Konten dari Pengguna

Reformasi Perbaikan Gizi di Jepang

Asya Herliana Pramesti
Fakultas Ilmu Budaya UNAIR Mahasiswa Studi Kejepangan
9 Januari 2025 12:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asya Herliana Pramesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Satu set makanan di restoran jepang. Foto: Louis Hansel/Unsplash.
zoom-in-whitePerbesar
Satu set makanan di restoran jepang. Foto: Louis Hansel/Unsplash.
ADVERTISEMENT
Jepang pasca perang dunia II merupakan sebuah tempat yang bisa dibilang menyedihkan. Dengan hancurnya dua kota besar yaitu Hiroshima serta Nagasaki akibat bom atom yang dijatuhkan oleh sekutu membuat Jepang kalah telak. Baik dari segi infrastruktur serta ekonomi Jepang mengalami sebuah krisis yang harus segera ditanggulangi. Namun selain kedua hal di atas ada satu aspek penting lagi yang tidak luput dari pemerintahan Jepang. Masyarakat Jepang pada dasarnya telah mengalami krisis pangan sejak dimulainya perang dunia. Perempuan, anak-anak serta pria yang tidak berangkat ke medan perang harus cukup puas dengan makanan seadanya. Hal ini disebabkan oleh kelangkaan bahan pangan, berujung pada buruknya gizi yang diterima oleh mayoritas masyarakat Jepang pada saat itu.
ADVERTISEMENT
Infrastruktur pertanian mengalami kerusakan yang parah sehingga distribusi pangan menjadi terhambat. Kondisi gizi yang buruk ini menimbulkan ancaman serius terhadap kesehatan masyarakat, dengan tingkat kematian yang tinggi akibat penyakit terkait gizi. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi Jepang untuk memperbaiki kondisi ini. Ketidakstabilan ekonomi serta sosial membuat mereka kesulitan menyediakan bahan pangan yang cukup. Mereka menghabiskan biaya luar biasa banyak untuk perang dan harus menerima kenyataan pahit kalau semua biaya itu hilang karena kekalahan mereka. Kondisi sosial politik di Jepang juga mengalami ketidakstabilan sehingga lebih sulit rasanya untuk membuat kebijakan baru mengenai gizi dalam jangka waktu yang cepat.
Selama masa perang nyaris semua bahan pangan yang dihasilkan oleh masyarakat Jepang dikirim ke medan perang sebagai ransum para tentara. Jadi tidak mengherankan ketika semua tentara yang berada di negara lain pulang ke Jepang mereka jadi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan. Pasalnya selama ini sebagian besar bahan pangan dikirim ke luar negeri untuk mereka sedangkan orang yang tersisa di Jepang kondisinya serba susah.
ADVERTISEMENT
Pada masa itu masyarakat Jepang juga masih memiliki kesadaran rendah akan pentingnya gizi bagi kesehatan serta pertumbuhan. Seringkali mereka makan hanya untuk mengisi perut, tanpa memperhatikan gizi dari makanan yang mereka konsumsi. Memakan nasi atau bubur tanpa lauk merupakan hal yang sangat umum terjadi di masyarakat kalangan menengah ke bawah. Ini terjadi semata-mata karena mereka tak memahami pentingnya keseimbangan gizi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Menurut hasil survei nasional tentang status gizi penduduk Jepang, jumlah asupan energi yang dikonsumsi oleh rata-rata masyarakat pada tahun 1946 adalah sekitar 1500 kkal, dan pada tahun 1947 adalah 1800 kkal di daerah perkotaan dan sekitar 2000 kkal di daerah pedesaan. Jumlah asupan energi itu jauh lebih rendah daripada pola makan yang dipraktekkan jepang pada masa ini.
ADVERTISEMENT
Perlu diketahui setelah perang dunia kedua Jepang secara halus diduduki oleh negara sekutu. Markas Besar Umum Komandan Tertinggi Kekuatan Sekutu menduduki Jepang selama 7 tahun setelah perang, dan berbagai reformasi dilakukan, termasuk pembentukan kembali konstitusi, reformasi fiskal, pendidikan serta reformasi dalam bidang kesehatan. Bersamaan dengan reformasi yang dipandu oleh Markas Besar Umum (GHQ) Pasukan Sekutu, penelitian menganai tanah pertanian serta unit pendidikan berkaitan dengan gizi meningkat jumlahnya di universitas dan lembaga pemerintah.
Infrastruktur pertanian mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah karena terjadinya krisis pangan di nyaris seluruh daratan Jepang dapat menghantarkan mereka pada masalah yang jauh lebih besar di kemudian hari. Hal ini meliputi rehabilitasi lahan pertanian yang sudah rusak, disediakannya bibit unggul dari pemerintah hingga pengembangan teknologi yang dapat membantu proses pertanian. Pendidikan gizi juga digencarkan di sekolah serta masyarakat umum, terutama sekolah tingkat dasar yang penuh dengan anak muda. Beberapa programnya meliputi seminar serta workshop yang disediakan oleh lembaga penelitian. Tingkat literasi di masyarakat Jepang pada saat itu menyentuh angka yang tinggi dan membantu persebaran informasi menjadi lebih efektif. Menurut Kementerian Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan tingkat literasi menyentuh angka 98%. Angka yang sangat tinggi ini berguna untuk penetrasi kebijakan berkenaan dengan penyuluhan soal pentingnya gizi.
ADVERTISEMENT
Munculnya kesadaran akan gizi salah satunya disebabkan oleh Dr. Tadasu Saeki, yang menekankan perlunya administrasi gizi di masa-masa awal dan meletakkan fondasinya. Saeki, kerap dijuluki bapak gizi di Jepang, mendirikan dan mengelola sekolah gizi dari era Taisho hingga era sebelum perang. Ia mendirikan departemen penelitian gizi di laboratorium sanitasi nasional, berkontribusi dalam mendirikan pusat kesehatan masyarakat, mendirikan bagian gizi di Biro Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan, dan membantu mengesahkan Undang-Undang Perbaikan Gizi pada tahun 1952.
Selain itu, Jepang juga menyediakan layanan kesehatan masyarakat yang dirancang agar mereka dapat mengakses fasilitas kesehatan dengan mudah. Pemerintah meluncurkan layanan pemantauan gizi, pemeriksaan kesehatan, dan distribusi suplemen gizi untuk kelompok rentan seperti anak-anak dan wanita hamil. Salah satu langkah yang diambil adalah program makan siang di sekolah yang diperkenalkan pada tahun 1954 sebagai bagian dari inisiatif pemulihan pascaperang. Program ini dirancang untuk menyediakan makanan yang cukup bagi anak-anak dan memastikan bahwa mereka mendapatkan makanan yang seimbang setiap hari. Dengan demikian, makan siang sekolah menjadi aspek penting dalam pendidikan anak-anak Jepang. Program makan siang ini juga membantu membangun kesadaran akan pentingnya nutrisi dan makanan sehat di kalangan masyarakat, yang terus berlanjut hingga hari ini.
ADVERTISEMENT
Implementasi strategi reformasi gizi pasca Perang Dunia II di Jepang menghasilkan dampak yang signifikan dalam jangka panjang. Penurunan tingkat kelaparan dalam masyarakat jepang merupakan salah satu hasil dari dilaksanakannya reformasi ini. Dengan dibangunnya fondasi yang tepat seperti perbaikan lebih awal terhadap infrastruktur pertanian maka tidak sulit dibayangkan jika nyaris mustahil Jepang di masa sekarang mengalami krisis pangan seperti pada era perang. Jepang juga dinobatkan sebagai salah satu negara dengan masa hidup terpanjang. Kebijakan gizi yang dikembangkan setelah perang berkontribusi dalam mengatasi penyebaran penyakit menular melalui berbagai reformasi kesehatan dan medis serta meningkatkan kebersihan yang buruk, sehingga memainkan peran penting dalam peningkatan kesehatan penduduk Jepang serta memperpanjang ekspetasi umur mereka.
Hasil ini tidak semerta-merta terjadi begitu saja namun merupakan hasil dari sebuah proses reformasi yang cukup masif di Jepang. Perbaikan dari segi gizi, kesehatan hingga ekonomi dapat menghantarkan Jepang menjadi salah satu negara maju di era modern ini. Reformasi dan perbaikan gizi pasca Perang Dunia II di Jepang adalah perjalanan yang menakjubkan dari keterpurukan menuju pemulihan suatu negara menjadi lebih baik. Meskipun dihadapkan pada tantangan yang besar, Jepang berhasil mengatasi masalah gizi dengan berbagai strategi yang efektif. Dampak jangka panjangnya terlihat dalam penurunan tingkat kelaparan, peningkatan kesehatan masyarakat, perubahan pola konsumsi, penguatan infrastruktur pertanian, dan pemberdayaan masyarakat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya komitmen pemerintah dan kerjasama internasional dalam memperbaiki kondisi gizi masyarakat pasca-konflik.
ADVERTISEMENT