Konten dari Pengguna

Krisis Etika Digital: Penyebaran Video Syur Guru dan Siswi di Gorontalo

Lodefikus Iryo Floyembun
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP)
26 September 2024 14:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lodefikus Iryo Floyembun tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelecehan Seksual. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Kasus penyebaran video syur yang melibatkan oknum guru dan siswi Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 di Gorontalo mulai viral di media sosial pada September 2024. Video tersebut menyebar dengan cepat di berbagai platform media sosial dan memicu pembicaraan terkait pelanggaran privasi, etika digital, dan dampak sosial yang serius. Kejadian ini bukan hanya mencoreng dunia pendidikan, tetapi juga merupakan bentuk pelanggaran privasi digital karena penyebaran konten dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus ini, apa yang seharusnya menjadi ranah privasi antara dua individu berubah menjadi konsumsi publik. Peristiwa yang diduga terjadi di sebuah kos itu direkam dengan diam-diam kemudian disebarluaskan di media sosial tanpa sepengetahuan oknum guru berinisial DA (57) dan siswi kelas XII (18) yang terlibat dalam video tersebut. Situasi ini menggambarkan betapa mudahnya informasi pribadi dapat disebarkan tanpa kontrol di era digital saat ini. Penyebaran konten semacam ini tidak hanya melibatkan pelanggaran moral dan hukum, tetapi juga menciptakan trauma bagi korban, yang sering kali menjadi subjek stigma sosial.
Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia, penyebaran konten asusila tanpa persetujuan pihak terkait termasuk dalam tindakan kriminal yang dapat dikenakan hukuman berat. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang melanggar kesusilaan.
ADVERTISEMENT
Oknum guru yang terlibat dalam kasus ini sudah diberikan sanksi internal berupa penonaktifan dari tugas mengajar oleh pihak Kementerian Agama (Kemenag) Gorontalo. Selain itu, pihak kepolisian juga telah menerima laporan dari keluarga korban dan proses hukum terhadap guru tersebut sedang berlangsung.
Namun, tidak cukup hanya berhenti pada hukuman bagi pelaku utama. Mereka yang ikut serta dalam penyebaran video ini juga harus bertanggung jawab. Dalam banyak kasus serupa, penyebaran video tersebut tidak hanya dilakukan oleh satu orang, tetapi diperbanyak oleh orang-orang lain yang membagikan video tanpa berpikir panjang tentang konsekuensinya. UU ITE memberikan ketegasan bahwa tindakan semacam ini bisa dijerat hukum, dengan ancaman hukuman pidana yang serius.
Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dalam kasus ini adalah dampak sosial dan psikologis yang dialami oleh korban, terutama siswi yang masih berada di bawah umur. Sudah menjadi fakta bahwa korban penyebaran konten asusila sering kali mengalami trauma berat, yang berakibat pada depresi, kecemasan, bahkan keinginan untuk bunuh diri. Juga tak jarang mereka yang terlibat dalam kasus seperti ini kemungkinan dikeluarkan dari sekolah. Sangat disayangkan karena siswi tersebut bisa saja mengalami apa yang menjadi kekhawatiran ini.
ADVERTISEMENT
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Worraket/Shutterstock
Belum lagi berhadapan dengan kebiasaan masyarakat yang sering kali menyalahkan korban, memungkinkan siswi tersebut berisiko menghadapi tekanan fisik dan psikis. Sebagai korban, dia bisa dikucilkan dari lingkungan sekolah maupun di dalam lingkungan masyarakat. Trauma psikologis ini dapat bertahan lama, terutama jika tidak ada dukungan psikologis yang memadai. Oleh karena itu bimbingan konseling di sekolah dan perlindungan psikologis dari keluarga sangat diperlukan untuk membantu korban pulih dari pengalaman traumatis tersebut. Di samping itu, pihak sekolah dan masyarakat juga harus berperan aktif dalam memberikan dukungan agar korban tidak merasa terisolasi.
Peran media sosial dalam kasus ini sangat signifikan. Dalam era digital seperti sekarang, penyebaran video syur bisa terjadi dalam hitungan menit, bahkan detik. Setelah video diunggah ke internet, sangat sulit untuk menghentikan penyebarannya. Seperti dalam kasus video syur guru dan siswi di Gorontalo, meskipun pihak kepolisian telah mengimbau masyarakat untuk tidak menyebarkan video tersebut, banyak pengguna media sosial yang tetap membagikan atau mencari tautan video.
ADVERTISEMENT
Perilaku semacam ini menunjukkan rendahnya kesadaran etika digital di kalangan masyarakat. Banyak orang tidak menyadari bahwa tindakan menyebarkan video yang melanggar privasi adalah tindakan kriminal yang bisa berujung pada tuntutan hukum. Masyarakat digital harus lebih bijaksana dan berhati-hati dalam menggunakan teknologi. Netizen memiliki tanggung jawab moral untuk menghentikan penyebaran video semacam ini. Setiap tindakan, baik mengunggah, membagikan, atau bahkan hanya menonton, berkontribusi pada penyebaran lebih lanjut konten tersebut, yang semakin memperburuk situasi.
Dari sini kita dapat melihat bahwa media sosial adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial memberikan kebebasan untuk berbagi informasi dan terhubung dengan orang lain. Namun, di sisi lain, kebebasan ini sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan konten yang merugikan orang lain. Untuk itu, penting bagi setiap pengguna media sosial untuk memiliki kesadaran dan tanggung jawab dalam menjaga privasi orang lain. Memastikan bahwa apa yang kita bagikan di internet tidak melanggar hak privasi orang lain adalah salah satu langkah penting dalam membangun lingkungan digital yang lebih sehat dan aman.
ADVERTISEMENT
Kasus seperti ini menegaskan kebutuhan mendesak untuk pendidikan tentang etika digital, khususnya di kalangan anak muda dan pelaku pendidikan. Etika digital bukan hanya tentang menjaga perilaku online yang baik, tetapi juga tentang memahami hak dan tanggung jawab kita sebagai pengguna teknologi. Dalam konteks pendidikan, sekolah dan institusi terkait harus memberikan pendidikan tentang bagaimana menggunakan internet dan media sosial secara bijaksana.
Selain itu, pemerintah juga harus lebih gencar dalam menyosialisasikan undang-undang yang berkaitan dengan perlindungan privasi digital. Banyak masyarakat yang belum memahami secara penuh bahwa tindakan mereka di dunia maya dapat membawa konsekuensi hukum yang serius. Dengan edukasi yang lebih baik tentang UU ITE dan dampak dari penyebaran konten tanpa izin, diharapkan kesadaran akan etika digital di Indonesia dapat meningkat.
ADVERTISEMENT
Kasus penyebaran video syur guru dan siswi di Gorontalo menunjukkan betapa rentannya privasi individu di era digital. Penyebaran konten tanpa izin adalah pelanggaran serius yang merusak martabat manusia dan melanggar hukum. Di era digital ini, setiap orang memiliki tanggung jawab untuk menjaga privasi dan etika dalam menggunakan teknologi. Pendidikan tentang etika digital dan pemahaman yang lebih baik tentang undang-undang yang mengatur privasi di internet harus menjadi prioritas, baik di kalangan masyarakat umum maupun di dunia pendidikan. Hanya dengan peningkatan kesadaran bersama, kita bisa menciptakan lingkungan digital yang lebih aman dan bermartabat, di mana hak-hak privasi setiap individu dihormati dan dilindungi.