Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Bangladesh dalam Bayang-bayang Kekerasan Politik
8 Agustus 2024 11:28 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari MOH ALI S, M, M, PSDM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bangladesh saat ini berada dalam bayang-bayang kekerasan politik dan dominasi, di mana pemerintah yang dipimpin oleh Sheikh Hasina menghadapi gelombang protes besar-besaran dari mahasiswa dan masyarakat yang tidak puas dengan kondisi ekonomi dan politik yang ada. Tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintah, termasuk penggunaan kekerasan oleh polisi dan militer serta penutupan akses internet, semakin memperburuk situasi dan menunjukkan ketidakmampuan rezim untuk menangani kritik secara demokratis.
ADVERTISEMENT
Ketidakadilan sistem kuota dalam pekerjaan pemerintah, inflasi yang melonjak, dan pengangguran yang tinggi telah menjadi pemicu utama ketidakpuasan rakyat. Dalam konteks ini, mahasiswa memainkan peran penting sebagai agen perubahan, menuntut reformasi politik yang lebih inklusif dan menolak keterlibatan militer dalam pemerintahan.
Aksi protes yang terjadi di Bangladesh beberapa waktu terakhir merupakan cerminan dari ketidakpuasan mendalam terhadap pemerintah yang korup dan otoriter, sebuah fenomena yang telah terjadi di berbagai negara lainnya seperti Indonesia pada tahun 1998, Tunisia pada 2010, dan Hong Kong pada 2019, di mana masyarakat, terutama mahasiswa dan pemuda, turun ke jalan menuntut keadilan, demokrasi, dan pemerintahan yang lebih baik.
Gelombang aksi ini melibatkan ribuan mahasiswa dan pemuda yang secara signifikan memimpin demonstrasi, didukung oleh berbagai elemen masyarakat yang juga merasa tidak puas dengan kondisi ekonomi dan politik yang ada, termasuk kelompok-kelompok sipil, buruh, dan organisasi non-pemerintah.
ADVERTISEMENT
Perjuangan mahasiswa dalam mengubah sistem negara yang korup dan otoriter menunjukkan bahwa mereka memiliki peran vital dalam menciptakan reformasi politik. Di Bangladesh, mereka menuntut pemilihan umum yang bebas dan adil serta pembentukan pemerintahan sementara yang tidak melibatkan militer.
Mereka juga menolak keterlibatan militer dalam politik, menunjukkan kesadaran akan pentingnya pemerintahan sipil yang demokratis. Gerakan mahasiswa ini, jika berhasil, dapat membuka jalan bagi reformasi politik yang lebih inklusif dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi di Bangladesh.
Hal ini sejalan dengan pernyataan M. Foucault dalam bukunya yang berjudul "Violence et Politique", di mana aksi-aksi protes seperti ini sering kali dipahami sebagai reaksi terhadap kekuasaan yang represif dan otoriter. Foucault menyoroti bagaimana kekerasan dan politik sering kali saling terkait, di mana rezim yang otoriter menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, sementara masyarakat yang tertindas menggunakan protes dan aksi massa sebagai sarana untuk melawan dominasi tersebut.
ADVERTISEMENT
seperti halnya aksi protes besar-besaran di Bangladesh dipicu oleh keputusan pengadilan tinggi pada Juni 2024 yang membatalkan penghapusan sistem kuota pemerintah. Sistem kuota ini memberikan 56 persen posisi pemerintahan kepada kelompok tertentu, termasuk 30 persen untuk keturunan pejuang kemerdekaan 1971. Banyak yang menganggap regulasi ini menghalangi peluang generasi muda dan menciptakan ketidakadilan dalam akses terhadap pekerjaan pemerintah.
Kontroversi semakin memanas karena banyaknya posisi kuota yang diberikan kepada pendukung Liga Awami, partai berkuasa yang dipimpin oleh Sheikh Hasina. Keputusan ini memicu ketidakpuasan mendalam di kalangan mahasiswa dan pemuda yang merasa hak mereka dirampas dan kesempatan kerja semakin sempit.
Selain masalah kuota, protes ini juga dipicu oleh kondisi ekonomi yang memburuk di bawah pemerintahan Hasina. Meskipun Bangladesh mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan, dengan peningkatan PDB yang tinggi, dampak positifnya tidak dirasakan oleh mayoritas rakyat.
ADVERTISEMENT
Tingkat pengangguran yang tinggi, terutama di kalangan pemuda, serta inflasi yang melonjak menjadi sumber ketegangan utama. Data Bank Dunia menunjukkan bahwa inflasi di Bangladesh mencapai 9,9 persen pada tahun 2023, hampir dua kali lipat dari inflasi pada tahun 2021. Sementara itu, tingkat pengangguran tetap lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Indonesia. Ketimpangan ekonomi juga semakin meningkat, dengan Gini ratio yang menunjukkan ketimpangan yang semakin besar.
Semua faktor ini, ditambah dengan dugaan korupsi dan nepotisme dalam pemerintahan, menciptakan situasi yang memicu gelombang protes besar-besaran di seluruh negeri.
Pentingnya Negara Bebas dari Penindasan terhadap Rakyat
Negara yang bebas dari penindasan terhadap rakyatnya adalah prasyarat untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Penindasan, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kebijakan yang tidak adil, merusak dasar-dasar demokrasi dan hak asasi manusia.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks protes di Bangladesh, tindakan represif pemerintah, seperti penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi dan militer, menutup akses internet, dan penangkapan pemimpin mahasiswa, mencerminkan bagaimana kekuasaan yang otoriter berusaha mempertahankan kontrol dengan menindas oposisi.
Menurut Foucault dalam "Violence et Politique," kekerasan yang dilegitimasi oleh negara sering kali digunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang tidak sah. Hal ini tidak hanya berlaku di Bangladesh tetapi juga di berbagai negara lain yang telah mengalami protes serupa, seperti Indonesia pada tahun 1998. Ketika mahasiswa dan rakyat bersatu menentang rezim yang korup dan otoriter, mereka menuntut kebebasan, keadilan, dan pemerintahan yang bertanggung jawab.
Negara yang bebas dari penindasan akan menghormati hak asasi manusia, memastikan keadilan sosial, dan memberikan kesempatan yang sama bagi semua warganya. Ini termasuk akses yang adil terhadap pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik. Dengan menciptakan lingkungan di mana rakyat dapat menyuarakan pendapat mereka tanpa takut akan tindakan balasan, negara dapat membangun kepercayaan antara pemerintah dan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Inilah esensi dari pemerintahan yang benar-benar demokratis dan bertanggung jawab, di mana kekuasaan digunakan untuk melayani kepentingan umum, bukan untuk menindas dan mengeksploitasi rakyat. Semoga Indonesia bisa mengambil ibroh dari apa yang terjadi pada Bangladesh dan terus berbenah agar kejadian tahun 1998 tidak terulang untuk kedua kalinya.