Saat Buku Menjadi Kawan Waktu Ramadhan

Ni Luh Lovenila Sari Dewi
Mahasiswa Jurnalistik yang sedang mencoba membuat karya jurnalistik.
Konten dari Pengguna
29 April 2020 12:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ni Luh Lovenila Sari Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi membaca buku saat Ramadhan. (Foto: Ni Luh Lovenila)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi membaca buku saat Ramadhan. (Foto: Ni Luh Lovenila)
ADVERTISEMENT
Tak terasa, bulan yang ditunggu-tunggu seluruh umat Muslim di dunia telah datang. Kebiasaan di bulan Ramadhan tak jauh-jauh dari mencari takjil sepanjang berbuka, memasak bersama keluarga, dan mengisi waktu luang dengan tidak produktif. Belum lagi, wabah global yang tak kasat mata ini belum juga berakhir di Indonesia yang mengharuskan kita untuk berdiam diri di rumah. Rasanya, perlu waktu untuk keluar dari realitas yang sedikit membosankan di tengah pembatasan sosial ini.
ADVERTISEMENT
Membaca buku adalah salah satunya. Survei setingkat dunia menjadi sebuah penanda bahwa tingkat literasi di Indonesia masih rendah. Penelitian oleh Organisation for Economic Co-Operation and Develompent (OECD) dengan programnya bernama Program of International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan Indonesia berada di urutan ke-72 dari 78 negara di dunia.
Terlepas dari penelitian tersebut, minat membaca di kalangan muda di Indonesia tidak bisa digeneralisasi begitu saja. Bagi beberapa orang, membaca adalah sebuah pelarian dari dunia yang membosankan.
“Baca itu seperti obat dan pengalih perhatian. Kalau lagi stres dan bosan sama hidup dan rutinitas, baca selalu jadi tempat "pelarian". Makanya aku betah baca meski banyak teman yang bilang kalo kegiatan bacaku sia-sia atau buang-buang waktu,” ujar Ainay, mahasiswa Universitas Mulawarman yang sedang menyelesaikan studinya di jurusan Hubungan Internasional ini.
ADVERTISEMENT
Ainay telah menjadikan buku sebagai temannya. Buku adalah sahabat karibnya sejak kelas 4 SD. Awalnya bermula dari cerita pendek yang terpampang di buku paket sekolah yang ia terus baca berulang-ulang. Dari cerita pendek, Ainay beralih ke komik hingga majalah anak-anak milik gurunya.
Hingga SMP, Ainay mulai serius menekuni dunia baca. Ainay memulainya dengan membaca novel dan ensiklopedi hasil pinjam perpustakaan sekolah dan sebuah tempat penyewaan buku. Tahun 2017-2019, ia juga menjadi pengulas aktif sampai-sampai mendapat hadiah buku dari penerbit. Hingga sekarang umurnya 23 tahun, Ainay masih mencintai kegiatan membaca tersebut.
“Aku jadi lebih tahu banyak hal walau nggak mendalam. Kemampuan menulisku (esai dan resensi) juga cukup baik karena aku belajar menggunakan PUEBI dan perbanyak kosa kata dari membaca. Berkat membaca juga aku dapat banyak buku gratis seperti yang kusebutkan tadi,” jawabnya disusul dengan tawa malu.
ADVERTISEMENT
Ainay juga menambahkan manfaat lainnya bahwa ia berhasil mengubah beberapa kebiasaan buruknya sebagai efek dari membaca buku yang benar-benar bagus menurutnya.
Berbeda dengan Ainay, pecinta buku lainnya yang sekaligus pengusung kegiatan Baca Bareng yaitu Hestia menganggap bahwa membaca dan buku adalah bagian dari hidup dan kesehariannya. Motivasi Hestia menyukai baca awalnya bersifat rekreasional.
“Awalnya bersifat rekreasional (penyegaran) lalu berkembang menjadi bersifat edukasional (ingin menggali informasi lebih dalam tentang topik tertentu). Dua hal itu adalah dorongan internal kenapa aku baca buku,” ujar Hestia saat bercerita melalui pesan pribadi media sosialnya.

Target Membaca

Saat bulan Ramadhan ini, membuat target bacaan adalah hal yang perlu dilakukan. Ainay menargetkan membaca sebanyak 20 buku dalam sebulan. Jika ditanya bagaimana ia menyelesaikan buku yang cukup banyak itu dalam sebulan, Ainay menjawab akan membaca setiap kali ia menemukan kesempatan.
ADVERTISEMENT
“Setiap ada waktu, cobalah membaca meski hanya 10 menit atau hanya dapat 1 bab. Kalau sudah mulai capek atau bosan jangan dipaksa lanjut, istirahat 5 sampai 10 menit, lalu lanjut lagi,” sarannya.
Lain pula dengan Hestia, kegiatan Baca Bareng yang aktif di blog, Twitter, dan Instagram sejak Agustus 2019 yang diusungnya menargetkan membaca 65 buku di tahun 2020. Setelah selesai membaca, resensinya akan diunggah pada laman media sosial seperti khusus buku seperti Goodreads dengan tulisan, sedangkan Twitter dan Instagram dengan visual.
“Aku selama bulan Ramadhan ini jadi kayak semacam punya tambahan waktu baca di sela waktu sahur sampai nunggu azan subuh. Lalu, aku kalau baca buku benar-benar hanya mengikuti mood ingin baca apa. Misal, di luar sana teman-teman lagi ramai buku judul tertentu, kalo aku nggak punya mood buat baca itu, aku nggak baca. Jadi memang dorongannya dari dalam diri sendiri.”
ADVERTISEMENT

Tidak Perlu Cemas Jika Belum Tuntas

Hestia juga menyarankan, tidak perlu cemas ketika bacaan atau suatu buku belum kita tuntaskan. Menurutnya, membaca adalah kegiatan rekreasional sehingga seseorang harus benar-benar menikmati kegiatan tersebut dan tidak ada paksaan.
“Aku, kalau udah nggak punya mood sama bukunya, yaudah aku tinggal aja. Nggak perlu ngerasa bersalah kalo nggak berhasil menyelesaikan satu bacaan. Itu semua dari diri kita buat memulai bacaan dan mengakhirinya. Buku kalo nggak selesai dibaca juga nggak bakal marah. Jadi buat apa ngerasa bersalah, kan?” jawabnya.
Hestia juga menambahkan, jangan memaksakan diri jika topik yang dibahas tidak menarik untuk diri kita.

Mencari Teman Membaca

Bagi sebagian orang-orang, memiliki teman satu frekuensi dalam hobi adalah hal mutlak. Tak jarang banyak ditemukan komunitas-komunitas membaca yang dibangun untuk mencari teman se-hobi dan juga membutuhkan wujud fisik untuk menemani dalam membaca agar tak merasa sendiri. Hal itu pula yang mendorong Hestia untuk mendirikan komunitas Baca Bareng ini.
ADVERTISEMENT
“Aku memang orangnya kalau lagi baca buku, suka ditemenin sama orang. Setelah aku putus dengan pacar, aku tidak punya orang yang bisa menemani aku baca buku. Maka dari itu aku membuat Baca Bareng,” jawabnya santai.
Hestia juga menjelaskan kegiatan Baca Bareng merupakan representasi Silent Book Club untuk Indonesia. Silent Book Club sendiri aslinya ada di San Fransisco, Amerika Serikat. Kegiatan Baca Bareng murni hanya menghabiskan waktu selama 2 jam untuk membaca buku.
“Sebelum ada pandemi, aku bikin Baca Bareng selama sebulan sekali di Jakarta. Biasanya di kafe yang mudah diakses dengan transportasi publik. Dan karena pandemi, aku akhirnya bikin secara virtual melalui video telepon. Sudah dua bulan ini (Maret dan April) berjalan secara virtual. Menariknya kalau virtual, teman-teman di luar Jakarta juga bisa ikut,” ceritanya dengan antusias.
ADVERTISEMENT
Selain itu, masih banyak terjadi rasisme di antara para pembaca buku. Seperti menganggap bacanya yang paling unggul dan paling menarik. Hestia menganggap, hal tersebut tidak dibenarkan karena kegiatan membaca merupakan kegiatan personal dengan beda pengalaman.
“Aku suka sebal aja gitu sama orang yang masih bookshaming. Merendahkan orang lain karena bacaannya beda sama bacaan dia. Padahal, kegiatan membaca itu sifatnya personal. Satu orang dengan orang lain sangat mungkin punya pengalaman yang berbeda ketika membaca. Makanya, aku ingin membuat lingkungan inklusif yang aman buat teman-teman untuk baca buku apa pun, dalam format apa saja, di ruang publik,” tutupnya.