Belajar Toleran

Liza L Arifin
Studied Fine arts at The Sir john Cass faculty of arts, architecture and design (London Guildhall University) 2001
Konten dari Pengguna
11 Mei 2017 10:47 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Liza L Arifin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Toleransi (Foto: JohnHain/Pixabay)
(Pengalaman sekian tahun silam waktu masih bekerja di sebuah sekolah di London. Semoga ada manfaatnya.) Kami sesama staf sekolah biasa berbincang tentang berbagai persoalan di waktu makan siang. Kadang sekadar ngegosip, kadang membicarakan murid, kadang sekadar bercanda, kadang serius.
ADVERTISEMENT
Belum lama lalu kami memperbincangkan persoalan hubungan antara murid beragama Islam dengan yang beragama lain. Maklum, murid di sekolah tempat saya bekerja banyak yang berasal dari Somalia dan Ethiopia yang hampir semuanya beragama Islam.
Banyak guru mempertanyakan mengapa banyak orang tua murid yang beragama Islam tidak diizinkan orang tuanya untuk ke gereja mengikuti pelajaran tentang agama Kristen. Bukan belajar agama Kristen, tetapi tentang agama Kristen. Padahal, itu sudah masuk menjadi standard kurikulum sekolah di Inggris. Bukankah mereka yang non-Muslim juga pergi ke Mesjid untuk belajar tentang agama Islam? Ataupun juga yang non-Hindu pergi ke kuil untuk belajar tentang agama Hindu?
Saya sebagai seorang muslimah susah menjawabnya. Yang bisa saya katakan hanyalah bahwa saya sebagai pribadi tidak mempermasalahkan. Dalam pengertian, pergi ke gereja dan belajar tentang agama Kristen, menurut saya tidak akan membuat seseorang kemudian menjadi Kristen.
ADVERTISEMENT
Saya menganggap gereja sekadar sebuah bangunan dan datang tidak untuk beribadah. Berbeda sama sekali bila saya datang ke mesjid. Dengan datang ke gereja, saya justru kemudian bisa membandingkan dengan agama yang saya yakini.
Tetapi tentu saja saya katakan kepada kolega saya, apa yang saya kemukakan tidak bisa mewakili apa yang ada di benak orang tua murid yang melarang anak-anak mereka ini. Semua orang berbeda.
Persoalan lain adalah soal daging babi. Belum lama lalu pemerintah Greenwich, katakanlah pemerintah setingkat kecamatan kalau di Indonesia – tempat sekolah saya berada, melarang penyediaan makanan yang mengandung babi untuk makan siang di kantin sekolah. Konon disebabkan oleh banyaknya protes dari kalangan orang tua murid yang beragama Islam. Saya yakin di antaranya datang dari sekolah tempat saya bekerja.
ADVERTISEMENT
 
Menjadi staf pengajar di London (Foto: Dok. Pribadi)
Sekarang muncul tuntutan dari kalangan non-Muslim yang menginginkan dikembalikannya makanan yang mengandung atau berasal dari daging babi. Mereka mengatakan tindakan pelarangan itu tidak adil. Karena selama ini disamping makanan yang mengandung babi juga telah tersedia makanan halal dan vegetarian yang bisa dikonsumsi oleh kalangan muslim. Apakah itu tidak cukup?
Kolega saya tentu saja tidak bertanya mengenai hal itu kepada saya, tetapi saya kerepotan dan salah tingkah ketika membicarakan hal itu. Bagaimanapun saya adalah satu dari sedikit staff yang kebetulan beragama Islam dan mau berkumpul dengan mereka yang non-Muslim. Saya katakan secara pribadi saya juga tak mengerti dengan keputusan pemerintah Greenwich. Saya termasuk yang mendukung tersedianya makanan halal dan vegetarian. Dan keberadaan makanan yang halal dan vegetarian bagi saya sudah cukup. 
ADVERTISEMENT
Saya sadar saya hidup di negara non-Muslim yang sekuler. Kalau hak saya dihormati itu sudah cukup. Saya perlu beradaptasi tanpa harus mengorbankan prinsip hidup saya. Dan tentu saja saya tidak bisa memaksa orang lain untuk mengorbankan prinsip hidup mereka untuk saya. Toleransi dan saling menghormati, bagi saya itulah kuncinya.
LA