Konten dari Pengguna

Ujaran Kebencian sebagai Strategi Politik?

Lintang Piscesa Cevi Atsila
Mahasiswa Universitas Brawijaya Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi 2024
16 Oktober 2024 7:14 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lintang Piscesa Cevi Atsila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Source: Canva Lintang Piscesa Cevi Atsila
zoom-in-whitePerbesar
Source: Canva Lintang Piscesa Cevi Atsila
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Persiapan menjelang PILKADA 2024 selalu diiringi tradisi perlombaan meraup suara dan simpati masyarakat. Cara yang dilakukan untuk meraup suara beragam, mulai dari pemasangan banner di sepanjang jalan, berkunjung ke lokasi-lokasi strategis paling cepat, dan tepat sasaran melalui media sosial. Media sosial menjadi alat paling ampuh dalam meraup suara sebanyak-banyaknya. Media sosial menjadi ladang menyampaikan visi misi, rekam jejak, dan integritas para calon kepala daerah. Tak hanya itu, media sosial menjadi lumbung bagi para paslon untuk menerima ujaran kebencian. Menurut Garsia dan Isasi dalam artikelnya yang berjudul Hate speech in social media: a state of the art review menyatakan bahwa konsep ujaran kebencian digunakan secara luas untuk merujuk pada berbagai praktik yang beragam, mulai dari ancaman terhadap individu atau kelompok, hingga kasus-kasus yang hanya mengekspresikan kebenciannya kepada salah satu pihak dengan cara yang negatif.
ADVERTISEMENT
Ujaran kebencian yang dilakukan oleh individu maupun sekelompok orang menjadi perhatian masyarakat dalam menggunakan suaranya. Hal ini sering ditemukan di berbagai media sosial, seperti penelitian yang dilakukan oleh Jati Savitri Sekargati, Januari 2024, terdapat 60 ujaran kebencian, namun 45 diantaranya (terutama di aplikasi X) mengandung unsur politik. Kasus lainnya, pada pilpres 2024 lalu banyak sekali ujaran kebencian oleh aktor non-politik yang ditujukan kepada tiga calon presiden 2024. Prabowo mendapat ujaran kebencian tentang program kerja yang akan dilakukannya, yaitu memberikan makan siang dan susu gratis di sekolah dan juga pesantren, serta bantuan gizi bagi balita dan para ibu hamil. Program tersebut yang paling tenar di kalangan netizen Indonesia. Selain itu, terdapat akun anonim menyebarkan komentar negatif terkait peran Prabowo Subianto dalam pembelian jet tempur bekas yang diduga memicu kecaman dari masyarakat. Tak heran ujaran kebencian sering kali dikaitkan dengan isu-isu aktor politik, serta aktor non-politik yang juga berkontribusi dalam menyebarkan pesan kebencian melalui unggahan pada media sosial, komentar pribadi, atau penyebaran isu-isu negatif.
ADVERTISEMENT
Tak lain pada paslon nomor urut 3, Ganjar juga menghadapi serangan kebencian setelah ia mengatakan “saya suka lihat, saya suka nonton (porno)” dalam sebuah podcast yang diunggah di YouTube pada tahun 2019. Faktanya, masyarakat Indonesia menolak dengan tegas tentang pernyataan Ganjar menonton film porno, menganggap suatu tindakan yang melanggar secara moral dan etika penggunaan media sosial. Namun, hal ini dibela oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengenai pernyataan tersebut, bahwa yang dimaksudnya seperti memberikan sebuah sindiran yang terdapat makna peringatan belaka. Salah satu podcast juga membicarakan mengenai kritik pedas dari warga Jawa Tengah terkait kinerja Ganjar Pranowo. Ditemukan komentar pedas dari netizen Indonesia mengatakan “Saya nilai 0 dari 0 untuk kinerja Ganjar di Jawa Tengah” yang didukung oleh data dari Databoks menunjukkan bahwa Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah dengan UMK 2024 terendah se- Indonesia. Pernyataan tersebut juga menjadi pertimbangan bagi masyarakat Indonesia dalam memilih suaranya untuk pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
Lantas apakah ujaran kebencian kini telah menjadi strategi dalam pemilihan umum? Realitanya di era politik saat ini banyak kasus ujaran kebencian yang ditujukan kepada salah satu pihak politisi. Padahal hal ini justru melanggar kode etik komunikasi politik yang termasuk kedalam negative campaign maupun black campaign. Dapat dibuktikan bahwa dampak dari adanya pertarungan politik sangat pragmatisme bahkan mengorbankan nilai, melawan undang-undang tentang pencemaran nama baik, menimbulkan perpecahan antar satu bangsa dan negara, menimbulkan fitnah antar sesama kandidat, serta tindakan kriminal oleh masyarakat akibat dari adanya ujaran kebencian yang berlebihan. Mungkin sudah menjadi tradisi pada era pemilu di Indonesia ini telah dilandasi dengan ujaran kebencian yang bisa dikaitkan dengan politik identitas dimana bukan hanya sekedar persaingan politik saja melainkan sudah mempersoalkan suku, etnis, ras, serta agama yang menghasut masyarakat untuk tidak memilih pemimpin yang memiliki latar belakang yang berbeda mengenai konteks tersebut.
ADVERTISEMENT
Seperti yang kita ketahui, ujaran kebencian yang ditujukan oleh seorang mantan calon gubernur DKI Jakarta tahun 2017, Basuki Tjahja Purnama atau biasa dikenal dengan Ahok yang diduga beragama non-muslim akibat menistakan agama islam. Hal ini membuat lawan politiknya, Anies Baswedan memanfaatkan situasi terhadap kasus tersebut kedalam politik identitas untuk mencapai tujuannya dalam menyebarkan ujaran kebencian kepada Ahok dalam menggiring masyarakat khususnya yang beragama Islam di Jakarta untuk memilih hak suaranya untuk mendukung Anies Baswedan. Politik identitas yang dilakukan oleh Anies Baswedan membuat ia memenangkan pada pemilihan Gubernur tahun 2017 lalu. Terkait hal ini ditahun 2024 ketika Anies menyalonkan diri sebagai calon Presiden 2024, ia juga mendapat tuduhan dengan adanya dukungan dari organisasi Islam Radikal dimana pada saat kasus Ahok dalam menistakan agama Islam menuntut untuk mendapatkan hukuman penjara. Penggunaan politik identitas ini merupakan suatu strategi praktek politik pragmatisme yang marak untuk memenangkan pemilihan umum.
ADVERTISEMENT
What’s Next? Apa yang harus bisa kita lakukan untuk menghindari sifat diskriminatif dalam ujaran kebencian pada era pemilihan Kepala Daerah 2024? Sudah semestinya elit politik tidak menggunakan politik identitas sebagai strategi dalam memenangkan suatu pemilihan umum. Masyarakat yang memiliki fanatisme dalam mendukung salah satu kandidat calon Kepala Daerah 2024 ini, sudah seharusnya tidak melakukan ujaran kebencian kepada lawan politik untuk menghasut masyarakat dalam memilik hak suaranya. Tak hanya masyarakat, melainkan pemerintah dan unggahan di media sosial juga perlu kerja sama demi meningkatkan kesadaran akan suatu isu menjelang Pilkada 2024 ini. Untuk mengatasi ujaran kebencian, pemerintah perlu membuat suatu kebijakan yang dalam memantau unggahan-unggahan yang mengandung black campaign, serta merumuskan peraturan yang lebih tegas demi suatu kelancaran pada Pemilihan Umum di Indonesia. Maka dari itu, didalam pertarungan ilmu politik ini membutuhkan esensi demokrasi kompetisi yang sehat. Jika ujaran kebencian masih terus-menerus dilakukan oleh sekelompok masyarakat maupun calon kandidat yang melakukan politik identitas, maka yang terjadi hanyalah membuat politik di Indonesia menjadi tidak kondusif serta melanggar etika komunikasi politik.
ADVERTISEMENT