Corak Kapitalisme dalam Lirik Lagu 'Ujung Aspal Pondok Gede'

Lucky Bagus
Pengarang.
Konten dari Pengguna
22 Mei 2018 18:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lucky Bagus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Desa (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Desa (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Manungsa iku bagéan saka alam.
Kalimat ini pernah ku dengar dalam perbincangan keluargaku pada saat kumpul keluarga, yang artinya manusia adalah bagian dari alam atau dalam bahasa akademik: antropokosmik.
ADVERTISEMENT
Pakdeku pernah berbicara bahwa manusia tidak dapat bertindak dan menggunakan segala yang ada di alam dengan seenaknya untuk kepentingan pribadi.
Kalimat ini mengingatkanku pada beberapa artikel terkait kapitalisme yang pernah kubaca, bahwa kapitalisme menggunakan sarana produksi—tanah—untuk membangun prasarana–pabrik—yang  dibutuhkan untuk melakukan proses produksi dalam melakukan penghisapan manusia atas manusia. Ini adalah bentuk tindakan eksploitasi alam yang seharusnya--kata pakdeku.
Hari ini, masih banyak pengusaha yang menggusur lahan produktif rakyat untuk kepentingan pribadinya, seperti lirik dalam lagu ujung aspal pondok gede yang akan coba aku gambarkan betapa jahatnya kapitalisme di Indonesia ini.
Di kamar ini aku dilahirkan Di bale bambu buah tangan bapakku Di rumah ini aku dibesarkan Dibelai mesra lentik jari ibuku Nama dusunku ujung aspal pondok gede Rimbun dan anggun Ramah senyum penghuni dusunku
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya kebutuhan dasar manusia adalah makan, memiliki tempat tinggal–rumah. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya manusia harus bekerja. dalam bait pertama lirik lagu ujung aspal pondok gede menggambarkan bahwa dusun ujung aspal pondok gede pada mulanya lingkungan yang sangat asri—masih banyak pohon yang rindang, tidak ada gedung pencakar langit, polusi udara, apalagi limbah pabrik.
Subjek yang digambarkan dalam lirik ini merasa sangat senang dengan kondisi dusun yang sangat asri pada saat dia lahir.
Kambing sembilan motor tiga Bapak punya Ladang yang luas habis sudah sebagai gantinya
Mulanya bapak si subjek ini memiliki tanah yang lapang. Ketika si bapak tidak dapat mencukupi kebutuhan dasarnya lagi karena minimnya lapangan pekerjaan pada waktu itu—kondisi pemerintah yang tidak dapat menekankan pada korporasi untuk membuka seluas-luasnya lapangan pekerjaan untuk rakyat.
ADVERTISEMENT
Bapak pun harus menjual segala yang ia punya—hanya tanah yang lapang dalam bait ini—untuk memenuhi kebutuhannya agar keluarganya dapat bertahan hidup.
Kondisi pada saat itu berdampak pada kondisi sosial hari ini, yang mana sudah dijelaskan di atas—perselingkuhan antara pemerintah dan korporasi.
Contoh konkrit dampak dari kondisi pada saat itu adalah dikeluarkannya kebijakan PP No. 78 tahun 2015 tentang ketenagakerjaan yang tidak menyejahterakan pekerja. Dari pengupahan yang tidak layak hingga sistem kerja kontrak yang dimana ini sangat merugikan pekerja.
Sampai saat tanah moyangku Tersentuh sebuah rencana Dari serakahnya kota Terlihat murung wajah pribumi Terdengar langkah hewan bernyanyi
Bait ini menggambarkan kejahatan pemodal dan negara. Ketika pemodal ingin masuk dalam wilayah dusun atas nama negara dengan dalih kepentingan negara, mengakibatkan rakyat ujung aspal harus meninggalkan dusunnya demi kepentingan negara katanya.
ADVERTISEMENT
Seketika banyak rakyat yang kecewa dengan yang katanya kepentingan negara yang mengharuskan mereka untuk angkat kaki dari dusun tercinta yang asri itu. Tidak hanya rakyat, banyak hewan hewan yang menjerit karena dusun yang mulanya asri sebentar lagi berubah menjadi bangunan-bangunan yang menjulang tinggi.
Di depan masjid Samping rumah wakil pak lurah Tempat dulu kami bermain Mengisi cerahnya hari
Negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, tetapi nyatanya jauh dari kata melayani. Jurgen Habermas pernah berkata bahwa negara harus memberikan wadah untuk rakyatnya dalam berkspresi, berpendapat, hingga ruang-ruang untuk bermain anak.
Namun, kenyataan tidak seindah kalimat yang diungkapkan Jurgen Habermas tersebut. Ruang-ruang demokrasi dipersempit guna melanggengkan kekuasaan, bahkan demi kepentingan pemodal semata.
ADVERTISEMENT
Namun sebentar lagi Angkuh tembok pabrik berdiri Satu persatu sahabat pergi Dan tak kan pernah kembali
Ketika pemodal masuk ke wilayah dusun, rakyat harus meninggalkan tanahnya untuk si pemodal melalui kebijakan yang dibuat oleh negara. Bahkan tidak menutup kemungkinan untuk negara menggerakkan aparatur represif—militer—untuk menertibkan rakyat yang menolak dusun tercintanya dijadikan prasarana untuk pemodal yang akan merusak ekosistem yang ada di dusun.
Akibatnya rakyat dusun kehilangan tempat tinggal yang itu adalah kebutuhan dasar manusia. Negara hadir bukan untuk melindungi rakyatnya tetapi malah menjadi kepentigan pemodal yang melakukan penghisapan manusia atas manusia.
Jika aku mencoba melihat kondisi hari ini, tidak jauh beda dengan kondisi pada bait ini. pemerintah hari ini tidak melihat kebutuhan rakyatnya. Aku melihatnya dari APBN 2017 dan RAPBN 2018 yang terfokus pada dua kementerian saja yaitu kementerian PUPR dan Kementerian Pertahanan.
ADVERTISEMENT
Kementerian PUPR yang terfokus kepada pembangunan infrastruktur saja ini akan mengakibatkan penggusuran lahan produktif rakyat. Padahal, jika kita kaji secara kritis, yang diuntungkan dalam pembangunan infrastruktur ini adalah pemodal, karena pembangunan ini dapat terlaksanakan itu atas peminjaman modal Indonesia kepada pihak asing dengan segala syarat yang menguntungkan pihak asing.
Investasi pemodal tersebut dibuka seluas-luasnya di Indonesia. Kementerian Pertahanan pun sebenarnya tidak dibutuhkan, karena Indonesia hari ini tidak sedang berperang. Kementerian ini pun menjadi penunjang bagi kementerian PUPR, dilihat dari kebijakan yang baru saja disahkan oleh DPR terkait undang-undang organisasi masyarakat.
Segala bentuk organisasi yang tidak sesuai dengan kehendak pemerintah dapat dibubarkan tanpa melalui proses pengadilan. Seperti misalnya organisasi petani yang lahan produktifnya dirampas oleh negara melakukan unjuk rasa kepada pemerintah. Seketika mereka bisa dibubarkan dengan cara apapun karena dianggap mengganggu ketertiban dan keamanan negara.
ADVERTISEMENT
Jika seperti ini, di mana letak demokrasi di Indonesia? Ini membuktikan bahwasanya negara hari ini sedang tidak baik-baik saja.
Oleh karena itu, apa yang dikatakan pakdeku benar bahwa antropokosmik—manusia sebagai bagian dari alam—harus dikedepankan. Manusia tidak dapat bertindak dan menggunakan segala yang ada di alam dengan seenaknya untuk kepentingan pribadi.
Pengetahuan tidak seharusnya digunakan untuk memanipulasi alam, melainkan untuk memahami alam dan manusia itu sendiri, sehingga manusia dapat memenuhi kesempurnaan kemanusiaannya.
Sumber: 1.https://www.azlyrics.com/lyrics/iwanfals/ujungaspalpondokgede.html 2. Bangunan Pondok Gede Lenyap - edukasi.kompas.com › News › Lansir 3. Pengantar Ekonomi-Marxis 4. Althusser, Louis. Ideologi dan Aparatus Ideologi Negara. Indoprogress. Yogyakarta.