Konten dari Pengguna

Gelombang Protes atas Kenaikan Pajak Hiburan

MOH ALI S, M, M, PSDM
Mahasiswa Pascasarjana Pengembangan Sumber Daya Manusia Universitas Airlangga Surabaya
15 Januari 2024 12:50 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari MOH ALI S, M, M, PSDM tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi membayar pajak. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kenaikan pajak hiburan sebesar 40-75% menjadi sorotan utama di kalangan pelaku industri hiburan, terutama setelah diterapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Bagaimana dampak kebijakan ini terhadap pertumbuhan industri hiburan, dan apakah pemerintah benar-benar mendukung atau justru mematikan sektor ini?
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 membawa perubahan signifikan terkait pajak hiburan di Indonesia. Pasal 58 ayat (2) UU tersebut menetapkan tarif Pajak Barang Dan Jasa Tertentu (PBJT) khusus untuk jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, klub malam, bar, dan mandi uap/spa. Dengan tarif minimal 40% dan maksimal 75%, kebijakan ini menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Gelombang protes bermunculan, beberapa pihak yang telah menyuarakan protes termasuk pelaku industri hiburan, khususnya pedangdut dan pengusaha karaoke Inul Daratista. Selain itu, tokoh publik seperti pengacara dan pemilik bisnis hiburan Hotman Paris juga mengungkapkan kekhawatiran dan protes terhadap kenaikan pajak yang dianggap signifikan.
Protes juga muncul dari asosiasi seperti Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Ketua Umum IKPI, Ruston Tambunan, menyatakan bahwa kenaikan pajak seharusnya dilakukan secara bertahap untuk mengikuti perkembangan industri hiburan dan menghindari dampak negatif pada konsumsi wisatawan domestik dan mancanegara.
ADVERTISEMENT
Selain itu, kemungkinan adanya protes dan kekhawatiran dapat berasal dari konsumen dan pelaku usaha lainnya di sektor hiburan, seperti pengelola diskotek, klub malam, bar, dan tempat hiburan lainnya yang terkena dampak langsung dari kenaikan tarif pajak.
Meskipun belum seluruhnya diwakili, protes ini mencerminkan keprihatinan dan ketidakpuasan dari sebagian kalangan terhadap kebijakan pajak hiburan yang dianggap memberatkan industri dan dapat berdampak pada konsumsi serta daya saing industri pariwisata.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno, menjawab gelombang protes ini dengan menekankan bahwa kebijakan ini masih dalam proses judicial review di Mahkamah Konstitusi. Namun, pertanyaan mendasar tetap bergulir: Apakah pemerintah benar-benar ingin mematikan industri hiburan ataukah ada niat mendukung pertumbuhannya? Mari kita ulas secara tuntas.
ADVERTISEMENT

Bagaimana Dampaknya Terhadap Pelaku Usaha dan Konsumen?

Pelaku usaha di sektor hiburan merasa terbebani dengan kenaikan pajak yang signifikan. Sebagai mana adanya protes yang telah bermunculan. Dalam UU sebelumnya, tarif tertinggi untuk pajak hiburan adalah 35 persen, namun, dengan adanya perubahan ini, terjadi lonjakan hingga 75 persen. Bagaimana kondisi keuangan pelaku usaha, dan apakah hal ini berpotensi memicu penutupan bisnis?
Kenaikan harga jasa hiburan akibat pajak telah menimbulkan perhatian terhadap bagaimana konsumen merespons di tengah situasi pandemi yang belum sepenuhnya pulih. Salah satu faktor utama yang diperhitungkan adalah daya beli konsumen. Dengan biaya hiburan yang meningkat, konsumen mungkin akan lebih hati-hati dalam mengelola anggaran mereka, memilih kegiatan hiburan yang lebih terjangkau, atau bahkan mengurangi frekuensi partisipasi dalam kegiatan di luar rumah.
ADVERTISEMENT
Pengaruh pandemi yang masih terasa juga turut memengaruhi respons konsumen. Ketidakpastian finansial yang masih dirasakan oleh sebagian konsumen dapat membuat kenaikan harga jasa hiburan menjadi beban tambahan yang mempengaruhi keputusan pembelian mereka. Selain itu, ada potensi perubahan dalam preferensi konsumen, yang mungkin beralih ke alternatif hiburan yang lebih ekonomis atau memilih untuk mengurangi pengeluaran secara keseluruhan.
Dalam beberapa komentar pasca tanggapan diberikan sandiaga uno dalam postingannya di beberapa media sosial seperti Instagram. Beragam komentar bermunculan, mulai dari yang lebih memilih berlibur ke luar negeri seperti Thailand. Menurut mereka karena di sana lebih murah, variasi wisata dan transportasi yang lebih terjangkau. Thailand memang memberikan keringanan pajak. Dia menyebut pajak hiburan negara itu dikurangi menjadi 5%. Menurutnya, itu menarik di mata pelancong, sehingga orang banyak yang memilih berlibur ke sana.
ADVERTISEMENT
Senada dengan pernyataan tersebut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti kontroversi seputar kenaikan tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang menargetkan industri hiburan. Dalam pandangan mereka, peningkatan tarif pajak dapat mengakibatkan ketidakkompetitifan. Apindo juga mencatat bahwa Thailand justru mengurangi pajaknya untuk mencapai pertumbuhan pariwisata yang lebih tinggi. Mereka berpendapat bahwa nilai pajak hiburan seharusnya tidak melebihi 10 persen, sejalan dengan pajak yang diterapkan pada sektor hotel dan restoran. Dengan ini, Apindo menginginkan keseimbangan antara mendukung pendapatan negara melalui pajak dan menjaga daya saing industri hiburan
Jika konsumen secara signifikan mengurangi pengeluaran untuk hiburan atau bahkan memilih alternatif dan memilih liburan ke luar negeri, ini dapat mempengaruhi pendapatan dan keberlanjutan bisnis di sektor ini. Respons pemerintah terhadap kekhawatiran konsumen juga menjadi faktor penentu. Langkah-langkah atau insentif yang diberikan untuk meredakan dampak kenaikan harga dapat membantu memitigasi ketidakpuasan konsumen.
ADVERTISEMENT
Menanggapi kontroversi ini, penting untuk merinci langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemerintah dan pelaku usaha. Hemat saya, data dan informasi yang relevan perlu dicermati dengan seksama. Mengenai pernyataan resmi pemerintah menjadi titik awal dalam menjawab pertanyaan tersebut, di mana keterbukaan dan kejelasan mengenai tujuan kenaikan pajak hiburan dapat memberikan pandangan yang lebih jelas.
Dalam melihat dampak kenaikan pajak terhadap industri hiburan, pemerintah juga seharusnya menyampaikan data tentang penutupan usaha, penurunan pendapatan, dan perubahan dalam jumlah lapangan kerja. Sehingga, itu menjadi indikator penting untuk memahami konsekuensi nyata dari kebijakan ini.
Kemudian, komunikasi dan konsultasi antara pemerintah dan pelaku industri sebelum implementasi kebijakan juga bisa dilakukan, sekaligus memberikan gambaran tentang sejauh mana kebijakan ini memperhitungkan masukan dari pihak terkait.
ADVERTISEMENT
Tinjauan terhadap tren investasi dan pengembangan dalam industri hiburan sebelum dan setelah pengumuman kenaikan pajak juga dapat memberikan wawasan mengenai daya tarik sektor ini bagi para investor. Selain itu, perbandingan kebijakan pajak hiburan Indonesia dengan negara-negara lain dapat membantu menentukan sejauh mana Indonesia bersaing dalam industri pariwisata secara global.
Jika data menunjukkan dampak merugikan pada industri hiburan, maka perlu adanya pertimbangan terkait kebijakan kenaikan pajak tersebut. Salah satunya dengan konsultasi lanjutan dengan pelaku industri hiburan, serta pemberian insentif dan keringanan pajak menjadi rekomendasi yang dapat dipertimbangkan.
Transparansi mengenai penggunaan pendapatan pajak hiburan juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat, dengan memastikan bahwa pajak tersebut diarahkan untuk kepentingan umum dan pembangunan nasional.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, analisis mendalam yang didukung oleh data akan menjadi dasar untuk menghasilkan kebijakan yang seimbang dan mendukung pertumbuhan sektor hiburan tanpa mengorbankan keberlanjutan industri.