMENT
Menurut Profesor Ang, Indonesia memiliki tantangan lebih berat di masa pemilu serentak tahun ini jika dibandingkan dengan Singapura. Selain skala cakupan wilayah, durasi masa kampanye juga jauh berbeda: Singapura hanya berlangsung selama sembilan hari sementara Indonesia hingga enam bulan. Banjir bandang konten sampah seperti hoaks dikhawatirkan mampu mempengaruhi iklim dan kualitas pengambilan keputusan para generasi milenial, termasuk dalam urusan politik.
Dari sisi persentase, menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per 2017-2018, setidaknya 49,52 persen pengguna Internet Indonesia berusia antara 19-34 tahun—atau populer dilabeli sebagai generasi milenial. Ketika persentase tersebut dipetakan dari total 150 juta pengguna Internet (Kemp, 2019) atau sekitar 56 persen dari total 268,2 juta penduduk Indonesia, maka terdapat sekitar 75 juta generasi milenial pengguna Internet yang berpotensi menjadi pemilih muda atau pemiluh pemula pada Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) bulan April 2019.
ADVERTISEMENT
Sebelum lanjut membahas tentang generasi milenial dan perannya dalam pemilu, mari kita urai terlebih dahulu tentang konten sampah berjejuluk hoaks ini. UNESCO dalam publikasinya berjudul “Journalism, Fake News and Disinformation” yang dirilis tahun 2018 telah membagi hoaks alias kabar bohong ini menjadi 3 (tiga) kategori: misinformasi, disinformasi dan malinformasi.
Gambar 2. Tipologi Kekacauan Informasi
Penjabarannya adalah sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Dengan memahami konsep kategorisasi yang ditawarkan UNESCO di atas, kita bisa memahami bahwa isu hoaks tak bisa dipandang sebagai suatu yang sederhana, apalagi sekedar ditangani dengan solusi yang disimplifikasi. Ada aktor dengan motif dan metodenya, ada medium dengan karakteristik pesannya, dan ada khalayak sebagai penerima pesan dengan kematangan checking behaviour-nya secara individual. Karakter dan keunikan inilah yang kemudian mesti disikapi dengan hati-hati, karena tidak bisa satu metode penanganan bias bekerja mengatasi ragam jenis hoaks yang beredar di ranah maya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, kabar bohong ternyata 70 persen lebih banyak diteruskan (retweet) ketimbang versi kisah yang sebenarnya (Aral, 2018). Menurut kajian berjudul "The Spread of True and False News Online" tersebut, hal di atas disebabkan karena kabar bohong, baik judul maupun kontennya, memang diracik untuk mudah mendapatkan atensi dan disebarkan oleh banyak pihak tanpa proses klarifikasi sebelumnya.
Polarisasi Kebencian
Ketika memfasilitasi kebebasan berekspresi, media sosial pun ternyata rentan mendorong penggunanya untuk mempraktikkan kebebasan membenci. Kebebasan menyuarakan opini ditunggangi aksi membungkam yang lain (Lim, 2017). Seperti yang dinyatakan oleh sarjana politik Noam Chomsky bahwa upaya-upaya konstruktif platform media sosial juga menyimpan kekuatan besar untuk mengikis demokrasi (Chomsky, 2018). Filter bubble atau dikenal juga dengan istilah echo chamber (ruang gema) menutup akses pengguna media sosial dari perspektif yang berlainan dengan preferensinya. Media sosial menyediakan asupan yang sangat kaya bagi tumbuhnya polarisasi sosial (Hull, 2017).
Gambar 3. Ilustrasi Cara Kerja Filter Bubble
Dewasa ini, media sosial sudah berkelindan dengan begitu eratnya dengan dunia politik. Dampaknya akan sangat dirasakan bagi generasi muda khususnya di kelompok usia 18-34 tahun—yang notabene konsumen utama media sosial (Kemp, 2019). Kelompok usia milenial tersebut juga merupakan warga negara yang diharapkan aktif berpartisipasi politik. Generasi milenial mengambil porsi 23,77 persen dari total populasi dan menyumbang hampir seperlima dari total keseluruhan DPT pada pemilu 2019 (Garnesia, 2018).
ADVERTISEMENT
Polarisasi yang tumbuh di media sosial menjadikan kualitasnya sebagai ruang diskusi publik menukik tajam, khususnya di tahun politik kini. Penggunaan label “cebong vs kampret” yang mengurangi kemanusiaan kedua belah kubu pendukung menenggelamkan kelompok lain yang sebetulnya tengah benar-benar mengklaim haknya sebagai warga negara untuk berpartisipasi politik. Selama ranah siber tercemar oleh ujaran kebencian dan kurangnya partisipasi karena ketakutan dan kehati-hatian yang berlebih, praktik demokrasi digital tidak bakal berkembang (dalam Perbawani dkk., 2019).
ADVERTISEMENT
Anak-anak muda yang peduli pada pemerintahan malah menolak terlibat dalam politik praktis bahkan mereka pun enggan memberikan suara dalam pemilu. Demikian menurut survei kolaboratif dari Tempo.co dan Orb Media Network (2018). Kanal-kanal politik informal seperti pembangkangan sipil, petisi daring, protes di jalanan, dan aktivisme media sosial, merupakan pilihan anak muda. Preferensi berdemokrasi ini perlu diakomodasi melalui berbagai cara, yakni dengan menjamin kebebasan berpendapat sesuai konstitusi, memperbaiki iklim diskusi publik dengan meminimalkan peredaran disinformasi, serta menciptakan debat yang konstruktif di media sosial agar kepercayaan pada Internet sebagai ruang diskursus pulih.
Ketidakpercayaan generasi muda pada platform media sosial bukan fenomena eksklusif di Indonesia, karena tren ini juga ditemui di Thailand. Dominasi junta militer Thailand termanifestasi dalam ranah siber melalui fungsi Lembaga Nasional untuk Ketertiban dan Perdamaian. Cengkeraman tajam rezim menghambat partisipasi kaum muda dalam merespon isu politis.
ADVERTISEMENT
Ditemui dalam wawancara khusus di kampusnya pada September 2018, Profesor Pirongrong Ramasoota selaku Wakil Rektor sekaligus Direktur Thai Media Center pada Universitas Chulalongkorn menyampaikan fakta tentang ketidakpercayaan yang sangat tinggi dari anak muda pada informasi yang beredar di media sosial.
Gambar 4. Lese Majeste di ASEAN
Fabrikasi dan filtering konten dikawinkan dengan bayang-bayang pasal lese majeste, hukum untuk menindak penghinaan kepada raja atau monarki, bukanlah kondisi yang kondusif bagi generasi muda di sana untuk berekspresi dan berinformasi secara bebas. Maka dari itu, Profesor Pirongrong meyakini bahwa Internet sebagai ruang publik perlu dibuka seluasnya agar pengguna mampu mengakses seluruh informasi tanpa terpotong-potong sehingga masyarakat dapat terdidik memutuskan kebutuhannya sendiri.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa kemampuan warganet muda di sejumlah kota di Indonesia dalam mengklarifikasi hoaks teridentifikasi masih rendah. Hal ini ditandai oleh ketidakpedulian warganet terhadap penyebaran hoaks serta rendahnya upaya untuk secara kritis merespon informasi hoaks yang diterimanya. Adapun ketidakmampuan warganet untuk memproses informasi di dunia digital dapat menyebabkan persebaran hoaks yang lebih besar, sehingga provokasi, prasangka, atau kebencian yang irasional tumbuh subur. Untuk itulah maka warganet perlu memiliki kemampuan berpikir kritis untuk menghindari jebakan-jebakan yang tersembunyi dalam kemudahan pencarian informasi di Internet (Daniswara, 2018).
ADVERTISEMENT
Kerja Kolaborasi
Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul "The Science of Fake News" yang dimuat dalam majalah jurnal bergengsi Science, dijelaskan bahwa pada dasarnya kita akan lebih menyukai informasi yang menegaskan sikap dan posisi kita selama ini. Manusia akan merasa lebih nyaman mendapatkan informasi yang konsisten dengan keyakinan yang telah mereka miliki sebelumnya. Untuk itulah intervensi pendidikan sangat diperlukan untuk mengkonstruksi kemampuan dalam berpikir kritis, terutama di era post-truth saat ini (Lazer, 2018). Meskipun membangun kemampuan masyarakat umum dalam memilah dan memilih informasi melalui jalur pendidikan formal adalah intevensi jangka panjang, namun sudah saatnya untuk dilakukan segera. Edukasi literasi digital, perlu sedini mungkin dimulai dari institusi keluarga, yang lantas perlu diperkuat dengan pelibatan institusi sekolah (Kurnia, 2017).
ADVERTISEMENT
Ibarat perjalanan pada padang pasir nan terik dan tandus, ternyata masih dapat ditemui sejumlah oase yang menyediakan ragam asupan bagi para pegiat literasi digital. Terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 37 Tahun 2018 terkait masuknya mata pelajaran informatika ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah, adalah salah satu sinyal positif. Peraturan tersebut menetapkan kompetensi dasar yang digunakan sebagai acuan pembelajaran, salah satunya terkait sub-bahasan tentang Dampak Sosial Informatika.
Pada Februari 2019 telah diadakan konsinyering penyusunan bahan ajar informatika untuk tingkatan SD, SMP, SMA, dan SMK yang melibatkan sejumlah guru bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dari Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, dan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi. Inilah langkah awal yang perlu senantiasa dikawal serta didukung,
ADVERTISEMENT
GNLD Siberkreasi yang diinisiasi bersama pada Oktober 2017 silam tersebut kini telah memiliki jejaring kemitraan tak kurang dari 100 institusi/lembaga, dengan kegiatan kolaborasi unggulan semisal School of Influencer, Kreator Nongkrong dan Pandu Digital. Selain itu para mitranya pun menggelar sejumlah program mandiri, semisal Smart School Online yang menyediakan sejumlah rujukan edukasi literasi digital secara gratis, melengkapi yang telah disimpan pula pada situs repositori khusus materi literasi digital di laman web literasidigital.id.
Kemudian sejumlah inisiatif akar rumput juga telah hadir terlebih dahulu seperti kampanye Internet Sehat sejak 2002 silam dan Relawan TIK Indonesia yang ribuan anggotanya tersebar dari Aceh hingga Papua. Inisiatif baru pun hadir dari gerakan Pramuka Kwartir Daerah (Kwarda) Jawa Tengah yang memiliki satuan karya (saka) Milenial, dengan dua unggulan Syarat Kecakapan Khusus (SKK) yaitu Bijak Media Sosial dan Pembicara Literasi Digital. Ada pula inisiatif anak muda yang membahas isu-isu tata kelola Internet dan kebebasan berekspresi secara lebih kontekstual dan relevan, semisal oleh mereka yang tergabung dalam Youth ID-IGF dan SAFEnet.
Gambar 5. Infografis Miss Lambe Hoaks
Sejumlah inisiatif unggulan sebagai medium perilaku konfirmasi (checking behaviour) juga telah dilakukan oleh sejumlah pihak. Sebutlah oleh mereka yang berkolaborasi dalam situs jejaring informasi cekfakta.com, stophoaks.id, dan turnbackhoax.id, dengan salah satu motornya dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) yang secara berkala memberikan pembaharuan informasi dan penjelasan tentang beredarnya sejumlah kabar bohong terkini di Internet. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pun secara mingguan merilis laporan ke publik terkait isu hoaks dan penjelasannya, serta membungkusnya secara kekinian via ikon “Miss Lambe Hoaks” via akun Instagram @misslambehoaks dan kanal YouTube. Ada pula portal informasi yang walau besutan "plat merah" namun berhasil digarap dengan cita rasa "milenial", yaitu IndonesiaBaik.id, hingga diganjar penghargaan tertinggi sebagai Winner WSIS Prizes 2017 dari ITU / PBB.
Gambar 6. Ilustrasi Kualitas Partisipasi
Tentu saja melakukan kerja-kerja kolaborasi multistakeholder ini adalah tantangan tersendiri mengingat kompleksitasnya terkait dengan legitimasi pemangku kepentingan, partisipasi dialog, dan efektifitas berikut efisiensi proses (Donny B.U., ed., 2018). Pun mengembangkan dan menyepakati sebuah standar umum yang perlu dilakukan berdasarkan kepentingan bersama, tentu perlu kesabaran ekstra dalam melakukan hal sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Para pekerja dan pegiat sektor literasi serta edukasi tentu paham, tidak ada yang instan dalam proses pembangunan kapasitas sumber daya manusia. Ketika berkolaborasi dengan basis multistakeholder, sejatinya menuntut kesabaran ekstra. Budaya melakukan dialog dan bahkan debat haruslah dipelihara, sebagai bagian dari pematangan strategi membangun kapasitas sumber daya manusia di era milenial.
Jika di kehutanan kita mengenal istilah reboisasi, atau di kesehatan sangat mafhum kita tentang pentingnya imunisasi, maka di era persaingan informasi tanpa batas ini kita perlu adanya strategi literasi (digital). UNESCO (Nancy Law, 2018) pun memberikan deskripsi yang jelas, bahwa literasi digital adalah kemampuan untuk mengakses, mengelola, memahami, mengintegrasikan, berkomunikasi, mengevaluasi, dan membuat informasi secara aman dan tepat melalui teknologi digital untuk pekerjaan, pekerjaan yang layak dan kewirausahaan. Ini mencakup kompetensi yang beragam disebut sebagai literasi komputer, literasi TIK, literasi informasi dan literasi media. ICT Watch pun telah menawarkan konsep Kerangka Literasi Digital Indonesia, yang terdiri atas 3 (tiga) bagian utama, yaitu perlindungan keamanan pribadi, pemenuhan hak-hak dan pemberdayaan kapabilitas diri (Donny B.U., ed., 2017).
ADVERTISEMENT
Kerja-kerja literasi, sebagaimana lazimnya kerja di sektor pendidikan, adalah kerja yang menuntut ketelatenan dan kesabaran dengan hasil yang tak dapat dengan instan seketika abrakadabra muncul di depan mata. Mengutip ungkapan dari seorang filsuf Yunani kenamaan, Aristoteles, “the roots of education are bitter, but the fruit is sweet”, maka tak ada buah dari kesabaran dalam proses pendidikan selain peningkatan kompetensi sumber daya manusia secara berkelanjutan. Tetapi juga tidak bisa kita duduk diam berlama-lama, sementara ada ratusan juta pengguna Internet muda yang mengandalkan Internet sebagai salah satu rujukan informasi untuk pengambilan keputusan. Apakah itu keputusan terkait pendidikan, pekerjaan maupun politik sekalipun.
Data pun bicara bahwa dari total 150 juta pengguna Internet Indonesia, atau sekitar 56% total penduduk Indonesia (Kemp, 2019), mereka yang berusia 19-34 tahun berjumlah sekitar 50%-nya (APJII, 2017). Ini adalah mereka yang juga dapat tergolong sebagai pemilih mula atau muda dalam Pemilu serentak pada April 2019. Demi mereka, demi masa depan Indonesia, kita memang harus bergegas. Bergegas, bukan berarti menjadi gegabah atau grasa-grusu.
ADVERTISEMENT
Jangan sampai lantaran abai, lengah pun gegabah memaknai inisiatif dan kerja literasi digital ini, kelak harus dibayar sangat mahal lantaran Internet kian dipenuhi-sesaki oleh hoaks, kabar bohong dan ragam hal yang menumpulkan nalar sehat. Maka dapatlah kita kembali pertegas bahwa kerja bersama para pegiat literasi digital Indonesia, adalah kemutlakan tanpa negosiasi. Ini adalah kerja untuk Indonesia yang lebih baik, kalau tidak sekarang kapan lagi, kalau tidak kita siapa lagi. Salam literasi digital!
ADVERTISEMENT
Keterangan: