Konten dari Pengguna

Alasan China Menantang Banyak Negara

Ludiro Madu
Dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UPN 'Veteran' Yogyakarta.
28 Juli 2020 6:04 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:16 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ludiro Madu tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi warga kota Beijing, China, di tengah wabah corona. Foto: Reuters/Thomas Peter
ADVERTISEMENT
Perilaku China akhir-akhir ini ibarat orang menyeberang sungai. Selama tidak ada batu karang yang menghambat, niat itu tetap berlanjut hingga ke ujung lain sungai itu. Selama tidak ada negara yang protes atas kebijakan intervensionisnya, China akan tetap lancung ke tujuannya. Jadinya, negara Panda itu sekarang malah menantang banyak negara.
ADVERTISEMENT
China seolah sedang menguji kekuatan militer berbagai negara tetangganya di Asia. Pertama, pada saat ini China sedang menghadapi potensi perang di Laut China Selatan (LCS). Klaim unilateral China atas 9 garis imaginer di LCS menabrak kedaulatan wilayah Malaysia, Brunei Darusallam, Vietnam, Filipina, dan Taiwan. Berbagai forum perundingan internasional dan regional di ASEAN telah dilakukan, namun kesepakatan di meja perundingan selalu saja dimentahkan oleh tindakan militeristik China di LCS.
Kedua, unjuk kuasa militer China ternyata juga melebar ke wilayah perbatasan darat. Pemerintah China melakukan provokasi di wilayah perbatasannya dengan India. Baku senjata kedua negara sudah terjadi di Lembah Galwan, yaitu sebuah kawasan perbatasan di antara Ladakh yang jadi bagian India dan Tibet yang jadi bagian China. Wilayah perbatasan itu sebenarnya telah memiliki Garis Kontrol Aktual (Lines of Actual Control/LAC), namun anehnya kedua negara malah tidak mengakui.
ADVERTISEMENT
Repotnya lagi, tantangan China di LCS dan di perbatasan dengan India itu juga memancing kekuatan militer besar lain, seperti AS dan Rusia. Kedua negara itu dapat terprovokasi dengan mudah sebagai bagian dari kepentingan global dan regional mereka di Asia.
Masih banyak daftar negara yang dicoba pemerintah Xi Jinping ini. Perang dagang dengan AS dan kekerasan China di Hongkong juga termasuk di sini. Seolah kelebihan energi saja di tengah kerepotannya menangani gelombang kedua pandemi Covid-19, China sepertinya tidak kekurangan akal menantang negara-negara lain.
Kekuatan regional
Dalam pandangan saya, salah satu sebab kecenderungan pemerintah China ‘mengajak’ konflik negara-negara tetangganya adalah keinginan atau, lebih tepatnya, ambisi China mewujudkan diri sebagai negara besar. China ingin menjadi kekuatan regional di Asia dan bahkan kekuatan global mumpung peran global AS sedang menurun.
ADVERTISEMENT
Observasi saya dari berbagai bacaan mengerucut pada upaya China mulai meningkatkan kerjasama ekonomi dengan berbagai negara sejak awal 2000an melalui One Belt One Road (OBOR) atau yang sekarang dikenal dengan Belt and Road Initiative (BRI). Melalui inisiatif ini, pemerintah China memiliki peta jalan pembangunan infrastruktur (darat dan laut) dari China ke berbagai negara mengikuti jalur sutra pada masa lalu.
Berbagai negara di kawasan Asia, Afrika, dan bahkan Eropa menyambut inisiatif China itu. Walaupun ada kesadaran di antara negara-negara itu terhadap motif politik China, mereka memandang prospek ekonomi yang lebih menjanjikan sebagai prioritas menerima inisiatif BRI China.
Selain itu, China juga menyediakan Asian Investment for Infrastructure Bank (AIIB) sebagai lembaga keuangan untuk membiayai pembangunan infrastruktur itu. AIIB menjadi daya tarik baru bagi negara-negara di jalur sutra itu untuk menyambut investasi China. Jalur infrastruktur yang selama ini hanya menjadi bagian dari sejarah atau impian tiba-tiba bisa dibangun dengan investasi AIIB.
ADVERTISEMENT
Bayangkan saja ada jalur kereta barang dari China ke London melewati negara-negara yang menjadi anggota 'konsorsium' BRI itu. Ada lebih dari 60 negara bergabung dengan motif utama berebut 'kue ekonomi' China. Di tengah persaingan sengit antara berbagai negara untuk menarik investasi di infrastruktur, pemerintah China justru datang dan menawarkan skema investasi menarik yang berbeda dengan investor lainnya.
Saya melihat ambisi China menjadi kekuatan besar ini seperti meniru sistem Pax-Americana-nya AS paska-Perang Dunia ke-2. Sistem itu membuat negara-negara yang bernaung di bawah kepemimpinan AS memperoleh perlindungan militer dan bantuan ekonomi langsung. Jika diperlukan, AS membangun pangkalan-pangkalan militer di kawasan atau negara tertentu sebagai representasi kehadiran kekuatan dan kepentingan AS.
Sebaliknya, aliansi-aliansi pertahanan atau regional dibentuk berbagai negara demi memudahkan masuknya kepentingan AS atas nama stabilitas keamanan regional. Pada gilirannya, stabilitas regional itu memberikan kondisi nyaman bagi investasi di negara-negara itu dalam sistem liberal-kapitalis. Cara AS ini tampaknya ingin ditiru China melalui BRI dan AIIB.
ADVERTISEMENT
Yang menarik buat saya adalah China mampu mengubah pandemi Covid-19 dari persoalan berat menjadi peluang meneruskan ambisinya sebagai negara besar itu. China terdampak berat akibat pandemi itu, namun kenyataan juga memperlihatkan China mampu menggunakan jaringan negara-negara di dalam BRI itu untuk menjalankan diplomasi kemanusiaan dalam penanganan Covid-19. Hasilnya, negara-negara di Eropa seperti Italia justru mengelu-elukan China.
Tantangan transisi kekuatan
Selain itu, perilaku China yang nantang-nantang di berbagai wilayah juga disebabkan oleh transisi kekuasaan regional yang tidak mulus. China memang berambisi mengisi ruang-ruang kosong dari berkurangnya kehadiran dan kekuatan AS di Asia dan kawasan lain. Skema BRI dan AIIB menjadi senjata ampuh dari representasi peningkatan kekuatan China, baik di tingkat regional dan global. Dalam perkembangannya, BRI dan AIIB juga menyasar negara-negara di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, menurut saya, tatanan global pada saat ini berbeda dengan perubahan polarisme global di antara kekuatan paska-Perang Dunia ke-2 antara AS dan US, yaitu dari bipolarisme menjadi unipolarisme. Ambruknya Uni Soviet segera menimbulkan perubahan signifikan dalam arsitektur global. Negara-negara yang sebelumnya berada di bawah ‘payung’ Uni Soviet harus menentukan nasib mereka sendiri, yaitu merdeka, tidak berorientasi ke US lagi, atau bergabung dengan AS. Walaupun beberapa negara bergabung dengan Uni Eropa, mereka tetap mempertahankan ‘ikatan tradisional’ dengan Rusia.
Yang membuat beda dengan di Asia adalah negara-negara di kawasan ini memiliki kondisi ekonomi lebih baik ketika berangsur ‘ditinggal’ AS. Akibatnya, mereka tidak butuh-butuh amat dengan inisiatif jalan sutra China. BRI dan AIIB hanya pelengkap bagi perkembangan ekonomi domestik. Artinya, tanpa investasi China, ekonomi mereka pun tetap berjalan seperti biasa.
ADVERTISEMENT
Tiga isu penting ini, yaitu ambisi menjadi kekuatan besar, tatanan global yang ditinggal AS, dan kondisi ekonomi negara-negara penerima BRI-AIIB, yang mendorong China menantang banyak negara.
Lha terus, sampai kapan perilaku China yang suka menantang banyak negara ini akan berhenti? Selama belum ada baku senjata, selama itu pula China akan terus bersikap seperti itu, seperti gambaran orang menyeberang sungai di awal tulisan ini.