Konten dari Pengguna

Jukunen Rikon: Perceraian Usia Tua di Jepang Kontemporer

Asya Herliana Pramesti
Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Mahasiswa Studi Kejepangan
3 Oktober 2024 10:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asya Herliana Pramesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Ground Picture/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Ground Picture/Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jukunen Rikon dapat diterjemahkan sebagai “perceraian pada usia tua”. Fenomena ini sering kali terjadi pada pasangan yang telah selama puluhan tahun menikah namun tiba-tiba bercerai setelah memasuki masa pensiun. Meski terdengar aneh, namun di Jepang permasalahan semacam ini cukup meningkat selama beberapa dekade belakangan. Berdasarkan data yang didapatkan oleh kousei roudoushou (2008), pada kasus pasangan yang telah menikah selama lebih dari 35 tahun telah terjadi pelonjakan tingkat perceraian yang cukup fantastis. Terdapat 300 kasus perceraian pada tahun 1975 dan 5,507 kasus perceraian di tahun 2007. Permasalahan ini bisa kita pahami lebih lanjut dengan menoleh ke belakang, yaitu masa ketika Jepang mengalami kekalahan di perang asia pasifik.
ADVERTISEMENT
Setelah Perang Dunia II, Jepang memasuki sebuah masa keemasan dimana ekonomi mereka melonjak begitu tinggi di dunia. Di balik kejayaan ini, tentu ada pihak-pihak yang menyokong industri sehingga kesuksesan bisa terwujud. Para salari man yang bekerja tak kenal waktu dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk perusahaan merupakan salah satu tonggak terbesar ekonomi Jepang kala itu. Namun ketika para pekerja generasi itu telah berpensiun, mereka yang seumur hidupnya mendedikasikan waktu serta hati kepada perusahaan seakan kehilangan arah hidup. Para laki-laki tidak tahu cara menghabiskan waktu selain dengan bekerja. Mereka juga tak bisa melakukan apapun di rumah karena kebijakan pemerintah masa itu juga membagi pekerjaan para suami dan istri di dua aspek yang berbeda. Laki-laki bekerja di luar, sedangkan istri mengurus domestik.
ADVERTISEMENT
Ketika masih bekerja, nilai maskulinitas bagi kebanyakan orang berhubungan erat dengan pekerjaan, keluarga, dan tanggung jawab lainnya. Pemikiran Jepang pasca perang berputar pada keyakinan bahwa laki-laki diposisikan sebagai pekerja keras, pencari nafkah, dan kepala keluarga (daikokubashira). Namun ketika masa pensiun tiba, tanggung jawab mereka pun berubah. Mereka tidak hanya hidup sebagai seorang pekerja namun juga menjadi anggota masyarakat yang memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan lain (Moore, 2017).
Dalam budaya yang cenderung mengutamakan pekerjaan sebagai inti identitas individu, terutama bagi laki-laki, masa pensiun sering kali mengakibatkan kebingungan terkait identitas. Para suami yang terbiasa menghabiskan waktu berjam-jam di luar rumah kini harus menyesuaikan diri dengan kehidupan domestik. Ini sering kali memicu ketegangan dengan istri mereka. Kesulitan beradaptasi dengan kehidupan di rumah akan menimbulkan persoalan baru yang bisa jadi bermuara pada perceraian. Shujin zaitaku sutoresu shoukougun atau sindrom suami yang telah pensiun menjadi salah satu faktor terbesar mengapa jukunen rikon bisa terjadi di Jepang.
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Akiko Oda (2010) terdapat sebuah penemuan menarik mengenai sindrom ini. Dalam proses wawancara Ia menemukan bahwa kebanyakan para perempuan yang merasa terbebani dengan perilaku menganggur suami mereka berasal dari keluarga ekonomi menengah ke atas. Mereka memiliki pendidikan yang tinggi dan suami mereka dulu kebanyakan bekerja sebagai salari man di perusahaan ternama. Para perempuan ini dikenal sebagai ibu rumah tangga penuh waktu yang secara profesional mengurus rumah semasa hidupnya. Jadi ketika masa pensiun tiba, mereka merasa kebebasan berkurang dengan tinggalnya suami di rumah dalam jangka waktu panjang.
Para istri yang selama bertahun-tahun menjalankan tanggung jawab rumah tangga sendiri, akhirnya mencapai titik jenuh terutama karena mereka melihat suami sebagai beban tambahan yang mengganggu ritme kehidupan. Sebaliknya, suami yang terbiasa dengan peran dominan di tempat kerja merasa teralienasi dan tidak berdaya di rumah, menciptakan ketegangan di dalam kehidupan rumah tangga. Setelah pensiun, para suami yang mayoritas tak bisa melakukan pekerjaan rumah otomatis menganggur. Istri yang geram melihat ini pun menjadi muak dan memutuskan untuk mengajukan perceraian.
ADVERTISEMENT
Selain faktor internal mengenai masalah emosional antar pasangan suami-istri, juga ada faktor eksternal yang menyebabkan jukunen rikon terjadi. Kabinet perdana menteri Koizumi Jun’ichirō mengajukan sebuah perubahan dalam undang-undang yang berkaitan dengan dana pensiun. Ini diajukan kepada parlemen pada tanggal 10 Februari 2004 dan disahkan pada 5 Juni. Perubahan undang-undang ini dilakukan untuk menanggulangi permasalahan demografi Jepang dimana mayoritas masyarakatnya merupakan para lansia yang hidup dari dana negara. Di antara beberapa perubahan yang ada, terdapat sebuah undang-undang yang berbunyi bahwa pasangan yang bercerai setelah April 2007 dapat membagi hak mereka dari dana pensiun yang didapatkan suami. Seorang istri bisa mendapatkan bagian hingga 50%. Peraturan ini dibuat berdasarkan asumsi bahwa meskipun itu merupakan dana milik suami, tapi istri juga telah memberikan nafkah sebanyak 50% kepada keluarga dengan melakukan pekerjaan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Meski begitu sebenarnya jukunen rikon merupakan sebuah situasi yang cukup membingungkan juga untuk masyarakat Jepang. Memang selama beberapa dekade belakangan istilah seperti sodaigomi (sampah berukuran besar) yang disematkan pada para pensiunan laki-laki telah secara populer digunakan, tapi pernikahan yang telah dijalani selama puluhan tahun biasanya dianggap stabil meskipun penuh masalah (Alexy, 2008). Ini menunjukkan bahwa kini tengah terjadi sebuah pergeseran norma dalam masyarakat Jepang kontemporer, terutama dalam permasalahan peran gender.
Pergeseran norma ini juga mencerminkan adanya perubahan dalam ekspektasi sosial terhadap peran suami dan istri di Jepang. Apabila dahulu masyarakat cenderung memandang pernikahan sebagai ikatan seumur hidup yang suci di mana perempuan diharapkan untuk bersabar dan menerima ketidaksempurnaan dalam hubungan mereka, kini dengan meningkatnya kesadaran akan hak-hak sebagai individu, para perempuan mulai menuntut lebih banyak ruang dan otonomi. Mereka tidak lagi merasa harus terikat dengan peran tradisional sebagai istri yang patuh dan mengalah.
ADVERTISEMENT
Makin meningkatnya kesadaran akan pendidikan bagi perempuan juga mendorong mereka untuk sadar terhadap banyak hal mengenai hubungan antar laki-laki dan perempuan yang harusnya dijalani dengan setara. Pada akhirnya para perempuan lanjut usia merasa lebih memiliki kuasa untuk menentukan nasib mereka sendiri termasuk dalam mengambil keputusan yang mungkin sebelumnya dianggap tabu untuk dilakukan; mengajukan perceraian. Meningkatnya kesetaraan gender dalam undang-undang seperti pembagian dana pensiun membuat perceraian menjadi lebih memungkinkan bagi perempuan yang sebelumnya mungkin terjebak dalam pernikahan karena ketergantungan finansial pada suami.
Fenomena jukunen rikon tidak hanya menggambarkan pergeseran dalam dinamika keluarga di Jepang yang besifat tradisional, tetapi juga menunjukkan perubahan yang lebih luas dalam masyarakat Jepang kontemporer. Masyarakat jepang yang dulunya mementingkan kepentingan bersama dan mengabdikan hidup untuk memenuhi ekspetasi sosial kini juga memperhatikan hak mereka sebagai individu. Keputusan perempuan untuk mengajukan perceraian di usia lanjut menunjukkan bahwa mereka kini lebih berani menolak dinamika yang tidak adil dalam pernikahan, termasuk beban emosional dan fisik yang diakibatkan oleh suami setelah mereka pensiun. Jukunen rikon tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan terhadap peran domestik suami, tetapi juga merupakan bagian dari gerakan yang lebih luas menuju kesetaraan gender di Jepang. Fenomena ini menegaskan bahwa masyarakat Jepang tengah merevisi cara mereka memahami hubungan laki-laki dan perempuan, baik dalam pernikahan maupun dalam kehidupan sosial secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT