Konten dari Pengguna

Belajar Merelakan Usai Ditinggal Mati Hewan Peliharaan

18 November 2019 11:52 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lolita VC tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak dan burung peliharaan. Dok Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak dan burung peliharaan. Dok Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sabtu (16/11), aku baru saja menyelesaikan episode kedua horror series berjudul 'The Haunting of Hill House'. Dalam sebuah adegan, diceritakan Shirley, gadis berusia 10 tahun, terkejut melihat anak-anak kucing yang ia pelihara mati.
ADVERTISEMENT
Tangannya gemetar, pupil matanya membesar, raut wajahnya ketakutan namun juga bertanya-tanya. Sebentar kemudian, Shirley menangis.
Adegan ini mengingatkan aku ketika pertama kali berhadapan dengan 'kematian'. Dulu, entah usia berapa saat itu, aku punya hewan peliharaan seekor anak burung nuri, ku namai dia Hedwig-mirip burung kesayangan Harry Potter yang ku gandrungi waktu itu. Ayah memberikannya padaku, katanya supaya aku belajar sabar dan telaten.
Bulunya kuning dengan semburat hijau muda. Cantik dan lucu. Setiap pulang sekolah, Hedwig selalu jadi perhatian utamaku. Aku mengajaknya ngobrol, bercerita, bahkan tidur seranjang denganku di kamar.
Ilustrasi burung. Dok Shutterstock
Berselang dua minggu kemudian, saat aku asik menonton tv, aku menemukan Hedwig tergeletak lunglai di kandangnya sendiri. Ekspresiku mungkin sama dengan yang dirasakan Shirl dalam film tersebut, bedanya tanganku tak bergetar. Kemudian aku nangis sesenggukan, menyalahkan diri sendiri, merasa gagal sekaligus ketakutan dimarahi ayah.
ADVERTISEMENT
Aku membuka kandang Hedwig, mengangkat tubuhnya dengan hati-hati lalu meletakannya di kedua telapak tanganku. Ku bawa ia ke dalam kamar, ia tetap tak bergerak. Membayangkan betapa sedihnya Hedwig menghadapi sakratulmaut tanpa aku di sisinya, yang malah asik nonton tv.
Selanjutnya, aku mengambil telepon rumah lalu menghubungi ibu.
"Ibu, burungnya mati. Enggak bergerak", kataku masih sesenggukan.
Aku ingat, sebelum menjawab ibu tertawa kecil di ujung telepon.
"Mati? Ya, enggak apa-apa, memang susah merawat anak burung. Enggak apa-apa, nanti ibu pulang kita kubur, ya," jawabnya.
Aku dan ibuku lantas mengubur Hedwig di dalam pot tanaman. Sambil berucap maaf dalam hati karena tak menjaganya dengan baik dan hidup.
ADVERTISEMENT
Hal itu bukan tanpa alasan. Joshua Russell, seorang asisten profesor ilmu lingkungan di Canisius College, Buffalo, New York, yang mempelajari tentang efek kehilangan hewan peliharaan pada anak menyebut bahwa anak menganggap hewan peliharaan lebih dari seorang teman.
"Banyak anak mendeskripsikan hewan peliharaan mereka sebagai saudara atau sahabat yang memiliki hubungan yang kuat," katanya dilansir dari New York Times.
Sebagai bocah dengan pengalaman pertama ditinggal mati hewan peliharaan, saat itu aku mendeskripsikan 'kematian' adalah hal yang menyakitkan, menakutkan, pengalaman buruk, dan aku tak ingin cepat mati.
Sementara itu, dalam jurnal yang Russell tulis, disebutkan bahwa 12 anak berusia 6 hingga 13 tahun mengatakan bahwa hingga 7 tahun usai ditinggal mati oleh hewan peliharaan, mereka masih mengenangnya sebagai 'hari terburuk dalam hidupnya'.
ADVERTISEMENT
Sedangkan bagiku, usai kehilangan Hedwig, butuh waktu cukup lama, yakni hingga masuk kuliah, untuk melupakan kenangan buruk itu lalu memberanikan diri kembali memelihara hewan.
Di film The Haunting of Hill House, Shirley beruntung karena kedua orang tuanya memahami bahwa ditinggal mati oleh hewan peliharaan adalah kenangan buruk bagi anak.
Sang ibu mencoba menenangkan dengan mengatakan,"Tidak apa-apa, memang anak kucing seharusnya bersama induknya. Itu bukan salahmu, kami semua juga ikut berduka," kata Ibunda Shirl.
Keesokan harinya Shirley, ibu, dan ayahnya, menguburkan anak kucing tersebut di halaman rumah. Ibunda Shirley meletakan bangkai anak kucing itu dalam sebuah kotak yang cantik berwarna ungu.
"Aku memberikan sedikit hiasan untuknya, karena ia pantas mendapatkan tempat peristirahatan yang spesial," kata ibu Shirley.
ADVERTISEMENT
Sebelum dikuburkan, Shirley memberikan sedikit pidato untuk anak kucing tersebut sekaligus sebagai ekspresi duka yang diluapkan agar kesedihan tak berlama-lama hinggap di hatinya.
"Dia anak kucing yang baik, dan tak pernah melukai siapa pun seumur hidupnya, tak semua orang bisa begitu," ujar Shirley.
Usai menguburkan anak kucing itu, Shirley kembali ceria dan melupakan peristiwa buruk tersebut. Meskipun di adegan selanjutnya anak kucing lainnya ikut mati dengan cara tak wajar, tapi kan, ya namanya film horor.
Meski hanya cerita fiksi, namun adegan yang memperlihatkan kehadiran orang tua Shirley menemaninya dan ikut merasakan duka yang dirasakan anaknya adalah hal yang seharusnya juga dilakukan orang tua ketika sang anak melewati fase serupa.
ADVERTISEMENT
Russel menjabarkan, alih-alih menyebut hewan peliharaan sedang 'tidur' padahal mati atau hewan 'kabur' untuk menyembunyikan duka anak, sebaiknya orang tua mengatakan yang sejujurnya pada anak.
Salah satunya dengan mengajarkan proses kematian melalui permainan.
"Sepeninggalan hewan peliharaan, anak dan orang tua bisa menjelaskan bahwa hewan bisa jatuh sakit lalu meninggal. Orang tua bisa membantu anak melalui proses duka tersebut dengan berpartisipasi secara aktif," jelasnya.
Dalam sebuah buku berjudul On Death & Dying yang ditulis oleh Elisabeth Kubler-Ross, diidentifikasikan bahwa ada lima tahap dalam berduka: penolakan (denial), amarah (anger), tawar-menawar (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).
Pada tahap awal yakni penolakan, anak akan susah memahami bahwa hewan peliharaannya telah mati. Meski begitu, orang tua diminta untuk mengajak anak agar mengekspresikan perasaannya dengan menangis hingga bercerita tentang momen-momen dirinya bersama hewan peliharaan.
ADVERTISEMENT
Kedua, anak akan melewati fase amarah dengan bertanya-tanya 'kenapa hewan bisa mati?' atau 'apa yang terjadi dengan hewan tersebut saat mati?'.
Perasaan ini akan berujung pada fase 'tawar-menawar' dan depresi. Beberapa anak akan mulai berandai-andai "Jika hewan peliharaanku masih hidup aku pasti akan...". Jika jawaban-jawaban atas pertanyaannya itu sudah terjawab, anak akan sampai pada fase 'penerimaan'.
Ia mulai mengerti bahwa semua makhluk hidup bisa mati. Ia lantas akan kembali membuka diri untuk berkawan bahkan memelihara hewan-hewan lain.
Aku ingat, usai Hedwig dikuburkan, aku ketakutan hingga tak berani memelihara hewan lagi. Hingga suatu saat perasaan takut itu hilang dan aku mulai menyadari bahwa makhluk hidup tak akan hidup selamanya. Sama halnya dengan manusia, mereka bisa mati.
ADVERTISEMENT
Saat memasuki bangku kuliah aku akhirnya memberanikan diri memelihara seekor anak kucing yang lucu berbulu abu-abu, ku namai dia Salvator.
Kucing Salvator.
Meski begitu, perlu disadari bahwa semua orang berduka dengan cara yang berbeda. 'Duka' tak kenal waktu dan aturan. Level berdukaku mungkin berbeda dengan duka yang kamu alami.
Diharapkan dengan kehadiran orang tua atau orang terdekat saat anak mengalami fase ditinggal mati oleh hewan peliharaannya untuk pertama kali, anak akan mengerti bahwa berdamai dengan apa yang kita lalui dan memahami bahwa ketika mencintai sesuatu, terkadang juga harus bisa melepaskan kepergiannya.