Kenaikan Cukai Rokok, Antara Cuan Pemerintah dan Kesejahteraan Kaum Proletar

vincent louwdewiq
mahasiswa universitas katolik parahyangan
Konten dari Pengguna
26 Desember 2021 15:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari vincent louwdewiq tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: SISWOWIDODO/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Foto: SISWOWIDODO/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Tak dipungkiri bahwa industri hasil tembakau(IHT) merupakan salah satu industri yang berkontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Industri hasil tembakau tak hanya menjadi penyumbang pendapatan cukai terbesar, namun juga menyerap banyak pekerja. Dilansir dari data Kemenperin pada tahun 2019, ada sekitar 5,98 juta orang yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau(IHT). Meskipun begitu, industri ini terus menghadapi tantangan terutama yang berkaitan dengan tarif cukai. Seperti yang sudah diwacanakan Pemerintah, tarif cukai hasil tembakau akan naik sebesar 12% per 2022. Kebijakan kenaikan cukai diprediksi dapat menimbulkan efek domino yang mengakibatkan penurunan jumlah produksi hingga berimbas pada peningkatan jumlah pengangguran. Kemungkinan yang dapat terjadi pasca pelaksanaan kebijakan ini merugikan lebih banyak pihak daripada yang diuntungkan dan oleh karena itu, pemerintah perlu menunda kebijakan menaikkan cukai rokok karena akan menyebabkan peningkatan angka pengangguran.
ADVERTISEMENT
Kebijakan kenaikan cukai diyakini akan memperparah angka pengangguran akibat PHK yang meningkat di masa pandemi. Seperti yang kita ketahui, kondisi perekonomian yang memburuk akibat pandemi membuat banyak pekerja yang terkena PHK atau Bahasa halusnya “dirumahkan”. IHT selama ini menjadi industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, khususnya perempuan berpendidikan rendah. Kenaikan cukai hanya akan mengurangi permintaan yang mengakibatkan PHK massal terhadap pekerja industri terkait. Selain itu, kelompok petani tembakau dan cengkeh akan mengalami penurunan pendapatan akibat penurunan permintaan atas komoditas yang mereka tawarkan.
Rokok merupakan produk adiktif yang membuat konsumsi penikmatnya tak akan terpengaruh signifikan pasca kenaikan cukai. Berdasarkan laporan dari BPS pada maret 2020, rokok menjadi komoditi belanja rumah tangga terbesar kedua sebanyak 11,5% setelah beras. Alih-alih mengurangi angka perokok, kenaikan cukai hanya akan menambah pengeluaran perokok dari golongan ekonomi lemah. Semakin besar pengeluaran rumah tangga golongan ekonomi lemah untuk rokok, maka semakin kecil dana yang dapat digunakan untuk pemenuhan komoditi lain. Selain itu, produk substitusi seperti rokok ilegal yang jauh lebih terjangkau beredar dan dijual terang-terangan dapat menjadi alternatif perokok dengan budget pas-pasan. Negara dalam hal ini tentu akan dirugikan karena rokok ilegal tanpa pita cukai tidak membayar pajak.
ADVERTISEMENT
Apa sebetulnya tujuan pemerintah menaikkan cukai rokok? Seperti yang sudah disebutkan diawal, poin utama pemerintah adalah kenaikan cukai diharapkan dapat mengendalikan angka prevalensi perokok. Keputusan ini juga diharapkan dapat optimalisasi pendapatan dari cukai. Kenaikan cukai pada 2022 diproyeksikan meraup pendapatan sebesar Rp 193 triliun, naik Rp 20 triliun dari tahun 2021 di angka Rp 173 triliun. Namun, realisasi di lapangan belum tentu seindah wacana yang telah disusun.
Terakhir, kesimpulan yang dapat diambil ialah kenaikan cukai bukanlah kebijakan yang tepat ditengah pandemi dan perlu ditunda karena kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir pihak, berbanding terbalik dengan jumlah yang dirugikan. Selain karena akan meningkatkan jumlah PHK buruh dan karyawan, kebijakan ini tak akan berdampak besar terhadap jumlah prevalensi perokok. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan evaluasi atau bahkan menunda kebijakan ini dan mencari solusi alternatif dalam mengatur angka prevalensi perokok. Pemerintah dapat melakukan kampanye hidup sehat anti rokok yang dikemas dengan menarik sehingga muncul kesadaran masyarakat terutama pada kaum muda. Selama ini, ada stigma dimana rokok dianggap simbol keren atau kejantanan dan diharapkan dengan adanya kampanye ini, stigma tersebut dapat digeser menjadi rokok merupakan sumber penyakit.
ADVERTISEMENT
referensi
https://kemenperin.go.id/artikel/20475/Industri-Hasil-Tembakau-Tercatat-Serap-5,98-Juta-Tenaga-Kerja
https://www.liputan6.com/health/read/4361847/bps-rokok-jadi-komoditi-peringkat-kedua-dalam-konsumsi-rumah-tangga
https://newssetup.kontan.co.id/news/target-penerimaan-cukai-rokok-di-2022-capai-rp-193-triliun-ini-penjelasan-pemerintah
https://www.jpnn.com/news/ini-alasan-sri-mulyani-genjot-kenaikan-cukai-rokok-ternyata-banyak-banget?page=3