Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Surat Malam untuk Presiden
10 Juni 2021 13:16 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Siti Atikah Haris tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Lagi pula, soal ilmu pengetahuan tidak melulu soal tulisan. Tidak semua bisa menulis, dan tentu saja tidak boleh dipaksa menulis. Sama seperti tidak semua orang juga pandai Matematika, Fisika, Seni dan seterusnya. Tiap orang memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing. Kelebihan itulah mestinya yang harus dikembangkan, sedangkan kelemahan jika bisa diminimalkan, biarkan saja tersimpan sebagai penyempurna bagi tegasnya kelebihan di titik lain. Lantas, mengapa semua mahasiswa harus menulis skripsi, tesis, dan disertasi?”
ADVERTISEMENT
Sangat membingungkan memang, ketika seorang penulis seperti Acep Iwan Saidi yang merupakan dosen ITB yang telah menyelesaikan studi S3 dan telah banyak menulis buku menyatakan pernyataan yang cukup kontroversial yang saya kutip di atas.
Pasti dan harus bahwa di setiap pernyataan yang diungkapkan seseorang pasti memiliki alasan tertentu, dan keyakinan ini yang mendorong saya pribadi untuk membaca halaman-halaman dari buku karangannya untuk mendapatkan jawabannya.
Dan pada status facebooknya yang ke 420 saya menemukan jawabannya yang berbuny,i “hematku, umumnya tulisan akhir untuk mencapai gelar sarjana, magister, dan doktor tersebut bukan karya ilmiah sejati. Alih-alih merupakan karya sejenis demikian, ia lebih merupakan sekumpulan kalimat yang disajikan dalam format tertentu. Perhatikanlah, kebanyakan dari karya itu kan copy-paste.”
ADVERTISEMENT
Inilah beberapa narasi yang dimuat dalam buku Kang Acep, dalam bukunya beliau membahas topik-topik yang menarik dan kontroversial dimulai dengan prolognya yang membahas keadaan dua organisasi besar di Indonesia dalam menentukan hari lebaran.
Dan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan keadaan alam bumi pertiwi, yang kekayaannya digeruk oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab, dan fenomena ini tidak asing lagi kita dapati di negeri ini bahkan di sekitar kita.
Kemudian bab kedua dan ketiga Kang Acep membahas tentang pendidikan karakter dan pemimpin yang berkarakter yang menurut saya pribadi ini bagian yang menarik, di mana penulis memulai babnya dengan mengisahkan sang kakek yang hidup hampir 1 abad yang dan Sang Kakek pada masa tuanya nyaris tidak bisa menulis dengan huruf latin, ia lebih banyak menulis aksara Arab.
ADVERTISEMENT
Dari kisah Sang Kakek saya mendapatkan satu poin penting yang sangat di butuhkan oleh generasi muda yaitu tegas tapi ikhlas. Karena ikhlas akan membuat kita selalu merasa damai ketika mengerjakan suatu pekerjaan, tidak unsur duniawi di dalamnya.
Menariknya dalam buku ini tulisan disajikan dalam bentuk narasi status facebook yang ditulis sendiri oleh penulis di akun pribadinya, dan disetiap status menguak permasalahan-permasalahan bangsa yang perlu ditelaah lebih dalam, penulis pun mengikut sertakan para pembaca statusnya untuk menulis komen dan masukan, dan menurut saya cara ini sangat kreatif dalam membangkitkan kesadaran bernegara masyarakat dan memberikan mereka ruang untuk mengemukakan unek-unek hati.
Namun, di sebagian narasi dari buku kita membutuhkan penafsiran istilah-istilah tertentu seperti, naratologi kekuasaan, realitas metaforik, posmodernisme, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dan buku yang saya miliki sekarang merupakan cetakan ke-6 tahun 2014, sedangkan untuk pertama kali buku ini dicetak pada tahun 2012 dengan judul lengkap Surat Malam untuk Presiden dari narasi 501 status facebook.
“Terlalu mencinta, barangkali bukanlah cinta” kata-kata penulis di akhir tulisannya yang menginspiratif.
Semoga bermanfaat.